KISAH - KISAH AL QUR-AN


KISAH-KISAH AL QUR`AN
(Bias Mu`jizat, Hikmah dan Perjalanan Peristiwa)í

@ Oleh: Saiful Bahri MH Rusydi, Lcíí


“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan
Al Qur`an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya
adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui”
(QS.Yusuf: 3)

Pendahuluan

Salah satu bentuk i`jaz Al Qur`an adalah dimuatnya kisah-kisah umat terdahulu. Disamping itu Al Qur`an menyertakan berita ghaib, baik itu tentang masa depan yang akan dialami manusia di dunia berupa tabiat umum, kaedah ataupun berupa kejadian besar seperti hari kiamat dan fenomena kehidupan setelah kematian pertama manusia.
Al Bâqilâni mengajak kita untuk merenungi rahasia i`jaz Al Qur`an lewat  studi analitis bahasa dan metode kisah yang tersebar dalam bagian-bagian Al Qur`an di berbagai suratnya([1]). Karena kisah merupakan bagian metode pendidikan ummat yang diberikan Allah pada ummat Muhammad saw. Dalam bahasa Dr. Muh Abdullah Darraz, kajian kemu`jizatan ini mencakup paling tidak tiga dimensi pokok: Tasyri`iy (hukum), Lughawy (gaya bahasa) dan Ilmy (ilmiah)([2]). Melalui kisah, tiga dimensi ini kadang tercover sekaligus, meskipun dua dimensi pertama menjadi pilar pokok dalam pelajaran setiap kisah. Baik yang disebut berulangkali (sebagaimana umumnya), atau sekali dalam satu surat (surat Yusuf) atau bahkan hanya sesekali saja maupun yang berbentuk sebuah perumpamaan.
Namun sayangnya, meskipun kisah-kisah tersebut tersaji dengan keindahan gaya bahasa serta pasnya penempatan posisi atau tokoh disebagian kisah, masih banyak orang yang enggan membacanya. Apatah lagi untuk mengkaji atau menganalisanya sebagai pelajaran dari berbagai peristiwa. Hal ini terkadang tidaklah berangkat dari kesengajaan atau niat yang jelek namun ada kalanya bermula dari kekurangfahaman makna dan kandungan kisah. Dikarenakan buku-buku tafsir kenamaan yang berkelas referensi menekankan pembahasan gaya dan kaedah bahasa, sastra atau bahkan hukum. Sebagian lagi membahas fenomena ilmiah, filsafat atau teori serius seputar ilmu kalam dan manthiq([3]). Hal ini menjadi sebuah kendala cukup serius, bila dilihat rata-rata orang awam lebih cepat menerima kajian tematik kisah Al Qur`an. Dan belakangan ini sudah banyak kita temukan buku-buku tematik yang mengupas kajian kisah Al Qur`ân dengan sederhana.

