SEJARAH AL QUR-AN


SEJARAH OTENTIFIKASI AL-QURAN*

Oleh Fahmi Salim Zubair


Allah SWT befirman:


“Sesungguhnya kami telah meurunkan Al-Quran



dan kami pulalah yang akan memeliharanya”  (Q.S. 15:9)




Mukaddimah

Al-Quran memperkenalkan dirinya dengan beberapa ciri dan sifat. Salah satu diantaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah SWT. Dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara, sebagiamana tersurat dalam ayat Al-Quran sebagaimana yang dikutip di atas. Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh kaum beriman. Dengan jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda sedikitpun dari apa yang pernah dibaca oleh Nabi SAW. Dan yang didengar serta dibaca sahabat Nabi SAW. Akan tetapi adakah bukti lain yang dapat membuktikan keotentikan Al-Quran selain kepercayaan yang diyakni setiap muslim itu. Sebagai muslim kita dengan tegas mengatakan ya, dengan didasari dengan bukti-bukti kesejarahan yang mengantar kita kepada kesimpulan tersebut. Lagi pula banyak kalangan yang sepakat bahwa Al-Quran merupakan satu-satunya kitab yang paling otentik yang pernah dikenal dalam sejarah kemanusiaan. Sementara kitab-kitab suci agama lain diriwayatkan beberapa abad setelah diturunkan, Al-Quran ditangani dan dipelihara secara serius semenjak wahyu tersebut diturunkan pada masa Rasulullah SAW hidup.

Bukti-Bukti dari Al-Quran Sendiri


Sebelum kita mengamati lebih mendalam bukti-bukti sejarah yang mendukung keotentikan Al-Quran, ada baiknya kita mencermati pandangan seorang ulama syiah kontemporer, Muhammad Husain al-Thabathabai, yang mengatakan “Sejarah Al-Quran demikian jelas dan terbuka semenjak turunnya sampai saat ini. Ia dibaca oleh kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab suci tersebut mengenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa saja untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti Al-Quran yang ada ditangan kita adalah pula Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi tanpa pergantian atau perubahan adalah berkaitan dengan sifat dan ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.” 1

Sebelumnya Harist al-Muhasibi telah menyatakan hal yang serupa dalam bukunya fahm al sunan ketika menjawab pertanyaan mengapa kaum muslimin menaruh kepercayaan kepada catatan dan hafalan para penulis wahyu. Di antaranya menurut al Muhasibi karena mereka telah meresapi serta mampu membedakan kata-kata yang memiliki i‘jaz dengan yang tidak. Hal itu tidak mustahil, karena mereka lah yang menyaksikan turunnya wahyu dan mendengarkan bacaannya langsung dari mulut Nabi selama sekitar duapuluh tahun. Artinya, salah satu dari beberapa prinsip metode kritik ilmiah dalam menilai palsu atau tidaknya sebuah teks adalah “Bahasa Teks” berikut sifat dan cirinya atau dengan kata lain, unifikasi sastra yang menghubungkan bagian-bagian teks yang memiliki karakter umum meskipun wahyu turun dalam ruang dan waktu yang berbeda.2

Di antara bukti-bukti keotentikan Al-Quran adalah ditemukannya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakanya yang menunjukkan ketelitian redaksi-redaksi Al-Quran. ‘Abdur Razaq Naufal dalam karyanya yang monumental “Al I’jaz Al ‘Adadi li Al-Quran al Karim” telah membuktikan hal tersebut.

Bukti-bukti Kesejarahan


Ada beberapa faktor pendukung bagi pembuktian otentisitas Al-Quran yang terlebih dahulu mesti dikemukakan, sebagai berikut:

  1. Masyarakat Arab ketika turunnya Al-Quran belum mengenal budaya baca tulis, karena itu satu-satunya andalan mereka adalah hafalan.
  2. Masyarakat Arab dikenal sangat sederhana dan bersahaja, yang mana kesederhanaannya itu memberikan mereka waktu luang yang cukup untuk menambah ketajaman pikiran dan hafalan mereka.
  3. Masyarakat Arab pada waktu turunnya Al-Quran dikenal sangat menggandrungi kesusasteraan, mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu.
  4. Al-Quran mencapai tingkat tertinggi dari aspek keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin tetapi juga bagi orang-orang kafir.
  5. Al-Quran demikan pula Rasul SAW, menganjurkan kaum muslimin untuk memper-banyak bacaan dan mempelajari Al-Quran. Anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat.
  6. Ayat-ayat Al-Quran turun berdialog dengan mereka, mengomentari peristiwa-peristiwa yang mereka alami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Disamping itu Al-Quran turun sedikit demi sedikit sehingga memudahkan pencernaan makna dan proses penghafalannya.
  7. Al-Quran juga memuat petunjuk untuk bersikap teliti dan hati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita. Terlebih lagi apabila yang disampaikan itu berupa firman-firman Allah atau sabda Rasulnya.

Faktor-faktor diatas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya Al-Quran. Itulah sebabnya banyak riwayat yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan para sahabat yang menghafalkan Al-Quran. Bahkan dalam peperangan Yamamah yang terjadi setelah wafatnya Rasul telah gugur tidak kurang dari tujuh puluh sahabat penghafal Al-Quran. Walaupun Nabi dan sahabat menghafal Al-Quran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu dan keotentikannya beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, melainkan juga tulisan.

Pengumpulan dan Penulisan Naskah Al-Quran


Pembahasan tentang kompilasi Al-Quran merupakan salah satu pokok dalam menjelaskan upaya pelestarian dan pemeliharaan Al-Quran serta mengidentifikasi otoritasnya yang menjadi ajang perbedaan metode antara sarjana-sarjana muslim dan peminat studi-studi ketimuran (orientalis). Dengan dalih kebebasan riset dan orisinalitas metode kritik sejarah, mereka giat melakukan kajian terhadap teks Al-Quran yang sering kali menjermuskan kita kepada pemahaman yang keliru terhadap upaya kompilasi Al-Quran pada masa khulafa’ rasyidin. Di antara kekeliruan tersebut adalah upaya mereka untuk menginterpretasikan sejarah islam dengan “Tafsiran Ekonomi” yang menafikan setiap peristiwa yang terjadi dalam sejarah islam termasuk di dalamnya proses kompilasi Al-Quran didorong oleh tujuan dan target yang mulia semata-mata lillahi ta’ala. Di samping itu tidak jarang dalam mengkaji sejarah Al-Quran mereka mengambil informasi-informasi sejarah yang lemah sebagai sandaran untuk mendukung prakonsepsi yang ada di kepala mereka.

