MUKJIZAT DAN AL QUR-AN


MUKJIZAT DAN AL-QURAN
(Studi pengantar tentang kemukjizatan Al-quran)*
Oleh : Mudarip Muslim**


A.    Pendahuluan

            Berbicara tentang mukjizat, tidak lepas dari pembicaraan sekitar Al-quran. Karena kitab yang orisinalitasnya terjaga hingga hari kiamat ini adalah bagian dari mukjizat itu sendiri. Bahkan Kemukjizatan Al-quran memiliki sifat-sifat spesifik yang membedakannya dari mukjizat-mukjizat terdahulu, diantaranya sifat imaterialitas dan universalitas. Dua sifat ini menjadikan kemukjizatan yang terpancar dari dalamnya tidak bersifat temporer (sementara), namun kekal sampai hari kiamat. Tantangannya pun tidak terbatas pada suatu bangsa dan masa tertentu. Ia akan tetap kekal dan menjadi bukti kelemahan manusia di hadapan Sang Super Power hingga hari kebangkitan.
            Semenjak zaman Nabi Muhammad saw hingga masa tabi’in, fenomena I’jaz Al-quran belum banyak dibicarakan. Pada awal abad ketiga hijriyah, pembahasan para pakar Islam mulai terfokus pada permasalahan kemukjizatan Al-Quran. Bahkan sampai memunculkan silang pendapat diantara mereka yang bermuara pada munculnya dua golongan besar yang saling berseteru. Golongan pertama di wakili oleh mu’tazilah dengan pendapatnya yang terkenal ‘Sharfah’, sementara golongan sunni ada di kubu lain.
            Berikut ini sekelumit pembahasan sekitar mukjizat dalam scope yang masih umum, di lanjutkan dengan ulasan umum tentang segi-segi kemukjizatan Al-Quran. Makalah ini hanyalah sebuah pengantar, sedangkan pembahasan secara mendalam tentang kemukjizatan Al-Quran akan dilanjutkan oleh para pemakalah berikutnya.

 B. Mukjizat dalam persepsi Islam

Dalam khazanah bahasa Indonesia kata mukjizat mengandung arti : “Suatu kejadian ajaib yang sukar di jangkau oleh kemampuan nalar manusia”. Pengertian ini berbeda dengan makna kata tersebut dalam persfektif Islam.
Kata mukjizat terambil dari kata arab a’jaza yang mengandung arti : “Melemahkan atau menjadikan tidak mampu”. Seperti tersirat dari makna ayat
إنهم لا يعجزون  yang artinya :“sesunguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah)”. (Q.S : 8 : 59).
Pelaku dari perbuatan ini disebut “Mu’jiz” (yang melemahkan). Sebagaimana tertulis dalam firman Allah swt :واعلموا أنكم غير معجزى الله
Artinya : “Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah”. (Q.S : 9 : 2)
Sedangkan kata mu’jizat sendiri adalah merupakan bentuk super latif (Shighah al mubalaghah) dari kata mu’jiz.
Para ulama Islam berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata mukjizat. Dalam bukunya Al-Itqon, Imam Suyuthi mendefinisikan mukjizat sebagai : “Suatu peristiwa luar biasa yang disertai dengan tantangan (untuk mmendatangkan hal serupa) dan tidak ada yang mampu menandinginya”.[1]
Ada tiga unsur penting pembentuk mukjizat yang disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam definisinya tersebut, antara lain ;
1.                  Peristiwa luar biasa
2.                  Adanya tantangan
3.                  Adanya ketidak mampuan orang yang di tantang untuk melakukan rivalitas.

B.1. Analisis definisi Imam Suyuthi

Dalam mendefinisikan kata mukjizat, Imam Suyuthi menyebutkan adanya unsur tantangan. Padahal para ulama tidak mensyaratkan adanya unsur tersebut bagi suatu peristiwa luar biasa agar dapat disebut mukjizat.[2] Bukti dari tidak adanya unsur tantangan itu adalah banyaknya mukjizat para rasul yang tidak mengandung tantangan, seperti peristiwa keluarnya air dari batu akibat pukulan tongkat nabi Musa as, turunnya hidangan untuk para Hawariyin dari langit, dan lain-lain. Bahkan sebagian besar mukjizat Nabi Muhammad saw (selain Al-Quran) tidak mengandung unsur tantangan.
Syeikh Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqani mendefinisikan mukjizat sebagai “Suatu peristiwa luar biasa yang diberikan oleh Allah swt kepada seorang nabi sebagai bukti kebenarannya”.[3] Definisi yang di kemukakan oleh Az-Zarqani ini lebih umum, mencakup mukjizat yang berisi tantangan dan mukjizat yang tidak memiliki unsur tantangan.
Para ulama memahami makna tantangan –seperti yang disebutkan dalam definisi imam Suyuthi- tidak dalam arti yang sebenarnya, yaitu ajakan untuk melakukan rivalitas,[4] tapi makna dari tantangan tersebut adalah sekedar pengakuan seseorang bahwa dirinya membawa risalah kenabian, tanpa di sertai permintaan untuk melakukan rivalitas, sebagaimana di kemukakan oleh Imam Al-Haramain. Dalam bukunya Al-Irsyad beliau menulis, “Dalam tantangan, seorang nabi cukup berkata bukti kebenaranku adalah Allah menghidupkan mayat ini”. Dia (Nabi) tidak di persyaratkan untuk mengatakan, “inilah bukti kebenaranku, tidak ada seorang pun yang sanggup, menandinginya”.[5]
Jadi definisi yang di kemukakan oleh Imam Suyuthi pun tidak mengandung unsur tantangan dalam arti yang sebenarnya (ajakan untuk melakukan rivalitas).