Sebaik-baik Kisah: Terminologi dan Fenomena
            Qishshah, mempunyai bentuk plural qishash (dengan kasrah huruf qâf). Adapun qashash (dengan fathah huruf qâf) merupakan kata benda dari kabar yang dikisahkan. Ia merupakan mashdar (kata keterangan) yang dinamakan maf`ul (obyek). Sedang menurut istilah, kisah: adalah kabar tentang suatu peristiwa yang ghaib (belum diketahui) oleh orang yang diberi kabar/berita atau kisah([4]). Maka terkadang Al Qur`an mengkisahkan cerita umat terdahulu atau tentang kondisi hari kiamat serta kehidupan surga dan neraka. Kalaupun menceritakan kisah kaum muslimin saat itu (zaman Rasul saw) merupakan kondisi realita kehidupan diantara musuh mereka. Lebih merupakan peringatan, pelajaran dan nasihat daripada berupa kisah atau cerita peristiwa biasa. Karena sebagian besar kaum muslimin saat itu mengalaminya. Disamping merupakan kisah bagi kaum muslimin setelah mereka.  Hal ini sekeligus memerankan dua dimensi. Pelajaran (dzkir) bagi shahabat dan peringatan-pengajaran (tadzkir) bagi kaum muslimin secara umum.
            Cerita-cerita diatas dinamakan kisah karena mencakup dua aspek: peristiwa (khabar) dan berita (naba`). Al Qur`an menggunakannya demikian dalam bentuk cerita masa lalu (mâdhi/past) baik untuk rentang waktu waktu yang jauh (seperti kisah umat terdahulu) ataupun untuk peristiwa yang baru saja lewat di saat itu (ini dikenal dengan ayat yang turun melalui sabab an nuzûl). Dari kajian etimologi bisa dirasakan bahwa kisah merupakan atsar dari suatu peristiwa yang kadang dilupakan manusia. Tujuannya adalah untuk mengulangi ingatan tersebut (mengingatkan). Maka kisah-kisah Al Qur`an tidaklah pas bila disebut sebagai hikayah. Karena fokus hikayah hanya pada titik cerita dan apa yang terjadi saja([5]). Al Qur`an tidak meriwayatkan hikayat atau lafal cerita namun makna dan pelajarannya. Karena tak semua pelaku/tokoh dalam kisah-kisah tersebut berbahasa Arab. Ada sebagian yang berbahasa Ibrani, Suryani atau yang lainnya([6]). Maka kisah lebih luas dimensinya, dengan mengulur ingatan kebelakang dan membawa segenap alur perasaan, untuk saat yang tepat menerima pelajaran dan ibrah.
            Adapun ketika Al Qur`ân menyebutkannya sebagai fenomena ahsanu al qashash (kisah yang paling baik). Ini dikarenakan tema yang diambil merupakan tema yang diperlukan saja tidak diperinci secara detail. Seperti kondisi ruangan, mimik, latar atau penokohan yang berlebihan. Bukan sebuah roman atau novel, cerita sejarah atau tokoh bukan pula rekaman peristiwa. Ia lebih merupakan  kumpulan hikmah dan pelajaran dalam sebaik-baik bagian dari berbagai kisah bahkan bagian dari kisah manusia-manusia pilihan (para Nabi dan orang-orang shaleh) sekalipun. Tak satupun dari kisah mereka yang dipaparkan secara detail([7]).
            Al Qur`an bukanlah rekaman fotografi dari gambar mati atau peristiwa sejarah. Namun ia memberikan gambar kehidupan kisah masa lalu di hadapan setiap orang yang membacanya dengan teliti. Seolah benar-benar langsung kita saksikan. Dr. Higazy memberikan sebuah perumpamaan, seperti bunga. Bila dilihat dengan indera mata dan perasa secara bersamaan maka akan nampak fenomena keindahan, paduan warna dan bentuk yang elok atau bau semerbak. Bahkan akan terlihat hidup; ia melihat dan berdialog dengan kita, bertasbih, tersenyum dan mengajarkan kelembutan. Hal inilah yang akan menghalangi kita untuk `mengasarinya` dengan mematahkan atau merusak. Nilai seni ini adalah nilai sejujurnya, bukan sekedar fenomena bentuk bunga yang mati, kering dari pewarnaan kejiwaan([8]). Jika ini fenomena kehidupan tentunya Dzat yang Memberi hidup akan mampu menggambarkan lebih dari itu lewat kisah-kisah dalam kitab-Nya.