Beberapa kesalahan fatal prinsip yang mereka pakai adalah menyamakan kedudukan Al-Quran dengan kitab-kitab suci yang terlebih dahulu ada, bahkan karya-karya sastera humanis, sebagai teks kuno yang terimbas perubahan zaman, serta asumsi yang mereka kembangkan bahwa kajian historis atas teks-teks kitab suci mengantarkan kita bisa memilih teks yang asli dengan yang palsu. Hal itu sering diadvokasikan oleh sarjana barat, Arthur Jeffri ketika menyunting dan menerbitkan kitab “Al-Mashahif” susunan Ibnu Abi Dawud al-Sijistani. Ide kritik historis dan penerapannya dalam mengkaji teks-teks kuno pertama kali diintrodusir oleh seorang pakar dari Jerman bernama Wolf 3 yang tertarik mengkaji kitab “Ellyas” karya Homerus yang mengantarkannya mampu mengungkap fase-fase yang dilalui buku tersebut. Sehingga mendorong beberapa sarjana Eropa untuk menerapkan metode tersebut untuk mengkaji teks-teks Al-Quran.

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa sejarah umat manusia, sebagaimana yang telah disinggung, tidak mengenal kitab paling otentik selain Al-Quran, sehingga metode kitik sejarah yang diusung para orientalis tidak proposional. Karena bukti-bukti historis menginformasikan dengan akurat perhatian serius yang dilakukan kaum muslim dalam upaya melestarikan dan memelihara Al-Quran sejak diturunkannya. Terlebih lagi jika kita menilai bahwa kurun waktu selama kurang lebih dua puluh dua tahun yang dipergunakan Nabi SAW untuk menerangkan hukum-hukum setiap ayat Al-Quran dan ayat yang nasikh-mansukh serta prinsip otoritas mutlak (Tawqifi) yang dipegang kamu muslim dalam segala hal yang berkaitan dengan Al-Quran, cukup untuk menolak diterapkannya metode kritik sejarah dalam mengkaji naskah Al-Quran. Sehingga tidaklah berlebihan bagi sarjana muslim, apabila kajian terhadap tiga fase pengumpulan Al-Quran yang terkenal itu tidak dimaksudkan sebagai langkah-langkah pengakurasian teks, melainkan lebih merupakan cerminan perkembangan kehidupan negara Islam.4 Maksudnya, motivasi penggerak upaya kompilasi Al-Quran dalam tiga periode tersebut sangat berkaitan erat dengan gerak maju ekspansi negara islam keluar kawasan Arab.

Frasa kompilasi Al-Quran yang penulis pakai dalam kaitan pembahasan ini yang beasosiasi tulisan, kumpulan naskah atau manuskrip adalah salah satu pengertian kata jama’ dalam bahasa Arab. Pengertiannya yang lain adalah menghafal, sehingga apabila kita mendengar kalimat jami’ Al-Quran, kita bisa memaknainya dengan penghafal atau penulis Al-Quran. Pembicaraan tentang Jam’ Al-Quran yang berarti hafalan, menuntun kita untuk mengetahui bahwa proses menghafal Al-Quran dengan metode talaqqi dan periwayatan yang bersambung sampai Rasulullah, merupakan basis utama dalam pembuktian sah atau tidaknya bacaan Al-Quran dalam tradisi kaum muslim. Sehingga tulisan hanya berfungsi sebagai pendukung hafalan. Itu sebabnya mengapa tulisan ayat yang terdapat dalam naskah-naskah tua pada masa Nabi SAW berupa kerangka konsonantal.

Ibn Al-Jazariy seorang pakar qiraat terkemuka menegaskan: “Pengandalan atas hafalan di luar kepala dalam proses transmisi Al-Quran dan bukan dengan tulisan naskah adalah anugerah utama yang diberikan oleh Allah kepada umat islam”. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:

أن النبي صلي الله عليه وسلم قال: ان ربي قال لي: قم في قريش فأنذرهم فقلت له اي رب اذا يثلعوا رأسي حتى يدعوه خبزه فقال اني مبتليك ومبتل بك ومنزل عليك كتابا لا يغسله الماء تقرءه نائما ويقظان ..... (الحديث)

Hadits di atas menyiratkan bahwa Al-Quran dibaca dari lubuk hati (hafalan) dalam setiap kondisi sehingga pembacanya tidak perlu lagi melihat lembaran yang ditulis dengan tinta pena yang mudah sirna apabila tercuci air.

Adapun Jam’ Al-Quran yang berarti penulisan dan pengumpulan Al-Quran dalam mushaf resmi telah mengambil tiga bentuk dalam tiga preiode awal islam, sebagaimana yang akan kita uraikan sebagai berikut.

A. Kompilasi Al-Quran pada Masa Rasulullah


Telah dimaklumi bahwa Nabi SAW menugaskan para sahabat yang dikenal pandai menulis untuk mencatat wahyu. Di antaranya: Abu Bakr ra, ‘‘Umar ibn al-Khattab ra, ‘Ali ibn Abi Thalib kw, ‘Utsman ibn ‘Affan ra, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan ra, Zaid ibn Tsabit ra, Ubay ibn Ka’b ra, Khalid ibn Walid ra, Tsabit ibn Qais ra. Mereka adalah sahabat yang masyhur sebagai penulis wahyu. Imam al-Hakim menceritakan dari Zaid ibn Tsabit bahwa ia berkata: “Kami mencatat Al-Quran dihadapan Rasul SAW diatas lembaran kulit atau kertas”. Bahkan Regis Blachere dalam ‘Introduction au Coran” menghitung tak kurang dari empat puluh sahabat penulis wahyu melalui perbandingan hitungan Frederich Schwally dan Paul Cassanova berdasarkan laporan yang dikemukakan Ibn Sa’d, al-Thabari, al-Nawawi, Ibn Hisyam dan lain-lain.

Kompilasi Al-Quran pada masa Rasul dimulai sejak turunnya wahyu5 dan berakhir sampai wafatnya Nabi SAW. Al-Quran pada waktu itu masih berupa kepingan naskah yang berserakan dan masih belum terkumpul dalam satu mushaf dikarenakan Nabi SAW masih menunggu wahyu yang kemungkinan berisi hukum yang menghapus hukum yang turun terdahulu. Al-Zarkasyi berkata: “Alasan Al-Quran tidak ditulis dalam mushaf pada masa Nabi SAW agar tidak terjadi preubahan pada setiap saat. Oleh sebab itu penulisannya (dalam mushaf) terlambat sampai tuntas turunnya wahyu dengan kewafatan beliau”6. Adapun informasi yang mengatakan bahwa Zaid pernah berkata bahwa Al-Quran belum dikumpulkan pada suatu apapun ketika Rasulullah wafat, tidak berarti Al-Quran tidak pernah tercatat pada masa Nabi akan tetapi penafian tersebut tertuju kepada sesuatu yang bagian-bagiannya belum tersusun rapi seperti kompilasi Abu Bakar dan Utsman ra. Lagi pula sanad riwayat tersebut lemah. Karena Ibrahim ibn Basyar, salah seorang perawidi dhloifkan oleh para kritikus hadis. Sedangkan ‘Ubaid, perawi lain bersifat majhul (biografinya tidak dikenal). Spesifikasi lain dari kompilasi Al-Quran pada masa Rasulullah adalah cakupannya terhadap “Ahruf Sab’ah” dan ayat beserta suratnya terpisah-pisah dalam kepingan pelepah kurma, kulit, tulang dan lain-lain.