B.2. Unsur-unsur penyerta mukjizat

Ada lima unsur penting yang harus terpenuhi agar suatu hal atau peristiwa dapat dinamai mukjizat. Kelima unsur tersebut adalah :
Pertama : Hal atau peristiwa tersebut hanya Allah swt saja yang dapat melakukannya seperti terbelahnya arus laut (mukjizat nabi Musa as), pecahnya bulan (mukjizat nabi Muhammad saw), dan segala macam peristiwa yang berada di luar jangkauan kemampuan makhluk.
Kedua : Hal atau peristiwa itu bersifat luar biasa.
Jika ada seseorang mengaku sebagi Nabi, lalu ia berkata bahwa bukti kebenaran risalahnya adalah berubahnya siang menjadi malam atau terbitnya matahari dari ufuk timur, maka hal tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam mukjizat sama sekali. Karena kedua hal diatas -walaupun hanya Allah saja yang  dapat melakukannya-dianggap sebagai kejadian yang biasa terjadi.
Ketiga : Terjadi atau di paparkan oleh orang yang mengaku nabi sebagi bukti kebenaran pengakuannya itu.
Jika orang tersebut berkata :”Bukti kebenaranku adalah Allah merubah air ini menjadi minyak”, atau dengan mengatakan, “Bukti kebenaranku adalah berguncanganya bumi ini setelah ku perintah”, selanjutnya perkataan itu benar-benar terjadi, maka pengakuan  kenabiannya bisa diterima.
Keempat ; Terjadi sesuai dengan perkataan (keinginan) orang yang mengaku sebagai nabi tersebut (tidak bertentangan).
Oleh karena itu, bila ada seseorang mengaku sebagai utusan lalu berkata :”Bukti kebenaran risalahku adalah hewan ini dapat berbicara (membenarkan pengakuanku)” selanjutnya hewan tersebut berbicara, namun bukan membenarkan tapi malah mendustakannya, maka peristiwa tersebut bukanlah bukti kebenaran (mukjizat) baginya.
Kelima : Tidak ada yang sangup untuk menandinginya dengan hal yang serupa.[6]
Bila kelima hal diatas terpenuhi, suatu peristiwa dapat dinamai mukjizat walaupun tanpa adanya tantangan (dalam arti ajakan untuk melakukan rivalitas). Karena sebagaimana disebutkan diatas, tidak semua mukjizat mengandung unsur tantangan.

B.3. Macam-macam mukjizat, tujuan dan fungsinya.
a.Macam-macam mukjizat.
Mukjizat para Nabi dan Rasul dapat di golongkan menjadi dua bagian kelompok besar, yaitu :
1.Hisiyah, yaitu mukjizat yang bisa ditangkap oleh panca indera
2.Aqliyah, yaitu mukjizat yang hanya ditangkap oleh nalar manusia.
Kebanyakan mukjizat para Nabi bani Israil tergolong ke dalam jenis pertama (hisiyah), hal ini sesuai dengan kedangkalan daya nalar umat mereka. Sedangkan umat nabi Muhammad saw, karena kecerdasan dan ketajaman daya nalar mereka, maka sebagian besar mukjizat yang mereka terima bersifat aqliyah.[7] Mukjizat aqliyah bagi umat Islam ini yang terwujud dalam sebuah kitab suci yang keindahan susunan dan gaya bahasanya tidak dapat di tandingi oleh siapapun.
Kalau mukjizat para Nabi terdahulu bersifat temporer (sementara) dan hanya untuk kaum tertentu, maka mukjizat aqliyah Nabi Muhammad saw bersifat langgeng (sampai hari kiamat) dan universal. Walaupun turun dalam bahasa Arab, namun Al-Quran bukan hanya untuk bangsa Arab dan tidak hanya menantang orang Arab, tapi untuk semua bangsa, bahkan jin dan manusia.[8] Sebagaimana yang di terangkan dalam firman Allah swt surat al isra’ ayat 88, yang artinya : “katakanlah : “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serup[a dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (Q.S : 17 : 88)

b.Tujuan dan fungsi mukjizat.
Mukjizat berfungsi sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka diibaratkan sebagi ucapan Tuhan : “apa yang dinyatakan sang Nabi adalah benar. Dia adalah utusan Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat ini”.
Mukjizat, walaupun dari segi bahasa berarti melemahkan sebagaimana di kemukakan diatas, namun dari segi agama, ia sama sekali tidak di maksudkan untuk melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan yang di tantang. Mukjizat di tampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran ilahi yang di bawa oleh maing-masing Nabi. Jika demikian halnya, maka ini paling tidak mengandung dua konsekuensi:
Pertama, bagi yang telah percaya pada Nabi, maka ia tidak lagi membutuhkan mukjizat. Ia tidak lagi ditantang untuk melakukan hal yang sama. Mukjizat yang dilihat atau dialaminya hanya befungsi memperkuat keimanan, serta menambah keyakinan akan kekuasaan Allah swt.
Kedua, Para Nabi sejak Adam as hingga Isa as, diutus untuk suatu kurun tertentu. Tantangan yang mereka kemukakan sebagai mukjizat pasti tidak dapat dilakukan oleh umatnya. Namun apakah ini berarti peristiwa luar biasa yang terjadi melalui mereka itu tidak dapat dilakukan oleh selain umat mereka pada generasi sesudah generasi mereka ?. Jika tujuan mukjizat hanya untuk  meyakinkan umat setiap nabi, maka boleh jadi umat yang lain dapat melakukannnya. Kemungkina ini lebih terbuka bagi mereka yang berpendapat bahwa mukjizat pada hakikatnya berada dalam jangkaun hukum-hukum (Allah yang belaku di) alam. Namun, ketika hal itu terjadi, hukum-hukum tersebut belum lagi diketahui oleh masyarakat nabi yang bersangkutan.[9]
Jadi tujuan dan fungsi mukjizat bukanlah untuk melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan suatu kaum dimana seorang nabi diutus, tapi sebagai bukti yang nyata bagi kebenaran risalah yang di bawanya.