Tujuan dan Hikmah Kisah-kisah Dalam Al Qur`an
            Misi kisah-kisah dalam tiadaklah terbatas pada pelajaran atau ibrah berupa ending peristiwa, baik yang bagus atau yang buruk. Bukan pula terpaku pada pujian (tanwih) terhadap tokoh berupa inayah ilahiyah ataupun celaan (tasywih) dengan adzab atau kemurkaan. Namun dibalik pengisahan ini ada sekumpulan hikmah dan pelajaran sesuai tempat dimuatnya kisah-kisah tersebut dalam bagian-bagian terpisah.
            Secara global hikmah dan tujuan kisah-kisah Al Qur`an bisa kita kategorikan sebagai berikut:
1.      Pelipur lara serta selingan bagi Rasul saw. dan para da`i
2.      Kabar, realita, kristalisasi watak dan bentuk pergulatan abadi antara yang haq dan bathil
3.      Menjelaskan sunnah-sunnah Allah, dengan menyampaikan pesan atau peringatan tanpa menggurui. Melalui sindiran-sindiran dalam kisah-kisah tersebut
4.      Menjelaskan metodologi dakwah ideal dengan memaparkan dakwah para Nabi as
5.      Contoh bagi kaum muslimin agar tsabat dalam jalan kebenaran
6.      Menjelaskan tabiat dan gharizah manusia
7.      Kondisi manusia ketika dikuasai oleh harta dan kekuasaan serta ketamakan terhadap dunia
8.      Memudahkan bagi kaum muslimin untuk menghafal Al Qur`an
9.      Mudah dicerna oleh segala lapisan masyarakat. Dengan pelajaran dan ibrah yang berbeda-beda dalam kerangka sebuah pelajaran yang sama
10.  Menerangkan mu`jizat Allah, karena sebagian kisah-kisah Al Qur`an ada yang bernuansa biasa (fenomena kehidupan manusia), ada yang luar biasa (khariq al `adah)
11.  Tantangan (tahaddy) bagi orang-orang Quraisy (Arab), Ahli Kitab dan manusia secara umum untuk mendatangkan kabar secara benar, otentik dan penuh pelajaran. Disamping merupakan tantangan dari dimensi gaya bahasa
12.  Mengetahui urutan sabab-musabab suatu kondisi dan cerita serta sebab akibat, baik yang bagus endingnya atau yang buruk
13.  Mengetahui model dan  proses turunnya syariat umat-umat terdahulu
14.  Ancaman bagi orang-orang yang membangkang, durhaka dan melawan sunnah Allah
15.  Memberikan metode baru dalam `periwayatan` kisah yang dikenal bangsa Arab. Dengan menambah unsur dialogis, perwatakan atau sifat sehingga secara psikis lebih terasa pengaruhnya terhadap pendengarnya
16.  Menambah pengetahuan dan wawasan kaum muslimin dengan mempelajari kondisi dan keadaan umat terdahulu
17.  Membiasakan kaum muslimin untuk menghargai ilmu dan menghindari penilaian dengan standar kebendaan
18.  Mendidik kaum muslimin bahwa kekuasaan Allah diatas segala bentuk kekuatan
19.  Mengikuti perjalanan sejarah baik berupa jatuh bangunnya manusia dan peradabannya ataupun silsilah tasyri` dan menjelaskan tatanan-tatanan fondasi mansyarakat madani seperti kisah Yusuf as sewaktu menjadi pejabat dan kisah para pengawalnya yang menggeledah saudara-saudaranya ketika kehilangan cawan atau `piala` milik kerajaan
20.  Berpengaruh dalam membentuk tatanan sosial suatu masyarakat Karena kisah-kisah Al Qur`an membawa ruh perbaikan. Bukan sekedar mengimbangi blue print masyarakat modern yang cenderung matrealis, liberal dan hedonis([9]).

Metode Kisah-kisah al Qur`an
            Jika kita memahami misi serta tujuan kisah-kisah Al Qur`an sedemikian mulianya maka kita bisa menyimpulkan metode pemaparannya sebagai berikut:
1.      Berpegang pada realita kehidupan dan peristiwa bukan pada tokoh. Maka yang menjadi sorotan utama adalah peristiwa bukan penokohan. Peristiwa dengan pelajarannya menjadi `tokoh` dalam Al Qur`an, bukan seseorang atau sekelompok orang.
2.      Kisah dalam Al Qur`an adalah realita kehidupan yang yang dideskripsikan dengan sepenuh makna dan sederhana bukan khayalan ataupun dongeng atau berlebihan dalam menggambarkannya. Dalam hal ini sebagian dari kisah yang merupakan `bayangan` lebih tepatnya disebut sebagai matsal (perumpamaan). Dan sebagian besar dari perumpamaan tersebut dipetik dari kisah nyata yang terjadi.
3.      Dengan kedua unsur diatas Al Qur`an menjauhkan persepsi penggambaran kisah yang mengarah pada reaksi nafsu atau gharizah([10])