B. Kompilasi Al-Quran Masa Abu Bakar ra


Berita wafatnya Nabi SAW menimbulkan goncangan hebat dalam komunitas muslim yang baru tumbuh. Belum lagi kaum muslim keluar dari hiruk-pikuk proses pengangkatan suksesor dan penguburan jenazah Nabi, mereka dikejutkan dengan berita pembangkangan di pelosok kawasan Arab dan gerakan apostasi (riddah) yang terjadi di beberapa daerah kekuasaan islam. Semua itu menghalangi kaum muslim untuk memikirkan masa depan Al-Quran. Karena selain para sahabat sibuk dengan perang yang berkecamuk, mereka tidak merasakan terjadinya ‘sesuatu’ akan masa depan Al-Quran. Menurut mereka toh Al-Quran telah ditulis dan dipelihara di rumah istri-istri Nabi dan lagi pula para penghafal Al-Quran masih banyak. Akan tetapi terjadi sesuatu yang tak terduga sama sekali. Dalam perang Yamamah, telah gugur sekitar seribu orang syahid, termasuk di antaranya sekitar empat ratus lima puluh sahabat menurut hitungan at Thabari yang membuat ‘‘Umar risau terhadap Al-Quran. Imam al-Bukhari menginformasikan dengan sanadnya dari Zaid ibn Tsabit berkata:

“Abu Bakar mengutusku dan mengabarkan bahwasannya ‘Umar datang kepadaku dan berkata: perang yamamah telah banyak menewaskan  para penghafal Al-Quran dan aku khawatir peperangan lain juga turut menewaskan para qurro didaerah-daerah sehinga banyak bagian dari Al-Quran yang akan hilang. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya anda memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Quran. Saya bAlik bertanya kepada ‘Umar; bagaimana mungkin saya mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, ‘Umar menjawab: demi Allah, itu adalah ide yang baik dan ia terus berusaha meyakinkan saya sehngga Allah melapangkan jalan untuk menerima ide itu. Zaid berkata: Abu Bakar berkata:”Anda adalah anak muda yang cerdas dan kami mempercayaimu, lagi pula dahulu kamu turut mencatat wahyu pada masa Rasul. Maka cari dan kumpulkanlah Al-Quran; (Zaid berkomentar) demi Allah sekiranya mereka menyuruhku untuk memindahkan sebuah gunung, tidaklah lebih berat dari pada perintah mengumpulkan Al-Quran. Aku (Zaid) bretanya: bagaimana mungkin kAlian mengerjakan sesuatu yang tidak penah dilakukan Rasul. Beliau menjawab: “Demi Allah, ini adalah ide baik, dan Abu Bakar terus meyakinkan saya sehingga Allah melapangkan dada saya seerti yang dialami Abu Bakar dan ‘Umar. Maka aku kumpulkan Al-Quran dari catatan-catatan lembaran lontar dan lempengan batu erta hafalan para sahabat, sampai akhirnya saya mendapatkan akhir surat attaubah dari abi khuzaimah yang tidak kuperoleh dari selainnya yaitu ayat “laqad ja’akum rasulun min anfusikum... maka Shuhuf-shuhuf itu disimpan oleh Abu Bakar sampai beliau wafat, kemudian oleh ‘Umar semasa hidupnya kemudian oleh Hafshah”.

Dalam riwayat lain terdapat keraguan Zaid dari Abi Khuzaymah7 atau Khuzaymah.8 Syekh Muhammad Abu Syahbah menegaskan bahwa riwayat pertamalah yang benar.9

Seandainya ‘Umar tidak berhasil meyakinkan Abu Bakar dalam soal pengumpulan Al-Quran besar kemungkinan, menurut Abdusshabur Syahin, mereka berdua akan melakukan jajak pendapat kepada jumhur sahabat mengenai masalah kompilasi Al-Quran. Karena keputusan bersejarah itu tidak dapat diambil oleh dua orang sahabat saja mengingat Al-Quran merupakan Undang-undang Dasar negara islam.

Khalifah Abu Bakar menyusun juklak bagi komisi yang diketua Zaid yang mensaratkan penerimaan catatan Al-Quran sesuai dengan hafalan sahabat lain dan catatan tersebut ditulis dihadapan dan atas perintah Rasulullah SAW, di samping harus disaksikan oleh dua orang saksi. Juklak itu dilaksanakan dengan teliti sampai-sampai konon ‘Umar membawa ayat perajaman, akan tetapi Zaid menolak untuk menulisnya, karena ‘Umar tidak mendatangkan dua orang saksi. Demikian pula perbedaan antara ‘Umar dan Zaid yang didukung oleh Ubay tentang ada tidaknya huruf (و) setelah kata (الأنصار) dalam Q.s. 9:100 serta upaya Zaid meyakinkan ‘Umar bahwa ada tambahan (و) yang kemudian didukung argumentasi Ubay bahwa hal yang sama juga terdapat di tiga tempat dalam Al-Quran, membuktikan bahwa juklak itu dilaksanakan dengan amat teliti.

Pengecualian akhir surat at-Tawbah dari kaedah tersebut disebabkan catatannya ditemukan hanya pada Abi Khuzaimah al-Anshary didasarkan kemutawatiran hafalannya sehingga menempati dua orang saksi bahwa ayat tersebut ditulis dihadapan Rasulullah.10 Hal ini diperkuat penegasan al-Zarkasyi dalam “Al-Burhan” “Adapun perkataan Zaid: “saya tidak menemukannya kecuali pada Abi Khuzaimah”, tidak berarti penetapan Al-Quran dengan khabar ahad karena Zaid dan sahabat lain menghafal ayat tersebut dan pencariannya kepada sahabat bertujuan untuk menampakkannya bukan sebagai pengetahuan baru.”11

Para ulama mencatat beberapa spesifikasi yang terdapat dalam kompilasi Abu Bakar diantaranya:
a)      Naskah tersebut hanya memuat ayat-ayat yang tidak dinaskh bacaannya dan membuang unsur-unsur asing selain Al-Quran.
b)      Pengumpulan yang dilakukan oleh Abu Bakar tidak menerima kecuali yang disepakati sebagai Al-Quran melalui jalur mutawatir.
c)      Kompilasi tersebut masih ditulis dengan “Ahruf Sab’ah”.
d)      Ayat-ayatnya tersusun rapi seperti yang ada sekarang, sedangkan surat-suratnya “berdiri sendiri” (dalam suhuf). Kemudian suhuf-suhuf tersebut dikumpulkan dan diikat menjadi satu.