C. Al-Quran ; mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw.
Mukjizat para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw bersifat material, temporer dan hanya untuk bangsa tertentu. Seperti tongkat nabi Musa yang bisa berubah jadi ular, nabi Isa as bisa menghidupkan orang mati, unta nabi Shaleh as dan lain-lain. Berbeda dengan mukjizat-mukjizat nabi tersebut, Al-Quran yang merupakan mukjizat terbesar umat islam bersifat imaterial, langgeng dan universal. Kalau mukjizat para nabi terdahulu dapat dijangkau melalui panca indera oleh setiap orang, maka mukjizat Al-Quran hanya di jangkau melalui akal orang-orang yang memilki daya nalar tinggi (dalam arti, tidak semua orang dapat menjangkau sisi kemukjizatannya).[10]
Kita tidak memungkiri bahwa nabi Muhammad saw memiliki mukjizat lain (selain Al-Quran) yang juga besifat material dan temporal, seperti keluarnya air dari jari jemari Rasulullah saw, terbelahnya rembulan dan lain-lain. Kita tidak mengingkari mukjizat-mukjizat tersebut, namun kita meyakini bahwa mukjizat terbesar beliau adalah Al-Quran. Hal ini sesuai dengan keadaan bangsa Arab pada waktu beliau diutus. Karena jenis mukjizat seorang Nabi di sesuaikan dengan sesuatu yang menjadi kebanggan suatu kaum. Pada zaman Nabi Musa as ilmu sihir berkembang pesat, untuk menandingi sihir mereka Allah memberikan mukjizat yang sesuai dengan kondisi pada waktu itu, yaitu berubahnya tongkat menjadi ular. Sedangkan pada masa Nabi Isa as, ilmu kedokteran maju pesat, maka mukjizat yang sesuai untuk nabi Isa as adalah mukjizat yang berhubungan dengan kedokteran, yaitu bisa menyembuhkan penyakit kusta serta dapat menghidupkan orang mati.[11] Oleh sebab itu, karena bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad r adalah bangsa yang mengagung-agungkan karya sastra maka mukjizat yang sesuai bagi mereka adalah sesuatu yang dapat mengalahkan bangsa ini dalam bidang bahsa dan sastra, mukjizat tersebut terwujud dalam bentuk Al-Quran.
Al-Quran datang ke hadapan mereka dengan format dan uslub yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya serta keindahan gaya bahasa yang tak tertandingi oleh para tokoh dan pakar bahasa waktu itu. Kitab suci ini menantang para pujangga dan tokoh-tokoh penyair arab untuk membuat tandingan bagi Al-Qur’an, mulai dari yang terberat ( membuat kitab yang serupa (Q.S. At-Thur: 34) ) sampai yang paling ringan (membuat satu surah saja ( Q.S. Yunus: 38 ), bahkan yang kurang dari satu surah (Q.S. Al-Baqarah: 23 ) ). Namun tak satupun dari tantangan tersebut dapat mereka layani, malah mereka mengatakan, “Sesungguhnya orang ini ( Muhammad ) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata” (Q.S. Yunus: 2). Dilain kesempatan mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an hanyalah mitos belaka. Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Furqan: 5 yang artinya: “Dan mereka berkata: dongengan-dongengan orang terdahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah kepadanya dongengan itu setiap pagi dan petang”.

D. I’jaz Al-Qur’an

D.1. Definisi

“Al-Qur’an adalah firman (Allah) yang bersifat melemahkan, diturunkan kepada Nabi SAW, tertulis dalam mushaf, diriwayatkan dengan tawatur, dan membacanya dianggap suatu ibadah”.
Inilah definisi yang disepakati oleh Para Ulama Ushul, Fuqaha dan pakar bahasa.[12]
Prof. Dr. Abdullah Darraz dalam bukunya An-Naba’ Al-Adzim berpendapat bahwa, Al-Qur’an tidak dapat didefinisikan. Jika ingin mendefinisikan Al-Qur’an, cukup dengan menunjuk kepada tulisan yang berada di Mushaf, sambil berkata: “Al-Qur’an adalah apa yang ada di sini”, atau dengan mengatakan: “Al-Qur’an adalah Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirabbil ‘alamin…… sampai firman Allah Minal jinnati Wannas”.Sedangkan definisi yang diungkapakan oleh para Ulama hanya pendekatan makna, dan sekedar usaha untuk menerangkan sifat-sifat spesifik yang tidak dimiliki oleh kitab atau perkataan lain.[13]
Demikianlah definisi Al-Qur’an menurut pendapat para Ulama. Sedangkan kata I’jaz Al-Qur’an, mengandung arti: pengokohan Al-qur’an sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk mnciptakan karya sejenis.[14] Dengan demikian, Al-qur’an sebagai Mu’jizat bermakna bahwa Al-qur’an merupakan sesuatu yang mampu melemahkan tantangan menciptakan karya yang serupa dengannya.[15]