Ketika tantangan Al Qur`an dilontarkan ke tengah ahli bahasa dan pakar balaghah bangsa Arab, sekonyong konyong mereka mencoba dengan penuh keputusasaan dan terlihat jelas kelemahan mereka. Sampai pada sebuah pengakuan bahwa ia bukan perkataan manusia biasa.
            Sementara itu dalam perjalanan sejarah umat Islam, corak dan metode kisah diatas `menggelitik` sebagian ulama untuk mengungkap tabir i`jaz pengungkapan dan gaya bahasa Al Qur`an. Disamping hal tersebut dipicu kondisi panasnya gejolak perbedaan `ilmu kalam` dan masalah perpolitikan yang menyebabkan penafsiran Al Qur`an kehilangan dzauq aslinya. Diantara mereka seperti al Jâhidh (255H), Ar Rumâny (384H) kemudian datang setelahnya Al Bâqilâny (403H) dengan buku monumentalnya `I’jaz Al Qur`an`.
            Meskipun para pendahulu tersebut memfokuskan suatu kajian bahasa bukan tematik kisahnya, namun sedikit banyak telah menumbuhkan dinamika pengayaan khazanah penafsiran kisah-kisah Al Qur`an.
            Baru pada abad-abad terakhir rahasia ta`bir kisah dengan kesempurnaan nilai seni ini dituangkan secara tertulis oleh pemikir dan sebagian ulama modern. Seperti Musthafa Shadiq Ar Rafi`i dengan bukunya “Tarîkh Adâd al `Arab” dan Syayyid Quthb melalui karyanya “At Tashwîr al Fanny fi Al Qur`ân([11]).
            Menyinggung keistimewaan gaya pengisahan ini Sayyid Quthb memaparkan tashwirr Al Qur`an dengan makna hati dan aspek psikis yang mendalam melalui contoh kemanusiaan yang hidup didepan cermin realita atau kenyataan yang langsung terlihat sepanjang sejarah. Susunan huruf mati tidak menghalangi Al Qur`an untuk mengungkapkan kehidupan. Dalam kisah Al Qur`an ada kehidupan bukan sekedar hikayat tentang kehidupan. Bukan pola-pola tashwir atau penokohan sekelompok manusia belaka. Tapi rahasia peristiwa yang terangkum dengan i`jaz dalam ekspresi bahasa([12]).

Setting Tempat, Waktu dan Unsur Dialogis dalam Kisah-kisah Al Qur`an
            Waktu dalam kisah-kisah Al Qur`an ibarat `tangan` yang memegang pita peristiwa yang menjadi limit terjadinya hal tersebut. Sementara tempat merupakan `tempayan` (lokasi) peristiwa.  Namun kedua hal diatas tidak dijelaskan secara detail oleh Al Qur`an. Akan tetapi bukan berarti tak ada setting dan waktu di dalamnya. Maksudnya, tanpa pembatasan secara mendetail kapan terjadinya peristiwa berapa tahun sebelum atau sesudah Masehi atau zaman kenabian. Suatu misal kisah Nabi Nuh as. tidak disebut dari dan sampai kapan beliau di utus. Namun Allah menjelaskan masa risalah beliau yaitu 950 tahun usia dakwah beliau pada kaumnya. Dalam kisah Nabi Yusuf as. juga disebutkan urutan cerita sesuai alur.
            Tempat yang dianggap sebagai lokasi setting, disebut secara global dalam Al Qur`an namun tak semuanya di perinci dengan nama. Misal hanya dengan memberi isyarat di sebuah desa. Kecuali yang bersangkutan langsung dan erat dengan perjalanan suatu peristiwa. Seperti Makkah, Madyan, Ahqâf, Mesir, Iram dan lain-lain. Hal tersebut karena yang ditekankan adalah dimensi peristiwa itu sendiri. Bukan tokoh, setting atau kapan terjadinya.
            Unsur dialog juga menjadikan warna cerita dalam Al Qur`an hidup penuh dinamika. Dengan menciptakan suasana dialogis dalam memaparkan sebuah kisah akan semakin meresap diterima oleh pendengarnya. Karena hal tersebut membantu menghadirkan gambar hidup dari sebuah cerita masa lalu([13]).