Perlu diingat bahwa kompilasi Al-Quran dengan tingkat ketelitiannya yang tinggi beserta cakupannya terhadap spesifikasi di atas, hanya suhuf Abu Bakar sajalah yang memenuhi kriteria tersebut. Karena mushaf-mushaf yang ditulis sebagian sahabat, dikabarkan mencantumkan ayat yang telah dihapus dan yang melalui kategori ahad. Sebagian yang lain mencantumkan sisipan penafsiran kosakata ayat tertentu dan beberapa doa yang ma’tsur. Oleh sebab itu naskah Al-Quran yang dimiliki Abu Bakar merupakan naskah otentik dan memiliki legitimasi yang kuat.12

Pandangan Orientalis


Pada umumnya pandangan mereka seputar pengumpulan Abu Bakar terkesan “minor”. R. Blachere misalnya mempertanyakan apakah pengumpulan Abu Bakar itu solusi bagi kecemasan ‘Umar? Sebenarnya, lanjut Blachere, masyarakat membutuhkan kumpulan wahyu tertulis yang diakui otoritasnya. Tetapi apakah itu yang dikehendaki suhuf Abu Bakar? Tidak, karena suhuf-suhuf itu  milik pribadi Abu Bakar dan ‘Umar bukan dalam kapasitas mereka sebagai kepala negara yang secara umum menunjukkan bahwa khalifah pertama dan kawannya itu merasa inferior atau gengsi alangkah baiknya kalau seorang kepala negara tidak lah lebih rendah posisinya dari beberapa sahabat yang beruntung memiliki mushaf sendiri. Oleh karena itu tidak ada dalam benak Abu Bakar dan ‘Umar membuat mushaf acuan bagi kaum muslimin.

Kritikan lain juga datang dari Richard Bell mengenai kumpulan resmi Al-Quran yang menurutnya “mungkin kritikan paling berat” karena bentuk formal demikian dapat diduga memiliki keabsahan formal  yang dinisbatkan kepadanya, tetapi bukti untuk hal ini tidak bisa kita temukan. Kumpulan-kumpulan Al-Quran yang lain masih tetap dipandang absah di berbagai daerah. Pertikaian yang mengarah kepada resensi Al-Quran di masa Utsman mungkin tidak akan timbul jika waktu itu sudah ada naskah resmi di tangan khalifah yang bisa dijadikan rujukan. Demikian pula, gambaran tentang diri ‘Umar yang menegaskan bahwa ayat perajaman berasal dari Al-Quran, terasa amat sulit untuk diselaraskan masalah kepemilikannya atas kumpulan resmi Al-Quran yang berasal dari masa Abu Bakar.

Mari kita menjawab tuduhan-tuduhan miring tersebut dengan hati dan kepala dingin. Analisis kaum orientalis terhadap upaya pengumpulan naskah Al-Quran sangat beraroma penafsiran historis yang tidak pada tempatnya dan memakai sandaran riwayat-riwayat yang lemah untuk mendukung tesis yang mereka kemukakan. Analisis tersebut sangat rentan terhadap kritikan. Banyak sekali pertanyaan historis sebagai umpan balik yang dapat diajukan berkaitan dengan asumsi yang mereka kembangkan, sehingga penafsiran yang bertumpu pada kritik historis menjadi sia-sia belaka. Seandainya kumpulan Abu Bakar itu untuk kepentingan pribadi untuk apa beliau repot-repot membentuk komisi pengumpulan dan menyuruh orang untuk menyerahkan bahan-bahan naskah Al-Quran untuk diteliti komisi Zaid? Jika suhuf Abu Bakar diangap kepemilikan pribadi mengapa beliau tidak mengamanatkan ahli warisnya untuk menyimpan suhuf tersebut dan bahkan mewariskannya kepada ‘Umar yang berarti kepemilikan itu resmi milik negara?.

Kalau toh kita mencurigai tindakan Umar yang menyerahkannya suhuf itu kepada Hafshah sepeninggalnya dan bukan kepada Utsman yang berarti sifatnya khusus. Kecurigaan tersebut tidak berdasar, karena berbeda dengan proses pengangkatan ‘Umar sebagai khalifah yang melalui cara ta’yin, proses pengangkatan Utsman dilakukan melalui proses musyawarah dalam sebuah tim suksesi yang dibentuk oleh ‘Umar sebelum ia wafat. Sedangkan tuduhan Abu Bakar berkoalisi dengan ‘Umar yang hanya memikirkan ego pribadi serta tidak memperhatikan maslahat yang lebih besar. Secara logika, apa sih harga sebuah naskah Al-Quran bagi seorang yang telah menghafalkannya pada masa Rasulullah? Dan apa pula harga naskah tertulis pada saat orang sangat mengandalkan dan mempercayai hafalan Al-Quran di luar kepala? Kalau bukan demi kemaslahatan umat seluruhnya.

Kita tidak menafikan adanya usaha-usaha individual  untuk mencatat Al-Quran yang mendahului atau bahkan bersamaan dengan pengumpulan Abu Bakar, tetapi perlu dicatat bahwa tujuan mereka bukan untuk pengumpulan resmi tetapi sebatas sebagai pendukung hafalan yang mereka miliki. Yang terjadi adalah ketika para sahabat mengetahui tim yang dibentuk oleh Abu Bakar mereka berbondong-bondong memnyerahkan naskah yang ada pada mereka untuk diteliti Zaid dan kawan-kawannya. Akan tetapi target kaum orientalis hendak mengesankan bahwa pengumpulan Abu Bakar tersebut tidak serius karena sifatnya yang pribadi sehingga menghilangkan spesifikasi tawatur  dalam usaha pengumpulan Abu Bakar.

Klaim kebsahan mushaf-mushaf individual di berbagai daerah kekuasaan islam, juga sangat lemah jika dihadapkan kepada fakta-fakta sejarah dan riwayat yang otentik. Mushaf awwal yang resmi berbeda dengan mushaf-mushaf individual dari aspek kesesuaiannya yang mutlak dengan teks wahyu yang otentik sesuai muraja’ah terakhir yang dilakukan Rasul dengan Jibril as. pada tahun kewafatannya. Karena seperti yang pernah disnggung, mushaf-mushaf lain terkadang ditulis berdasarkan hafalan yang tak jarang berisi beberapa tafsiran ayat atau doa-doa ma’tsur seperti mushaf Ibnu Mas’ud dan mushaf Ubay. Akan tetapi, meski memang harus diakui, menurut M. Abdullah Diraz13, meski keutamaan mushaf Abu Bakar lebih tinggi, pelestariannya yang hanya terbatas pada figur dua khalifah pertama, telah sedikit banyak mengesankan sifat pribadi dan belum menjadi dokumen resmi bagi khalayak umum sampai saatnya pembebasan Armenia pada masa pemerintahan Khalifah Utsman. Oleh karena itu menilik sejarah penulisan dan pengumpulan Al-Quran lebih erat hubungannya dengan memahami tantangan-tantangan sosial yang dihadapi negara islam berikut cara merespon tentang itu.14