D.2. Bukti-bukti kemukjizatan Al-Qur’an

Bangsa Arab pada waktu Al-Qur’an diturunkan dapat mengetahui kemukjizatan Al-Qur’an melalui fitrah ( kemampuan yang dibawa sejak lahir ) yang mereka miliki,[16] tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Hal ini dapat dimaklumi karena rasa kebahasaan mereka pada masa itu masih tinggi, dan belum banyak berbaur dengan bangsa non Arab. Diantara bukti konkrit yang dicatat sejarah adalah perkataan Al-Walid Bin Al-Mughirah (salah seorang tokoh Quraisy),  yang takjub setelah mendengar keindahan bahasa Al-Qur’an, Ia berkata:ان له لحلاوة وان عليه لطلاوة وان اسفله لمعذق وان اعلاه لمثمر Bahkan diantara mereka (musyrikin Quraisy) ada yang langsung sujud setelah mendengar bacaan ayat:فاصدع بما تؤمر وأعرض عن المشركين
Ketika ditanya, “ Apakah kamu telah masuk Islam?” Orang tersebut menjawab, “tidak, tapi saya telah mendengar perkataan yang sangat menakjubkan”.[17]
Setelah banyak berbaur dengan bangsa non Arab ( terutama setelah adanya ekspansi para Khalifah keluar Jazirah Arab ) kemampuan mereka dalam bidang bahasa, menurun.[18] Orisinalitas bahasa yang mereka miliki mulai dipertanyakan karena banyak kemasukan unsur-unsur asing. Hal tersebut berimbas pada menurunnya kemampuan mereka dalam menangkap segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an. 
Jika orang Arab keadaannya seperti itu, bagaimana dengan yang non Arab? Padahal cara yang tepat untuk mencapai sisi kemukjizatan Al-Qur’an adalah melalui dzauq ( rasa kebahasaan )yang tinggi.[19] Oleh karena itu perlu adanya bukti-bukti konkrit agar  dimensi kemukjizatan Al-Qur’an tampak lebih jelas. Ini bukan berarti kita   meragukan kemukjizatannya, tapi bukti-bukti tersebut adalah sebagai jembatan bagi orang-orang yang tidak mampu untuk mencapai segi kemukjizatan Al-Qur’an melalui fitrah dan dzauq. Berapa banyak orang arab pada periode turunnya Al-Qur’an mengingkari kemukjizatannya, seperti Al-Walid bin Al-Mughirah diatas, padahal mereka mengakui adanya unsur I’jaz al-Qur’an pada waktu itu. Namun karena cahaya keimanan belum merasuk kedalam dada mereka, bukti yang tampak jelas itu tetap mereka ingkari.
Menurut Abdul Qahir Al-Jurjani, Az Zamakhsyari, As Sakkaki, dan Al Jahidz, ada tiga unsur penting yang menjadi bukti kemukjizatan Al Qur’an. Ketiga unsur tersebut adalah :
Pertama: Al Qur’an dapat mengungguli semua karya sastra yang muncul dikalangan bangsa Arab, padahal karya sastra bagi mereka pada waktu itu merupakan suatu kebanggaan. Jika bukan karena ketidak mampuan untuk melakukan rivalitas, mereka tidak akan tinggal diam. Maka, diamnya mereka menjadi bukti akan kemukjizatan Al Qur’an.
Kedua : Kesaksian para pakar bahasa akan keunggulan ayat-ayat Al Qur’an dan keistimewaannya yang tak mungkin ada pada ucapan manusia.
Ketiga : Beralihnya para pakar bahasa dan sastra (arab)  dari usaha menandingi Al Quran melalui pena dan lisan, berubah menjadi usaha menandinginya dengan pedang (peperangan).[20]
Badie’ Zaman Sa’id An Nursi, seorang pakar Al Qur’an dari Turki, menambahkan beberapa unsur lain, diantaranya:
1.Perhatian ribuan pakar berbagai bidang terhadap Al Quran. Mereka mempelajari dan membahas kitab ini dari berbagai dimensi keilmuan.
2.Keunggulan Al Qur’an terhadap kitab samawy lain, terutama  keorisinalitasannya.[21]
Untuk mempermudah pemahaman tentang bukti-bukti kemukjizatan Al Qur’an, Prof. Dr. Muh. Quraish Syihab menyebutkan tiga hal penting yang harus diperhatikan, antara lain:
Pertama: Kepribadian Nabi Muhammad SAW
Muhammad SAW lahir di Mekkah dalam keadaan yatim, dibesarkan dalam keadaan miskin, tidak belajar pada suatu lembaga pendidikan, tidak pandai bahkan tidak dapat membaca dan menulis, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an :“Engkau tidak pernah membaca sebelumnya (sebelum Al Qur’an) satu kitab pun, tidak juga pernah menulis sesuatu (kitab atau tulisan) dengan tangan kananmu. Andaikata  engkau pernah (membaca dan menulis) maka pasti benar-benar ragu orang-orang yang mengingkarimu (Q.S.Al Ankabut [29]: 48). Selan itu, lingkungan tempat hidup beliau  pun masih terbelakang. Namun kesemua faktor tersebut tidak membawa dampak negatif sedikitpun pada keutuhan pribadinya. Bahkan sebaliknya, sejumlah ahli dari berbagai agama dan disiplin ilmu - seperti Thomas Carlyle penulis buku “ On Heroes, Hero Worship, and the Heroic in History, Nazmi Luke dengan karyanya “ Muhammad, ar-Rasul wa ar-Risalah” dan para pakar lainnya -  bersepakat bahwa Muhammad SAW  adalah satu diantara manusia teragung, bahkan manusia teragung yang dikenal sejarah. Semua ini merupakan bukti bahwa beliau adalah utusan Allah SWT.