Pengulangan dalam Kisah-kisah Al Qur`an
            Mungkin sempat terbersit pertanyaan, mengapa terjadi pengulangan dalam sebagian kisah-kisah Al Qu`ran? Pertanyaan ini sangat wajar terlebih bila kita kiaskan dengan cerita atau kisah yang ditulis manusia. Dari sinilah justru akan terlihat perbedaan mendasar antara Al Qur`an dan karya sastra manusia yang kebanyakan bernuansa tematik.
            Al Qur`an diturunkan sesuai dengan kondisi yang diperlukan oleh Nabi Muhammad saw. dalam mengemban risalah Allah. Karenanya kisah Al Qur`an adalah kisah kehidupan yang selaras dengan realita kehidupan manusia, terutama bagi Nabi-Nya pengemban risalah. Kita ambil sebuah contoh, kisah Nabi Musa as. yang dimuat dalam tiga surat: Thâhâ, An Naml dan Al Qashash.
            Kisah tersebut diangkat Allah sesuai dengan ruh dan misi surah masing-masing dari ketiganya. Dalam surah Thâhâ kisah Musa as. merupakanpenjelasan inayah dan rahmat Allah serta nikmat yang diturunkan Allah pada Nabi Musa as. dengan harapan hati Rasul saw. akan semakin tenang. Sedangkan dalam surah An Naml menjelaskan tentang hikmah dan kesempurnaan ilmu. Bahwa Al Qur`an adalah `karya` ilahi. Adapun cerita Nabi Musa yang paling lengkap terdapat dalam surah Al Qashash didalamnya Allah ingin menyampaikan pesan kepada Nabi Muhammad saw. bagaimana Dia menolong dan menjaga Nabi Musa as. serta mengalahkan musuh-musuhnya. Disamping itu dimensi akhlak mulia sebagai syarat pengemban risalah dakwah sangat menonjol([14]).
1.       Setiap kisah yang dimuat meski sama muatannya, ia berbeda gaya bahasa dan sarat dengan penambahan dan pengurangan serta perbedaan ruh cerita sesuai misi yang disampaikan.
2.      Merupakan selingan dan hiburan bagi Rasul saw yang mengalami fenomena kehidupan yang berbeda-beda. Allah menegaskan hal demikian juga dialami oleh para pendahulu beliau. “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu..” (QS.Hûd: 120).
3.      Mengulang cerita yang dalam berbagai misi serta kesempatan disertai gaya bahasa yang berlainan sangatlah sulit. Hal ini merupakan satu dari bentuk mu`jizat ini.
4.      Dalam melontarkan tantangan kepada pakar bahasa Arab. Allah menyatakan dalam berbagai bentuk, satu Qur`an, beberapa surat (sepuluh surat) serta terakhir satu surat saja. Pengulangan kisah diatas akan mempertegas ketidak-mampuan manusia menyamai apalagi mengalahkan Al Qur`an([15]).
5.      Kisah-kisah berulang secara berbeda-beda memberikan corak terhadap tatanan sosial masyarakat secara umum. Misalnya kisah Nabi Musa as. yang merupakan kisah yang paling banyak di ulang, menunjukkan bahwa fenomena kisah Nabi Musa as. akan sering terulang dalam tatanan peradaban manusia.
6.      Kisah yang terpisah tadi akan dapat diambil pelajaran oleh kaum muslimin secara umum dengan tingkat strata yang berbeda baik strata sosial maupun ilmiah. Masing-masing akan mengambil pelajaran sesuai kondisi mereka.