Demikian pula dengan klaim kontradiksi antara keyakinan sementara ‘Umar bahwa ayat perajaman bagian dari Al-Quran dengan kepemilikannya atas mushaf resmi yang berasal dari Abu Bakar, tidak memperhatikan hakikat ilmiah yang diterapkan sahabat dalam usaha kompilasi Al-Quran. Karena ‘Umar tidak berhasil menghadirkan dua saksi, Zaid menolak ntuk mencantumkannya. Sehingga para ulama 15 menganggapnya sebagai riwayat ahad yang tidak bisa dibuktikan sebagai Al-Quran. Paling tidak apa yang diyakini ‘Umar itu merupakan sunnah Nabi. Dari sana para pakar menta’wilkan pernyataan ‘Umar:وكان فيما انزل عليه  tidak bertentangan dengan mafhum sunnah. Karena sebagaimana diyakini mayoritas ulama dan umat islam bahwa Jibril as turun membawa wahyu berupa Sunnah di samping Al-Quran. Sehingga stetemen Umar: والرجم في كتاب الله حق harus dipahami dalam kontek bahwa perajaman adalah bagian tak terpisahkan dalam syariat Allah, hukum dan ketentuanNya, atau bisa jadi statemen beliau merujuk kepada ayat: أو يجعل الله لهن سبيلا , yang mana Sunnah telah menjelaskan rinciannya yaitu mencambuk ghoiru mukhson dan merajam mukhson.  Di samping itu terdapat bukti lain bahwa ‘Umar tidak meyakini ayat assyaikhu wa al syaiikhotu sebagai Al-Quran. Ibnu Hamdawaih meriwayatkan dengan sanadnya dari Hasan Al-Bishri dari ‘Umar ia berkata: “Saya berniat mengundang beberapa sahabat muhajirin dan anshor yang dikenal nama dan nasabnya untuk bersedia mencatat kesaksian mereka dipinggir mushaf: “Inilah kesaksian ‘Umar bersama fulan dan fulan bahwa Rasul pernah merajam pezina yang telah menikah. Karena saya cemas orang-orang islam nanti mangkir dari hukum rajam karena mereka tidak menemukan ketentuannya dalam Kitabullah”. Dalam riwayat lain Umar berkata “Kalau tidak karena gunjingan orang bahwa saya menambah-nambahi Al-Quran niscaya akan saya tulis (ayat rajam) di dalam mushaf”

Lagi pula dalam pengamatan ulama, redaksi assaikhu wa al syaikhotu tidak teliti sehingga mengaburkan keistimewaan bahasa Al-Quran yang mu’jiz, karena redaksi ayat itu berarti “Kakek-kakek dan nenek-nenek yang berzina” yang mengesankan bahwa hukum rajam diperuntukkan bagi orang tua serta tidak menekankan muhson tidaknya pelaku zina tersebut. Sehingga kontan redaksi tersebut mengundang kritikan Zaid bin Tsabit: “Bukankah dua pasang muda yang telah menikah juga dirajam?” 16. Dengan demikian gugurlah argumen-argumen yang dikemukakan kalangan orientalis yang dengan sengaja hendak menebarkan benih-benih keraguan seputar pengumulan Abu Bakar.

C. Kompilasi Al-Quran pada Masa Utsman ra


Penjelasan tradisional tentang alasan yang menyebabkan diambil langkah selanjutnya dalam menetapkan bentuk Al-Quran, menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius qiroat terdapat dalam salinan-salinan Al-Quran yang ada pada masa Utsman ra. di berbagai wilayah. Dikisahkan bahwa selama pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Al-Quran muncul dikalangan tentara muslim yang direkrut dari Syiria (mengacu kepada qiroat Ubay) dan sebagian lagi dari Irak (mengacu kepada qiroat Ibnu Mas’ud). Perse-lisihan ini muncul serius hingga menyebabkan pimpinan tentara muslim, Hudzaifah mela-porkannya kepada Khalifah Utsman yang mendesaknya agar mengambil langkah guna mengakhiri perbedaan bacaan tersebut. Khalifah lalu berembug dengan sahabat senior dan akhirnya menugaskan Zaid ibn Tsabit menyalin Al-Quran. Bersama Zaid ditunjuk Abdullah ibn al-Zubair, Sa’id ibn al-‘Ash dan Abdurrahman ibn al-Harits untuk menyalin naskah Abu Bakar ke dalam beberapa mushaf. Satu perinsip yang harus mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy harus dijadikan pilihan.

Keseluruhan Al-Quran direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf Abu Bakar yang disimpan oleh Hafshah serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Quran selesai dikerjakan. Dengan demikian suatau naskah otoritatif Al-Quran telah ditetapkan. Sejumlah salinanya dibuat dan disebarkan ke pusat-pusat utama daerah islam. Salinan-salinan Al-Quran yang ada sebelumnya diperintahkan khalifah untuk dimusnahkan.

Dari informasi tersebut kita bisa menarik beberapa keterangan berharga, di antaranya:
a)      Bahwa alasan utama dalam perintah penyalinan suhuf Abu Bakr kedalam beberapa mushaf yang resmi dan teratur urutan ayat beserta suratnya sepreti sekarang, adalah perbedaan dalam qiroat, sehingga tidak beralasan pendapat R. Blachere yang mengatakan bahwa hal itu didorong oleh watak Utsman yang aristokrat.17
b)      Panitia yang ditugaskan menyalin naskah tersebut beranggotakan empat orang sahabat senior. Inilah yang disepakati berdasar riwayat yang sahih. Anehnya Ibnu Abi Dawud, penyusun kitab “Al-Mashahif” –karena kegandrungannya menyebut aneka riwayat dalam satu tema walaupun tampak kacau—menyebut panitia-panitia lain semisal “Panitia Dua” (terdiri dari Zaid ibn Tsabit dan Sa’id ibn al-‘Ash) dan “Panitia Dua Belas” yang menjadi bahan kritikan para orientalis semisal F. Schwally dan R. Blachere.

Panitia empat diatas mulai menyalin naskah pada tahun 25 H, dan bukan pada tahun 30 H sebagaimana yang diyakini sarjana-sarjana barat dan sebagian kecil sarjana muslim semisal Dr. Abdushshobur syahin.18 Karena menurut bukti sejarah, pembebasan Armenia terjadi pada tahun 24 H sebagaimana yang ditarjih oleh Ibn Hajar. Dengan demikian, pendapat R. Blachere bahwa keikutsertaan Sa’id ibn al-‘Ash dalam panitia empat itu hanya sebatas anggta kehormatan bukan teknis (karena ia telah menjadi wali kota Kufah pada tahun 30 H), tidaklah benar. Dengan selesainya penyalinan naskah asli, shuhuf Hafsah dikembalikan sedangkan salinan-salinan baru tersebut telah dijilid dan disebarkan ke beberapa daerah.