Kedua : Kondisi Masyarakat Saat Turunnya Al Qur’an
Kemampuan ilmiah masyarakat Arab pada saat turunnya Al Qur’an amatlah sederhana, bahkan kemampuan tulis baca dikalangan mereka sangat minim. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan Annasai disebutkan bahwa Nabi SAW, bersabda: “ Kami umat yang ummiy, kami tidak pandai menulis, tidak juga pandai berhitung”.
Masyarkat non Arab pada waktu itu relatif lebih maju. Namun pengetahuan yang mereka peroleh bukan atas dasar metode ilmiah yang sistematik atau percobaan-percobaan dalam dunia empiris. Semua itu kemudian mengantarkan ilmuan untuk berkata bahwa masyarakat manusia secara umum belum lagi memiliki ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Memperhatikan kondisi masyarakat dan perkembangan pengetahuan pada masa turunnya Al Qur’an  membawa kita pada bukti kemukjizatan al Qur’an. Betapa kitab ini memaparkan hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal kecuali setelah berkembangnya ilmu pengetahuan.

Ketiga : Masa dan Cara Kehadian Al Alqur’an
Kalau kita telusuri sejarah turunnya al Qur’an, dapat kita temukan dua hal penting yang menjadi bukti kemukjizatannya, dan bukti bahwa kitab suci ini bukanlah buatan Nabi Muhammad SAW.  Kedua  hal tersebut adalah  :
a.Kehadiran  wahyu Al quran diluar kehendak Nabi Muhammad.
b.Kehadirannya secara tiba-tiba.[22]

E. Tantangan Al Quran.
Sudah menjadi kebiasaan bangsa arab untuk saling  tantang menantang (saling bersaing) dalam  syair dan khutbah . Hal ini didasari oleh kepercayaan diri mereka  tehadap kemampuan yang dimiliki. Kemahiran dalam bidang bahasa dan sastra merupakan simbol kebanggaan mereka. Maka tatkala datang, Al Quran menantang mereka untuk menandinginya, namun mereka tidak mampu  melayani.  Dalam banyak ayat Al Quran disebutkan hal ini  agar menjadi saksi sejarah  akan ketidak mampuan bangsa arab – yang notabene ahli dalam bidang sastra – untuk mengarang sebuah karya sastra  sebagai tandingan bagi kitab ini.[23]
Ada lima fase tantangan yang dicatat Al Quran yaitu  :
Fase pertama, tantangan untuk membuat semacam keseluruhan Al Quran sebagaimana disebutkan dalam surat Al Isra  ayat 88:
( قل  لئن إجتمعت  الإنس والجن على أن يأتوا بمثل هذا القرآن لايأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا)   
 dan surat Ath Thur ayat 33فاليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين  .
Fase kedua,tantangan untuk membuat sepuluh surat saja  sebagimana diterangkan dalam surat Hud  ayat 13-14:أم يقولون افتراه قل فأتوا بعشر سور مثله مفتريات وادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين * فإن لم يستجيبوا لكم  فاعلموا أنما أنزل بعلم الله وأن لا إله إلا هو فهل أنتم مسلمون 
Fase ketiga , tantangan  hanya membuat satu surat saja. Hal ini dijelaskan dalam surat  Yunus ayat 38 أم يقولون افتراه  قل فأتوا بسورة مثله وادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين
 Fase keempat, tantangan membuat lebih kurang satu surat. Sebagai mana dapat dipahami dari firman Allah dalam surat Al Baqarah  ayat 23-24[24]
وإن كنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله وادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين * فإن لم تفعلوا ولن تفعلوا فاتقوا النار التى وقودها الناس والحجارة أعدت للكافرين
Ayat Al Baqarah  ini mirip redaksinya dengan ayat   Yunus  38   yang dikutip sebelumnya. Perbedaanya antara lain  pada kalimat فأتوا بسورة مثله  dan فأتوا بسورة من مثله  kata  من  diartikan disini  sebagai  “lebih kurang”, sehingga dengan demikian tantangan ini lebih rendah  dari tantangan sebelumya yang menuntut membuat satu surat  tanpa menggunakan من   atau lebih kurang.[25]
Berdasarkan fase-fase tantangan tersebut para ulama berbeda pendapat  dalam masalah  batas minimal  kemukjizatan Al Quran. Sebagian besar ulama – diantaranya Al Baqillany  berpendapat bahwa batas minimal kemukjizatan Al Quran adalah satu surat (panjang atau pendek) atau yang semisal dengan satu surat. Oleh karena itu  satu ayat yang  panjangnya menyamai satu surat - walaupun surat Al Kautsar – dapat memenuhi kriteria sebagai  mukjizat. Syeikh  Abdul Adhim  Az Zarqany  dalam Manahilul Irfan menulis : “Batas kemukjizatan Al Quran adalah sebatas surat terpendeknya. Sedangkan mu’ tazilah berpendapat bahwa kemukjizatannya adalah seluruh Al Quran bukan sebagian”.[26]
Berbeda dengan kedua  pendapat diatas Badi’Azzaman  Said An Nursy berpendapat bahwa setiap  ayat yang ada dalam Al Quran  adalah mukjizat. Lebih jauh lagi beliau memandang, semua kata bahkan semua huruf-huruf Al Quran dapat dikategorikan sebagai  mukjizat.[27] Pendapat ini didukung oleh syeikh Mutawalli As Sya’rowi. Dalam bukunya Mukjizat Al Quran beliau menulis : “ Mukjizat Al Quran berbeda dengan mukjizat para rasul terdahulu, didalamnya ada segi kemukjizatan yang hanya dicapai oleh nalar manusia setelah munculnya penemuan-penemuan baru tentang  rahasia alam. Pada saat itu nampaklah segi kemukjizatan Al Quran yang lain (baru). Segi kemukjizatan ini memberikan nuansa baru bagi makna i’jaz, bahkan kemukjizatan  kadang-kadang muncul dalam sebuah hurup Al Quran yang mengandung unsur i’ jaz yang luar biasa”.[28]
Sementara itu As Sakkakiy berpendapat  bahwa kadar kemukjizatan Al Quran adalah satu surat yang  termasuk kedalam golongan  Ath thiwal ( surat-surat panjang ) atau  sepuluh surat dari golongan Al Awsath ( surat-surat sedang ).[29]
Dari keempat pendapat diatas, pendapat yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama lebih dapat diterima karena didukung oleh dalil  Al Quran surat Al Baqarah ayat 23: فأتوا بسورة من مثله    potongan ayat ini  menerangkan fase akhir tantangan Al Quran  yaitu membuat “lebih kurang” satu surat, dalam arti kurang dari satu surat. Kata من   dalam ayat tersebut menunjukan  makna “sebagian”  bukan keseluruhan.