Kisah Nabi Yusuf as: Mengapa Tak Ada Pengulangan?
            Kisah Nabi Yusuf as. merupakan kisah yang dikumpulkan dalam satu surat saja dan tidak mengalami pengulangan dalam surat-surat lain. Bahkan surat tersebut dinamakan dengan surah Yusuf.
            Hal ini –wallâhu a`lam- dikarenakan kisah beliau kuranglah begitu menonjol dalam tatanan medan kehidupan. Disamping sebagian besar mengisahkan keadaan beliau qabla bi`tsah. Hampir semuanya merupakan kisah datar, menceriterakan alur cerita beliau dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Fenomena khâriq al `âdah juga tidak terlalu terlihat didalamnya. Bukan pula menggambarkan ruh kenabian secara umum kecuali nilai tauhid. Sebagian dimensinya mengisahkan `fitnah` perempuan (tentunya dengan andilnya nafsu dan syaithan) yang sering menggelincirkan fitrah manusia. Alangkah kurang bijaknya bila segi-segi gharizah ini ditonjolkan. Selain itu kisah ini akan mudah dilupakan jika seandainya dimuat secara terpisah dan terbagi-bagi dalam berbagai surat. Kesatuan kisah inilah yang pada akhirnya bisa dipetik oleh kaum muslimin dalam menentukan sikap didepan fenomena kehidupan secara wajar. Pendidikan keluarga, kebersamaan, persaudaraan, keadilan, kasih sayang, mengayomi, amanah serta jujur dan penuh perencanaan adalah sebagian nilai dalam kisah tersebut yang bisa kita ambil darinya.

Kisah-Kisah Al Qur`an: Potret Peradaban Manusia Sepanjang Sejarah
“Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tida sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa"(QS. Fâthir: 44)
Kisah-kisah yang diketengahkan dalam Al Qur`an mengajak manusia menelusuri jejak sejarah dan menelaah perputaran peradaban manusia dari masa ke masa.  Diantara sarananya adalah dengan berjalan “di muka bumi”. Tadabbur kisah ini akan mengena dengan disertai setting tempat yang jelas-jelas disebutkan oleh Al Qur`an seperti Makkah, Madyan atau yang ditafsiri dengan hadits Rasul saw. ataupun perjalanan sirah nabawiyah. Tempat dihanyutkannya Nabi Musa as, sungai Nil, bukit Sina atau tenggelamnya Fir`aun di laut merah dan sebagainya.
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, di wariskan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”(QS.Al A`râf: 128)
Nabi Musa sangat memahami proses perputaran sunnah Allah terhadap kondisi peradaban manusia yang akan berakhir di tangan orang yang shalih. Karenanya optimis ini membuahkan sebuah semangat bagi suatu kaum yang akan memimpin peradaban manusia. Prasyarat itu meliputi tiga aspek: isti`anah billah (meminta pertolongan), sabar, ibadullah yang shalih. Inilah yang akan memegang pusaka Allah, yaitu bumi untuk dimakmurkannya dengan ajaran `langit`. Al Qur`an sendiri telah mengisahkan jatuh bangunnya peradaban umat terdahulu. Disamping itu menjelaskan akhir dari peradaban manusia dipenghujung zaman. Seperti yang tersirat dalam surat Yunus: 49 “Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak pula mendahulukannya”([16]).

Dampak Psikis Kisah-kisah Al Qur`an Bagi Kaum Muslimin
Salah satu hikmah kisah-kisah Al Qur`an adalah mempunyai dampak positif bagi kejiwaan kaum muslimin secara umum. Setelah sebelumnya Al Qur`an senantiasa membiasakan budaya dialog dan mengajak berfikir dalam menutup sebuah kisah. Biasanya digunakan kata “fandhur” (lihatlah, perhatikanlah, telitilah) –bagaimana kesudahan orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir, kaum shalih dan kaum zhalim, orang yang bertaqwa dan orang yang ingkar- yang memuat ajakan untuk berpikir dan menelaah secara kritis.
Dengan melihat akibat yang baik orang yang shalih, kita bisa mengikuti jejak mereka. Dan dengan memperhatikan akibat yang buruk bagi kaum pembangkang, kita dapat mengambil pelajaran dan berhati-hati.
Di samping itu ajakan `ilmiah` ini bila kita sambut dengan serius akan mengangkat kondisi umat yang sedang terbelakang dengan angka ketergantungan yang tinggi. Dengan kata lain kisah-kisah tersebut memacu umat Islam untuk memperdalam ilmu dan pengetahuan serta memahami sejarah.
Dimensi optimis yang lain bisa dipetik lewat sunnah Al Qur`an dalam menggambarkan kurva peradaban. Yaitu naik turunnya sebuah peradaban serta bergantinya tokoh suatu peradaban dengan generasi lain. Sisi inilah yang membantu memompa rasa optimis umat ketika sedang terhimpit oleh kezhaliman, hegemini kebathilan, otoritas kesombongan serta supremasi kesewenang-wenangan. Terlebih jika ummat memahami hikmah sunnah mudawalah (pergiliran) adalah sebagai filter dan saringan generasi tokoh peradaban sekaligus sebagai ujian siapakah yang terbaik (ketakwaannya) dihadapan Allah dan siapa yang terbagus (akhlak kemanu-siaannya) di hadapan sesama.