Dari paparan di atas, akan timbul sebuah pertanyaan jika prakarsa Utsman hanya sebatas menyalin maka kita tentu berhak bertanya akan arti pentingnya penyalinan tesebut dari aspek bacaan. Nah untuk memahami target kompilasi Ustman dengan baik kita akan  berbicara surut ke belakang pada masa pengumpulan Abu Bakar yang kemudian diteruskan oleh ‘Umar yang mana pada saat itu belum dibutuhkan adanya  penyeragaman naskah Al-Quran berikut sosialisasinya. Hal itu disebabkan oleh karena pelancongan para sahabat penghafal Al-Quran ke daerah relatif terbatas dan perselisihan dalam bacaan Al-Quran sebagaimana yang terjadi pada masa Utsman, belum muncul. Maka tatkala perselisihan itu muncul kepermukaan, Utsman yang didukung oleh para sahabat Nabi, berinisiatif menyebarkan mushaf resmi dalam skala masif. Di samping itu tujuan lain dari kompilasi Utsman telah terpenuhi dengan adanya penyeragaman bacaan di antara sekian banyak qiroat yang banyak digunakan di daerah-daerah, sehingga dapat mencegah terjadinya perpecahan yang mengancam integritas umat. Artinya Utsman hanya meneruskan tradisi penyebaran teks Al-Quran dengan dialek Quraisy yang telah dilakukan oleh Abu Bakr dan ‘Umar.19
           
Untuk mendukung langkah-langkah ke arah itu, khalifah Utsman dikabarkan mengutus beberapa pakar qira’at (muqri) beserta mushaf-mushaf resmi yang telah disebarkan. Tercatat bahwa Zaid ibn Tsabit sebagai muqri mushaf madani, Abdullah ibn al-Sa’ib  muqri mushaf makky, al-Mughiroh ibn Syihab al-Makhzumi muqri mushaf syamiy, Abu Abdirrahman al-Sulami muqri kuffy  dan ‘Amir ibn Abdilqais muqri bashriy. Selain itu beliau memerintahkan untuk membakar naskah-naskah yang ditulis sebagian sahabat dan pengikutnya. Semuanya mematuhi langkah-langkah tersebut kecuali Abdullah ibn Mas’ud.

Sikap Ibnu Mas’ud terhadap Kompilasi Utsman

           
Dikisahkan bahwa Ibn Mas’ud menentang proyek Utsman  dengan menolak perintah membakar mushafnya dan menyuruh para pengikutnya untuk tetap berpegang teguh kepada mushafnya sambil berkata: “Bagaimana mungkin kalian menyuruhku membaca qiraat Zaid. Ketika Zaid masih kecil bermain dengan kawan sebayanya saya telah menghafal lebih dari tujuh puluh surah langsung dari mulut Rasulullah. Demi Allah tidaklah wahyu turun kecuali saya tahu dimana tempatnya, tiada yang lebih tahu mengenai Kitabullah lebih dari diriku, wlaupun aku bukanlah yang terbak diantara kallian. Sekiranya aku mengetahui ada seseorang yang lebih tahu mengenai Kitabullah dariku, walaupun harus melalui perjalanan unta, niscaya akan kutemui dia”. Dalam riwayat lain ia mengatakan: “Wahai segenap kaum muslim, bagaimana mungkin saya disingkirkan dari panitia pengumpulan yang diketuai oleh seorang yang demi Allah, ia masih dalam sulbi orang kafir ketika saya memeluk islam”. Yang kesemuanya mengindikasikan adanya bukti yang mencoreng konsensus para sahabat akan keabsahan naskah tersebut. Yang ada hanyalah bahwa memang terdapat bacaan-bacaan tidak resmi yang diyakini bersumber dari Nabi SAW. Dan tdak dikuatkan oleh bukti fisik yang mendukung bacaan tersebut. Hal ini tetap dipelihara tanpa harus mengalahkan bacaan-bacaan formal yang telah menjadi konsensus.20
           
Ketersinggungan Ibnu Mas’ud dan kemarahan beliau adalah wajar, karena beliau selain sahabat senior yang disingkirkan dari kepanitian, juga dipaksa menyerahkan mushafnya untuk dimusnahkan. Akan tetapi kemarahan sementara itu tidak beralasan karena beliau sedang berada dalam tugas-tugas resmi di Irak. Dan tidak mungkin menunda penuyalinan Al-Quran hanya untuk menunggu kepulangannya. Sedangkan di kalangan sahabat di madinah masih banyak yang memiliki dokumen-dokumen yang absah. Syukurlah kemudian beliau merevisi sikapnya karena setelah tahu bahwa sikapnya itu hanyalah Syubhat belaka dan Zaid tidak bekerja sendirian dalam komisi tersebut melainkan dibantu sahabat-sahabat lain, beliau akhirnya merubah sikap dan menyetujui langkah-langkah Utsman dengan tulus hati demi menjaga keuthan umat. Dengan demikian berakhirlah kontroversi seputar mushaf sehingga konon orang-orang ramai berkumpul ketika Utsman membakar mushaf dan tidak ada di antara hadirin yang menentangnya, sebagaimana diungkapkan oleh Mush’ab ibn Sa’dah.
           
Di antara beberapa spesifikasi pengumpulan Utsman adalah sebagai berikut:
1)      Ditulis dengan satu dialek saja yaitu dialek quraisy
2)      Hanya menerima bacaan yang mutawatir dan diterima secara otentik pada detik-detik akhir kehidupan Rasul. Yang artinya mengeliminir bacaan ahad dan mansukh tilawah
3)      Pengaturan nomor dan susunan surat seperti dikenal sekarang
4)      Menetralisir Al-Quran dari berbagai bentuk titik, baris dan tafsiran kosa-kata Al-Quran.

Meski sering mendengar tuduhan kelompok syiah bahwa teks Al-Quran telah mengalami distorsi terutama yang menyangkut Ali dan Ahl Bayt. Bagaimanapun juga mushaf Utsmani merupakan satu-satunya naskah yang beredar di dunia islam termasuk di kalangan syiah, sebagaimana pendapat Abi Ja’far al-Umm yang mewakili sekte syiah imamiyah yang terkenal paling radikal, yang mengatakan: “Keyakinan kami tentang Al-Quran yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad adalah semua yang termuat dalam naskah yang beredar, tak lebih dari itu yang jumlah surahnya mencapai 114 surah dalam hitungan umum walaupun menurut kami surat ad dhuha dan al syarh merupakan satu surah demikian pula al fiil dan al quraisy, juga al anfal dan al taubah. Oleh sebab itu, siapapun ang menisbatkan kepada kami keyakinan bahwa Al-Quran lebih dari itu adalah pendusta”. Atas dasar itu pula Sir William Muir dalam “The live of Muhammed” setelah memperhatikan bahwa ada satu naskah otentik yang dipegang oleh faksi-faksi islam yang berseteru, mengatakan bahwa penggunaan yang kompak atas sebuah teks yang diterima semua pihak adalah argumen terbesar bagi keotentikan Al-Quran.