F. Apakah tantangan Al Quran kekal sampai hari kiamat ?
Para ulama sepakat akan keabadian kemukjizatan Al Quran kapan,dimana dan untuk siapa saja. Selama matahari masih terbit dari   sebelah timur,  selama masih ada siang dan  malam Al Quran akan tetap menjadi mukjizat terbesar dan bukti yang nyata bagi  kebenaran risalah  yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Namun dalam hal tantangan yang dikandung oleh Al Quran ini mereka berselisih pendapat apakah kelanggengaannya  juga menyamai keabadian  mukjizat Al Quran ? ataukah  periode tantangan telah berlalu seiring dengan  berlalunya masa keemasan mereka dalam bidang bahasa dan sastra.
Imam Abdul Qahir  Al Jurjani  berpendapat  bahwa masa tantangan Al Quran  untuk menandinginya  itu  telah berakhir  semenjak berakhirnya  kurun pertama hijriah. Yang menjadi tolok ukur dalam hal ini adalah orang arab pada masa turunnya  Al Quran, karena kitab ini  diturunkan dalam bahasa mereka  jika mereka saja  tidak mampu untuk menandingi  Al Quran, apatah lagi generasi setelahnya terutama bangsa non arab. Oleh karena itu setelah berlalunya  kurun pertama  tantangan itu tidak berlaku lagi. Sedangkan ulama lain yang turut serta menyumbangkan pemikiran  dalam masalah ini adalah Badi Azzaman Said An Nursi. Beliau memandang bahwa tantangan Al Quran telah berakhir pada abad XIII hijriah. Pendapat ini berlandaskan kepada keyakinan bahwa tantangan Al Quran tidak hanya terbatas kepada sisi keindahan bahasanya saja  sebagaimana yang diyakini oleh Al Jurjani. Akan tetapi tantangannya berlaku dalam setiap segi kemukjizatannya. Berakhirnya masa tantangan  pada abad ke XIII hijriah  karena pada saat itu sains modern telah mencapai masa keemasannya, namun tantangan Al Quran  masih tetap tidak dapat dilayani.[30]
Dalam menyikapi masalah ini kita patut bertanya-tanya,   mengapa tantangan Al Quran hanya berlaku untuk umat dimasa turunnya saja? Jika tantangan tersebut tetap berlanjut sampai generasi berikutnya, mengapa harus dibatasi hanya sampai abad XIII hijriah ? tidakkah  lebih baik kalau tantangan ini tetap berlanjut  seiring dengan kelanggengan Al Quran  agar semua umat  menyadari kelemahannya sehingga  kemukjizatan Al Quran bisa dirasakan sepanjang  jaman.

