Minggu, 07 Agustus 2011

'

BISMILLAH AL RAHMAN AL RAKHIM

Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi ummat Manusia. Allah berfirman: “Ini adalah sebuah Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-A‘râf: 2)

Fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk ini ditegaskan oleh Al-Ustâdz Al-Imâm Muhammad ‘Abduh, sehingga beliau menyatakan bahwa tujuan yang pertama dan utama dari ilmu Tafsir adalah: merealisasikan keberadaan Al-Qur’an itu sendiri sebagai petunjuk dan rahmat Allah, dengan menjelaskan hikmah kodifikasi kepercayaan, etika dan hukum menurut cara yang paling bisa diterima oleh pikiran dan menenangkan perasaan. Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya dari ilmu ini adalah untuk mencari petunjuk kebenaran di dalam Al-Qur'an. (Al-Khûlî, 1995: 229)

Penjelasan yang lebih mendetail tentang dimensi-dimensi fungsional Al-Qur’an (baca: maqâshid wadl‘i Al-Syarî‘ah) sebagai petunjuk ini bisa didapatkan—antara lain—dalam magnum opus Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât. (Al-Syâthibî: 64 et seqq)

Bertolak dari “tesa teologis” tentang fungsi Al-Qur’an di atas, tulisan ini dirancang untuk membangun dan merumuskan beberapa pemikiran awal ke arah sebuah “entitas” yang kiranya paling tepat kalau dinamakan sebagai “Falsafah Al-Qur’an” (dengan huruf “F” kapital), sebuah Falsafah yang memungkinkan Al-Qur’an menjalankan fungsinya sebagai petunjuk dan rahmat bagi ummat manusia yang “hidup” dalam ruang dan waktu yang berubah, bergeser dan berkembang. Lebih dari itu, Falsafah Al-Qur’an memungkinkan “Teks Kitab Suci” itu menjadi hidup (posisi aktif) dan dalam salah satu aspeknya mampu bertahan menghadapi pemikiran-pemikiran baru (posisi pasif dinamis).