Dengan proyek unifikasi naskah Al-Quran, khalifah Utsman tidak bermaksud seperti yang diyakini oleh sebagian orang, memberangus setiap perbedaan bacaan Al-Quran yang di-tolelir oleh Nabi SAW. Kita tidak yakin Utsman lebih konservatif dalam masalah ini. Bahkan mushaf beliau yang berupa “kerangka konsonantal” (suatu bentuk teks ketika titik-titik tertentu ditiadakan) menampung berbagai corak qira’at. Di samping itu, beliau selalu menjelaskan bacaan-bacaan yang dikenal oleh teks pada setiap kesempatan mana rosm tidak mampu memuatnya, kecuali hanya satu jenis bacaan. Misalnya kita melihat kata مسيطر   yang ditulis dengan س di atasnya diberi tanda huruf ص atau sebaliknya dan contoh-contoh lain yang dapat dilihat dalam buku-buku qira’at. Hal itu tidak berarti cetakan Utsmani, terlebih yang asli, menampung semua model qiroat yang pernah diajarkan  Nabi yang kemudian poluler dengan Ahruf Sab’ah. Karena cetakan tersebut selain mengandung secara ril bacaan-bacaan yang disepakati sesuai ‘urdloh akhiroh’, juga menyingkirkan setiap model bacaan ahad yang tidak memenuhi syarat tertentu.
           
Penyeleksian tersebut tidak berarti membredel qiroat-qiroat yang ditransmisikan melalui tradisi oral, karena dengan begitu akan membuka kesempatan bagi setiap orang yang meyakini bacaan tertentu yang bersumber dari Rasul secara bebas dan bertanggung jawab tanpa harus memaksa bacaannya kepada orang banyak. Sikap yang moderat dan masuk akal ini, tampak jelas dari jawaban Utsman kepada para pembangkangnya: “Adapun Al-Quran saya tidak akan menghalangi kalian, hanya saja saya khawatir bila terjadi perpecahan di antara kalian dan silahkan kalian membaca (Al-Quran) dengan “harf” yang menurut kalian mudah”. Bahkan sampai sekarang, karena kebebasan yang diberikan dan kebijaksanaan yang ambivalen tersebut, qiroat-qiroat ahad masih terus dipelajari dipusat-pusat studi Ahlussunnah dalam kapasitasnya sebagai hadits ahad bukan Al-Quran.21 Dengan demikian jargon-jargon yang diprofokasikan kalangan orientalis bahwa mushaf Utsmani hanyalah sebuah mushaf di antara sekian banyak mushaf yang menyainginya karena sifatnya sebagai pendatang baru yang strukturnya terasa asing dari naskah-naskah tua dan sengaja dipaksakan sebagai basis utama karena “interfensi” Madinah, sama sekali tidak berdasar.

Penyusun kitab Al-Mashahif sebagaimana dikutip oleh M. Abdullah Darroz, mencium adanya keraguan seputar qiroat-qiraat yang tidak resmi (tidak diakomodir dalam naskah Utsmani) dari tiga aspek: [a] Keotentikan sanad, karena tidak jarang sebagian qiroat-qiroat itu dicurigai telah memasukkan sanad yang kuno agar memiiki pengaruh yang luas. [b] Penetapan sumber, terbukti pada banyak kasus adanya kekacauan (idhtirab) dalam menyandangkan sanad kepada perawinya. [c] Kesesuaian format, sehingga amat sulit mengecek mana yang valid dari beberapa model bacaan yang dinisbatkan  kepada seseorang qori . Contohnya adalah mushaf Ibnu Mas’ud, seperti yang pernah diamati oleh Ibnu Ishaq dari beberapa naskah mushaf tersebut, tidak ditemukan dua naskah yang sama persis. Demikian pula Ibnu Nadim dalam Indeks (“fahrasat”)-nya bahwa ia melihat sebuah salinan mushaf Ibnu Mas’ud yang terdapat di dalamnya surat Al-Fatihah berbeda dengan keyakinan sementara orang bahwa beliau tidak mencantumkannya dalam mushafnya.22

Fakta-fakta di atas sengaja penulis kemukakan agar kita bertambah yakin bahwa satu-satunya naskah Al-Quran yang otentik adalah naskah Utsmaniy yang berasal dari kumpulan Abu Bakr ra. Dan naskah Abu Bakar itu pulalah yang ditulis di hadapan dan atas perintah Nabi SAW. Dengan demikian bukti-bukti sejarah telah bicara bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah juga yang dibaca Rasul dan para sahabatnya.

Beberapa Keraguan Seputar Pengumpulan Al-Quran


Proses pengumpulan dan penulisan Al-Quran bagi sementara kalangan orientalis masih diliputi berbagai misteri dan syubhat di sekitarnya. Sebenarnya keraguan mereka bukan barang baru, karena sebenarnya apa yang mereka angkat telah disinggung oleh sarjana islam klasik dan telah dijawab secara tuntas tanpa ada sedikitpun dalam benak mereka  bahwa apa yang mereka lakukan itu digunakan sebagai senjata untuk menyerang dan meruntuhkan otoritas Al-Quran. Tentu saja jawaban sarjana-sarjana kita tidak digubris oleh mereka. Argumen-argumen yang mereka pakai pada umumnya riwayat-riwayat yang tidak lolos seleksi dan walaupun ada beberapa di antaranya yang akurat dan argumentatif, tetapi dalam pandangan para pakar memiliki jalan keluar alternatif yang benar dan dapat diterima, yang tentu saja mereka tidak peduli akan kepentingan untuk memberikan solusi-solusi itu.

Al-Quran kata mereka telah mengalami penambahan terbukti dengan tidak dicantum-kannya surat al-Mu’awwidzatain dalam mushaf Ibnu Mas’ud yang menurut sebuah riwayat, Ibnu Mas’ud hanya mengatakan Nabi SAW cuma menyuruh kita untuk memohon perlindungan dengan al-Mu’awwidzatain. Riwayat  tersebut menurut sarjana islam tidak benar dan diduga keras palsu. Ibnu Hazm, sarjana besar islam asal Andalusia, mendustakan orang yang menisbatkan perkataan tersebut kepada Ibnu Mas’ud, karena terbukti dalam qiroat Imam ‘Ashaim yang berasal dari Ibnu Mas’ud terdapat bacaan al-Muawwidzatain dan al-Fatihah. Sebaliknya, menurut mereka telah terjadi pula kesengajaan menghapus beberapa bagian Al-Quran, karena konon Ubay ibn Ka’ab menulis dua surah yang dinamai Al-Khul’ dan Al-Hifd dalam mushafnya yang mana kedua surah tersebut berisi doa dengan redaksi berikut:

أللهم انا نستعينك ونستهديك ونستغفرك ونخلع ونترك من يفجرك ....أللهم إياك نعبد ولك نصلي ونسجد اليك نسعي ونحفد

Kita tidak percaya bahwa doa-doa tersebut adalah Al-Quran dan pencantumannya dalam mushaf Ubay tidak berarti adalah Al-Quran. Karena seperti yang kita ketahui, beberapa mushaf sahabat terbukti mengakomodir bacaan ahad, ayat-ayat yang mansukh tilawah, beberapa tafsiran kosakata dan doa-doa ma’tsur seperti dalam mushaf Ubay. Walaupun kita berspekulasi bahwa doa-doa itu adalah bagian Al-Quran tetap saja tidak bisa menandingi Al-Quran yang otentik dan mutawatir karena informasi Ubay hanya berada pada tingkatan Ahad.