G. Segi-segi kemukjizatan Al Quran dalam perspektif ulama
Semenjak  munculnya  usaha para ulama untuk menyingkap tabir kemukjizatan Al Quran belum ada kata sepakat tentang unsur apa yang mengandung I’jaz. Perbedaan pendapat ini bisa diklasifikasikan menjadi dua golongan besar. Golongan pertama memandang adanya unsur ekstern  yang menjadikan Al Quran tidak  dapat  ditandingi. Sedangkan golongan kedua memandang bahwa  semua segi  kemukjizatan  Quran berasal  dari kandungan Al Quran itu sendiri.  
Golongan pertama  dipimpin oleh Abu Ishak Ibrahim ibn Sayar  An-nazham. Dalam pandangan golongan ini sebenarnya orang Arab mampu untuk membuat tandingan al qur’an, namun Allah telah memalingkan mereka  dari usaha rivalitas dengan mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki.[31] Inilah yang dalam istilah mereka biasa disebut dengan sharfah.
Sementara itu Abu Hasan Ali ibn Isa Al-Rumani seorang tokoh besar mu’tazilah yang juga mendukung pendapat ini memahami makna sharfah sedikit berbeda dengan pemahaman An-Nazham. Menurutnya, sarfah adalah  Allah mele-mahkan semangat  umat manusia sehingga mereka tidak mempunyai keinginan menyusun suatu karya untuk menandingi Alqur’an.
Sedangkan golongan kedua terdiri dari ulama Ahl Assunnah, diantaranya Hamdun ibn Muhammmad ibn Ibrahim Alkhattabi, Muhammad ibn Atthayyib Abu Bakar Albaqilani, Abdul Qahir ibn Abdurrahman Aljurjani dan sederetan pakar dari golongan sunni lainnya. Walaupun mereka sepakat bahwa segi kemukjizatan Alqur’an tidak berasal dari faktor eksteren namun mereka berselisih pendapat dalam menentukan unsur pembentuk mukjizat Alqur’an. Apakah unsur pembentuk mukjizat itu berasal dari dimensi kebahasan, pemberitaan ghaibnya, isyarat-isyarat ilmiah ataukah petunjuknya bagi kehidupan umat manusia.
Dari persilangan pendapat diatas bermunculan macam-macam teori I’jaz Alqur’an, diantaranya :
1.Al I’jaz al-Balaghi an-Nadhmi, yang menitikberatkan pada segi keindahan bahasa    dan susunan Alqur’an serta ketepatan pemilihan kosa katanya.
2.Al I’jaz Attasyri’iy, corak ini mengetengahkan kemukjizatan Alqur’an dalam dimensi petunjuknya bagi kehidupan manusia.
3.Al I’jaz al ‘Ilmi, dalam corak ini kita dibawa untuk menggali penemuan-penemuan baru melalui isyarat-isyarat ilmiah Alqur’an.
4.Al I’jaz Al‘adady,Corak ini menampilkan keajaiban-keajaiban yang terkandung dalam bilangan-bilangan yang disebutkan oleh Alqur’an.
Serta masih banyak corak –corak lain  yang akan terus bermunculan seiring dengan perkmbangan ilmu pengetahuan.
Dari aneka macam pendapat yang dikemukakan para ulama diatas, muncul sebuah pertanyaan unsur apa yang sebenarnya membentuk kemukjizatan Alqur’an? Atau corak manakah yang kita pilih? Bolehkah kita membatasi segi kemukjizatan Alqur’an? Dalam menyikapi permasalahan ini Syekh Muhammad Mutawalli As Sya’rawy menulis : “Jenis mukjizat yang dikandung oleh Alqur’an pada tiap-tiap generasi berbeda antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dikarenakan kitab suci ini turun untuk semua umat manusia dan tidak terbatas pada suatu bangsa tertentu, karena ia adalah petunjuk yang universal. Setiap generasi tidak boleh vakum dari unsur kemukjizatan Alqur’an. Jika hal ini terjadi, maka generasi-generasi selanjutnya akan kehilangan segi kemukjizatannya”.[32]
Berdasarkan pendapat Syekh Sya’rawy diatas dapat kita ambil pelajaran sebagai berikut a.Kemukjizatan alqur’an abadi sampai generasi terakhir.
b.Segi kemukjizatannya berbeda pada setiap generasi, dalam arti tidak terbatas pada unsur atau corak tertentu saja.
c.Kurang bijaksana jika kita membatasi kemukjizatan alqur’an pada satu dimensi saja.
Oleh karena itu silang pendapat antar pakar islam dalam menentukan dimensi kemukjizatan alqur’an hanyalah perbedaan sudut pandang saja. Semua pendapat dapat diterima dan saling melengkapi.
G.1 Penolakan terhadap teori “sharfah”
Walaupun macam-macam segi kemukjizatan Alqur’an tidak dapat dibatasi, namun kita tidak bisa memberikan kata “yes” untuk teori sarfah yang dilontarkan oleh sebagian besar ulama mu’tazilah. Dalam tafsir Al-manar, Syekh M.Rasyid Ridha mengatakan bahwa, “teori sarfah adalah teori para pemalas yang enggan meluangkan waktu dan pemikirannya untuk menyingkap tabir-tabir kemukjizatan Alqur’an.[33] Sementara itu Azzarkasyi dalam Alburhan menolak teori ini dengan mengemukakan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Firman Allah Swt dalam surat Al Isra’ : 88 memperlihatkan kelemahan  bangsa jin dan manusia untuk menyusun karya besar yang sejajar dengan Alqur’an, jika Allah yang melarang mereka maka yang mu’jiz (melemahkan) bukanlah Alqur’an, tapi justru Allah sendiri. Padahal ayat tersebut menantang mereka menyusun karya sejajar dengan Alqur’an bukan untuk menandingi kebesaran Tuhan . Dan para pakar telah sepakat bahwa yang mu’jiz itu adalah alqur’an.
2. Teori sarfah menyebabkan hilangnya kemukjizatan Alqur’an karena tidak ada lagi tantangan. Jika Alqur’an telah hilang segi kemukjizatannya, maka Alqur’an sendiri pun tidak lagi dianggap sebagai mukjizat.[34]
Menurut sebagian pakar islam, teori sarfah berasal dari kebudayaan Hindu, teori ini diadopsi oleh para filosof Islam dari kitab Weda yang berisi sya’ir-sya’ir yang - menurut anggapan para penganut agama hindu -tidak dapat ditandingi oleh manusia. Para Brahmana (ulama Hindu) meyakini bahwa seluruh manusia tidak memiliki kemampuan untuk menandingi isi kitab Weda tersebut karena dewa Brahma telah memalingkan mereka dari usaha untuk membuat tandingan bagi kitab ini.
Diantara pakar islam yang setuju dengan pendapat ini antara lain Abu Raihan Albiruni dan Syekh Abu Zahroh. Usaha penyerapan kebudayaan hindu tersebut-menurut Syekh Abu Zahroh - dimulai semenjak zaman Abu Ja’far al Mansur salah seorang khlaifah bani Abbas.[35]
Sementara itu, Badi’ Azzaman sa’id Annursy berusaha menjadi penengah dalam melerai pertentangan antar golongan yang pro dan yang kontra terhadap teori sarfah. Menurut beliau teori ini  dapat diterima  asalkan maksud dari sharfah tersebut adalah : Ketidakmampuan manusia untuk mencapai keindahan gaya bahasa Alqur’an, sebagaimana yang dipahami oleh Aljurjani, Azzamakhsyari dan Assakaki.[36]