Memahami `al Hikmah`
            Ketika Allah menyebutkan kata al hikmah dalam kitabNya sebanyak 20 kali([17]) dengan cakupan yang luas diberbagai lini dan aspek, seolah memberikan isyarat akan pentingnya posisi tersebut bagi umat. Tingkat keistimewaan ini akan terlihat bila kita renungi furman-Nya: “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman tentang Al Qur`an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”(QS. Al Baqarah: 269)
            Anugerah ini yang `membimbing` seorang manusia mampu mengambil pelajaran dari yang disampaikan Allah baik melalui pesan langsung (sharîh) ataupun pesan tersirat melalui perumpamaan dan kisah-kisah yang kaya akan makna dan muatan pendidikan bagi kedewasaan umat dalam proses memahami Islam secara kaffah. Lewat ulul albâb inilah diharapkan umat mampu menyerap banyak dari pelajaran dan kisah para pendahulunya.

Kisah Al Qur`an: Sebuah Teladan Umat
            Sebagian orang mampu menguak tabir rahasia serta pelajaran berharga yang tersimpan dalam kandungan Al Qur`an. Namun tak sedikit dari mereka yang terhalang untuk mendapatkan hidayah. Maka ilmu yang demikian hanyalah menyebabkan orangnya menjauh dari Allah([18]).
            Erat bahasannya dengan kajian ini, adalah kitab suci Al Qur`an dijadikan sumber ilmu sekaligus sumber mencari petunjuk (hidayah). Proses tersebut melalui refleksi mengambil teladan apa yang ada di dalamnya, diantaranya adalah kisah-kisah Al Qur`an.
            At Turmudzi meriwayatkan dari al Hârits bin A`war, bahwa Amirul mu`minin Ali bin Abi Thâlib pernah mendengar Rasulullah bersabda: “…. Kitab Allah (Al Qur`an) didalamnya ada berita kaum sebelum kalian dan kabar apa setelah kalian serta hukum diantara kalian, dia adalah pemisah antara haq dan bathil serta bukan sekedar senda gurau. Siapa yang mencari petunjuk selain dari padanya, Allah akan sesatkan dia ...”([19]). Dengan sajian kisah Al Qur`an ini setiap generasi -setelah turunnya Al Qur`an- diharapkan bukan hanya mampu memetik ibrah darinya namun lebih dari itu meneladani jejak orang-orang yang shalih. Bukan sekedar untuk kenikmatan ilmiah.

Kata Penutup
            Yang sedikit ini semoga bermanfaat. Terutama dalam rangka pendekatan diri secara menyeluruh terhadap Al Qur`an di segala lini kehidupan kita. Sebagai solusi problematika kontemporer yang kian hari makin kompleks. Wallahu waliyyuttawfiq.