Gaya Al-Quran memang bermacam-macam tetapi hampir tidak ada yang keliru. Keseluruhan Al-Quran demikian jelas mencerminkan keseragaman, sehingga keraguan mengenai keasliannya sangat mustahil. Seorang sarjana Perancis Silvestre de Sacy meragukan keaslian Q.S 3:144 yang berbicara tentang kemungkinan wafatnya Nabi SAW dan dinyatakan dalam hadits bahwa ayat itulah yang dikutip oleh Abu Bakar ketika ‘Umar menolak mempercayai berita wafatnya Nabi. Gustav Weil kemudian memperluas keraguan ini ke bagian Al-Quran lainnya yang menyiratkan makna kemungkian wafatnya Nabi (Q.s. 3:185, 21:35, 29:57, 39:30). Tidak usah jauh-jauh, banyak rekan sejawat mereka membantah pendapat ini. Richard Bell dalam Introduction to The Quran mengadvokasikan bahwa Abu Bakar tidak mungkin mereka-reka ayat itu pada kesempatan tersebut; tidak pula pernyataan bahwa ‘Umar dan kaum muslim lainnya belum pernah mendengar ayat semacam itu, dipertimbangkan dengan cermat. Menurutnya suatu ayat yang disampaikan pada suatu waktu dapat secara mudah dilupakan dengan berlalunya tahun demi tahun. Jika ayat itu benar-benar tidak selaras dengan konteknya, maka hal ini dikarenakan ia merupakan suatu ayat peralihan sebagaimana yang dikesankan oleh pengulangan ungkapan prima rima senada. Ayat tersebut cocok dengan situasi kesejarahannya karena ia merupakan suatu rujukan yang disisisipkan dalam suatu amanat yang disampaikan sebelum Uhud dan disampaikan ulang setelah kekalahan di Uhud untuk membantah kabar yang santer selama perptempuran dan tidak diragukan lagi, merupakan suatu faktor yang turut memberi sumbangan kepada gerak mundur tentara islam yang morat-marit bahwa Nabi Muhammad telah terbunuh. Tidak ada alasan untuk mempermasalahkan keaslian ayat yang demikian cocok dengan keadaan-keadaan langsung di sekitarnya sementara untuk menunjukkan bahwa ayat-ayat itu begitu cocoknya dengan konteks yang betul-betul selaras dengan sisa keseluruhan Al-Quran. Menurutnya, segi manusiawi Nabi merupakan bagian kontroversi Muhammad dan musuh-musuhnya, yang mengeluarkannya dari Al-Quran sama saja dengan mengeluarkan beberapa bagian yang paling khas.23

Selain itu ditemukan pula sebuah riwayat yang mengindikasikan bahwa beberapa bagian Al-Quran telah hilang. Ibnu Abbas dikabarkan mengatakan saya mendengar Rasulullah mengatakan: “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang berisi harta ia pasti berharap ketiganya dan tidak ada yang dapat memenuhi kerongkongan anak Adam kecuali liang lahat, sesungguhnya Allah akan menerima taubat seorang hamba”. Yang dalam riwayat lain ia berkata “Saya tidak tahu apakah kalimat tersebut Al-Quran atau bukan?” Demikian pula dilaporkan bahwa Ubay bekata: “Kami mengannggapnya Al-Quran sampai turun al haakumuttakatsur”. Sekali lagi riwayat-riwayat tersebut tidak menunjukkan bahwa kalimat-kalimat itu bagian dari Al-Quran, melainkan merupakan hadits Qudsy karena kebiasaannya menyuruh kamu muslim untuk bersikap zuhud.

Sebenarnya masih banyak keraguan sarjana Barat yang tidak perlu kami kemukakan semuanya. Karena tulisan sederhana ini tidak berniat menggantikan karya-karya para pakar yang mengupas dan menelanjangi metodologi Orientalisme yang dibungkus dengan jargon-jargon ilmiyah yang bombastis padahal sangat rapuh, tak ubahnya seperti yang dinyatakan dalam Q.S.29:441 sebagai “Bait al Ankabut”. Karena pada hakekatnya “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, akan tetapi Allah enggan kecuali menyempurnakan cahayaNya walaupun orang-orang kafir dengki”. Wa ma Tawfiqi illa bi-‘Llah [ ]




1 Dikutip dalam Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran, Pen. Mizan, Bandung, cet. V, 1993, h.22
2 Al-Sayyid Muhammad Khalil, Dirasat fi Al-Quran, Dar al-Nahdlah al-‘Arabiah, Beirut, cet. I, 1969, h.90
3 ibid, hlm. 86.
4 ibid, hlm 87
5 Kita tentu ingat bahwa proses masuk islamnya ‘Umar didahului oleh bacaan Al-Quran surah Thaha dari lembaran yang dimiliki saudarinya, Fathimah. Hal itu menunjukkan bahwa pada masa-masa kritis, minat para sahabat mncatat Al-Quran tidak surut.
6 Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, vol. I, Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, Kairo, 1957, h.262
7 Beliau bernama lengkap Abu Khuzaimah ibn Aus ibn Yazid ibn Atsram dari klan Bani Najjar., wafat pada masa pemerintahan Khalifah Utsman ra
8 Beliau bernama lengkap Khuzaimah ibn Tsabit ibn al-Fakih ibn Tsa’labah, dijuluki “Dzu Syahadatain” oleh Rasulullah. Gugur di peperangan Shiffin dipihak Khalifah Ali bin Abi Thalib
9 Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirasat Al-Quran Al-Karim, Maktabah as-Sunnah, Kairo cet.I, 1992, h.244
10 Shubhi As-Shaleh, Mabahits fi ‘Ulum al Quran, Dar al-Ilmi li al-Malayin, Beirut, cet. XVIII, 1990, h. 76
11 Badruddin al-Zarkasyi, Op.cit, h.296
12 Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Op. cit. h.246
13 Muhammad Abdullah Diraz, Madkhal ila al Quran al Karim. Dar al-Qalam, Kuwait, cet. II, 1993, h.38
14 Assayyid Muhammad Khalil. Op.cit. hlm 93
15 Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Op.cit h.271
16 Ibid, h.273
17 Shubhi al-Salih, Op.cit h.79
18 Abdusshobur Syahin, Tarikh Al-Quran, Ma’had Dirasat al-Islamiyah, Cairo, cet. I h.182
19 Ibid, h.187-188
20 Muhammad Abdullah Diraz, Op.cit h.49
21 Ibid, h.44-45
22 Ibid, h.47
23 Richard Bell, Pengantar Studi Al-Quran, edisi revisi W. Montgomery Watt, Rajawali Press, Jakarta, cet. II, 1995, h.78-79