H. Penutup
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan antara lain :
a.Al qur’an adalah bagian dari mukjizat yang Allah berikan kepada para nabi sebagai bukti kebenaran risalah yang dibawanya.
b.Mukjizat para nabi terdahulu bersifat material inderawi dan tidak kekal, sementara mukjizat Alquran bersifat immaterial dan abadi.
c.Tantangan Alqur’an tidak terbatas pada suatu bangsa, masa dan tempat.
d.Macam-macam segi kemukjizatan Alqur’an tidak bisa dibatasi, dan pertentangan yang terjadi antar ulama dalam hal ini dapat saling melengkapi
e.Teori sharfah tidak dapat diterima dengan tangan terbuka karena teori ini dapat mengaburkan makna kemukjizatan Alqur’an.
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang kemukjizatan Alqur’an. Saran dan kritik membangun penulis harapkan agar kita dapat saling take and give demi kelancaran diskusi ini. Wallahu’alam bisshowab.

       
                       


* Makalah disampaikan pada diskusi rutin FORDIAN hari selasa 20 Februari 2001 di auditorium Wisma Nusantara.
** Mahasiswa tingkat akhir jurusan tafsir Universitas Alazhar Kairo Mesir.
[1] As suyuthi, Al Itqan fi ulum Al qur an, (Cairo: Dar Al Turats, Ttp) Juz IV, h. 3
[2]  Lihat, Al I‘jaz Alqur‘ani, ( Kumpulan makalah simposium tentang I‘jaz Al qur‘an di Baghdad, 1990 ) h. 613
[3]  Abdul ‘Adziem Alzarqani, Manahil Al‘Irfan fi ‘ulum Al qur’an, ( Cairo: Dar Al Ihya Al kutub Al Arabiyah, Ttp ) Juz I, h. 73
[4]  Muhammad bin Hasan bin Aqil Musa, I‘jaz Al qur‘an Al Karim baina Al Imam al Suyuti wa al Ulama, ( Jeddah: Dar Al Andalus al Khadra, 1997 ) h. 36
[5]  Imam Al Haramain, Kitab Al Irsyad, ( Beirut: Dar Al Kutub al Ilmiyah, 1995 ) h. 128
[6]  Al Qurtubi, Al Jami‘ li Ahkam Al Qur‘an, ( Cairo: Dar Al Hadits, 1996 ) Juz I, h. 86-87
[7]  Al suyuti, loc.cit
[8]  Shalahuddin Basyuni Ruslan, Al qur‘an al Karim, ( Cairo: Dar Al Tsaqafah, 1984 ) h. 216
[9]  H. Muh. Quraish Syihab, Mu‘jizat Al qur‘an ( Bandung: Mizan, 1998 ) h. 33
[10]  Shalahuddin Basyuni Ruslan, op.cit, h. 218-220
[11]  Ibid, h. 219
[12]  Subhi Shaleh, Mabahits fi Ulum Al qur‘an, ( Beirut: Dar Al ‘Ilmi lilmalayin, 1988 ) h. 21
[13]  Baca, Abdullah Darraz, Al Naba‘ Al Adzim ( Alexandria: Dar Al Murabithin, 1997 ) h. 9-10
[14]  Al Zarqani, op.cit h. 321
[15]  H. Muh. Quraish Syihab dkk, Sejarah & Ulum Al qur‘an ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999 ) h. 106
[16]  Al I‘jaz Al qur‘ani, op.cit, h. 462
[17]  Ali Al ‘Ammari, Haula I‘jaz Al qur‘an ( Suplemen Majalah Al Azhar , 1419 H ) h. 4
[18]  Ibid, h. 6
[19]  Ibid.
[20]  Badie‘Al Zaman Sa‘id Al Nursi, Isyarat Al I‘jaz fi Madhan Al Ijaz ( Cairo: Dar Sozler, 1994 ) h.180
[21]  Ziyad Khalil Muhammad Al Daghamin, I‘jaz Al qur‘an wa Ab‘aduhu Al Hadariah fi fikri Al Nursi, ( Izmir: Dar Al Nil, 1998 ) h.27
[22]  H. Muh. Quraish Syihab, op.cit, h. 63-74
[23]  Lihat, Musthafa Shadiq Al Rafi‘iy, I‘jaz Al qur‘an wa Al Balaghah al Nabawiyah, ( Manshurah: Maktabah Al Iman, 1994 ) h. 146
[24]  Ziyad Khalil Al Daghamin, op.cit , h. 29-30
[25]  H. Muh. Quraish Syihab, op.cit, h. 46
[26]  Al Zarqani, op.cit, Juz II, h. 330
[27]  Ziyad Khalil, op.cit, h. 35
[28] Muh. Mutawalli Al Sya‘rawi, Mu‘jizat Al qur‘an, ( Cairo: Akhbar Al yaum, Ttp ), Juz I, h. 22 
[29]  Ziyad Khalil Al daghami, op.cit, h. 35
[30] Ibid h. 33
[31] azzarkasyi, alburhan fi ulum alquran ( beirut, maktabah al‘ashriyah, Ttp ) juz II h. 93
[32] Assya‘rawy, op.cit h. 22
[33] Ziyad khalil addaghamin, op.cit h. 51
[34] Azzarkasyi, op.cit h. 94
[35] Shalahudin Basiyuni Ruslan, op.cit h. 333
[36] Annursiy, op.cit h. 188