í Dipresentasikan dalam kajian mingguan Forum Studi Al Qur`an (FORDIAN) pada hari Ahad, 18 Maret 2001 di Wisma Nusantara
íí Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Al Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir
([1]). Lihat al Baqilani, I`jâzu al Qur`ân, tahqiq Dr. Muh. Abdul Mun`im Khufâji, Beirut: Dâr al Jeil, cet.I, 1991, Sub Bahasan Audun ilâ I`jâzi al Qur`an hal 225. Terutama pada contoh surat An Naml di hal. 230 dan kajian kisah di hal. 231
([2]). Dr. Muhammad Abd. Darraz.  An Naba` al `Adhîm, Alexandria: Dâr al Murâbithîn, cet.I, 1997, hal.99
([3]). Muhammad Ahmad Jâd. et.al, Qashash al Qur`ân, Cairo: Maktabah Dâr al Turâts, cet. XIV, 2000, hal.3-4
([4]). Imam Muhammad Thâhir bin `Âsyûr, Tafsir at Tahrîr wa at Tanwîr, Tunis: Dâr Suhnûn, cet. 1997, Vol.I, hal. 64
([5]). Dr. Muhammmad Mahmoud Hegazy, Al Wihdah al Maudhû`iyah fi al Qur`ân al Karîm, Cairo: Maktabah Iman-Dar Kutub al Hadîtsah, cet.1970, hal 289
([6]). Dr. abdul Karim Zaydan, al Muatafâd min Qashash al Qur`ân, Beirut: Muassasah Risalah, cet.I, 2000, hal.6
([7]). Imam Muhammad Thahir bin Asyur, Op.Cit, hal. 64-65
([8]). Dr. Muhammmad Mahmoud Hegazy, Op.Cit, hal. 282
([9]). dari berbagai referensi diantaranya, Al Mustafâd min Qashash al Qur`an (hal.6-8), Min Washaya Al Qur`an (Sub Ma Hia al Hikmah, hal.37), Tafsir Tahrir wa Tanwir (hal. 65-68), Wihdah Maudhuiyah fi al Qur`an (hal. 306-313), Mabahits fi Ulum Al Qur`an (Subhi Shalih) dalam Fashl III, I`jaz Al Qur`an,hal. 313 dan materi kuliah Ulumul Qur`an di Al Azhar, Tamhidy II, Prog. S2, Jurusan Tafsir, Fak. Ushuluddin, oleh Dr. Mani` Abdul Halim Mahmud. (Ahad, tanggal 11 Maret 2001)
([10]). lihat sub judul Kisah Nabi Yusuf as: Mengapa Tak Ada Pengulangan?
([11]). Ust.Subhi Shalih, Mabahits fi Ulum Al Qur`an, Istambul: Dar Sa`âdat, 1385 H, hal.317
([12]). Sayyid Quthb, At Tashwîr al Fanny fi Al Qur`an, hal. 33
([13]). Dr. Muhammmad Mahmoud Hegazy, Op.Cit, hal. 313-318
([14]). bisa terlihat kehalusan budi pekerti Nabi Musa as ketika menolong putri Nabi Syu`aib as sampai beliau berada ditengah keluarga yang shalih tersebut. Akhlak amanah serta malu. Lebih jelasnya bisa dilihat dalam Al Mustafâd min Qashash al Qur`an karya Dr. Abdul Karim Zaydan, hal. 307-310.
([15]). Dr. Muhammmad Mahmoud Hegazy, Op.Cit, hal. 322
([16]). Muhammad Hasyur, Sunan al Qur`ân fi Qiyâmi al Hadhârat wa Suqûthihâ, Manshurah: Dâr al Wafa`, cet.I, 1997, hal.299-302
([17]). lihat Muhammad Anwar Beltagy, Min Washâyâ Al Qur`ân, Cairo: Dâr al Manâr, cet.III, 1997, hal. 37
([18]). Bisa dibaca perkataan sahabat Ali bin Abi Thâlib: “Barangsiapa bertambah ilmunya tapi tidak bertambah zuhud tidaklah tambah kepada Allah selain menjauh darinya” (Al Firdaus bi Ma`tsûr al Khithâb, karangan Ad Dailamy, Beirut: Dâr Kutub Ilmiah, Cet.I, 1986, vol.III, hal. 602)
([19]). Dr. Muhammad Abu Syahbah, Al Madkhal li Dirâsati Al Qur`ân, Cairo: Maktabah Sunnah, cet.I, 1992, hal. 15