METODE AMTSAL AL QUR-AN



METODE AMTSÂL AL QUR’ÂN*

Oleh : Mamat Rahmat**

Pendahuluan

Fenomena i’jaz Al Qur’ân  bukanlah sebatas keindahan bahasa yang memukau dengan uslub dan pilihan kata yang tersusun rapih serta enak didengar, juga tidak sebatas bahwa Al Qur’ân banyak mengilhami ‘discoveri-discoveri’ yang ada sekarang. Akan tetapi masih banyak fenomena-fenomena i’jaz Al Qur’ân yang terefleksikan  dalam pigura ayat-ayatnya yang membuktikan bahwa Al Qur’ân adalah mukjizat dari Rabbul’alamin, salah satu metode yang digunakannya adalah Amtsâl.
Amtsâl ini disamping sebagai  tahadda bagi manusia, yang manusia tidak bisa mampu membuat yang semisalnya, sekaligus sebagai Manhaj Tarbiyah  Ilahiah  melalui fenomena-fenomena alam atau sisi lain yang ada dalam diri manusia (aspek psikologis)  yang sering mereka lihat  setiap harinya atau bahkan setiap detiknya agar mereka bertadabbur diri, menggunakan otaknya atas apa yang ingin  Allah sampaikan kepada mereka baik berupa hukum-hukum  maupun sunnah-sunnah Nya, kesemuanya itu akan bermuara kepada halte akhir tujuan manusia yaitu kebahagian hidup di dunia dan di akhirat dengan terlebih dahulu mengishlâh hidup manusia menerangi jalan kegelapan dengan obor penerang  yang tertuang dalam ayat-ayat  Al Qur’ân lewat petualangan-petualangan sunnatullah yang telah, sedang dan akan  terjadi.
ويضرب الله الأمثال للناس لعلهم يتذكرون. (سورة إبراهيم :25)

ويضرب الله الأمثال للناس والله بكل شيء عليم. (سورة النور:35)

أخرجه البيهقي عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم:إن القرآن نزل على خمسة أوجه حلال وحرام ومحكم ومتشابه وأمثال فاعملوا بحلال واجتنبوا بحرام واتبعواالمحكم وآمنوا بالمتشابه واعتبروا بالأمثال.
Mengenai urgensi amtsâl Al Qur’ân ini, Az Zarkasyi dalam kitabnya Al Burhân fi ‘Ulûm Al Qur’ân  menukilkan perkataan Imam Syafi’i  tentang apa yang wajib diketahui oleh seorang mujtahid yaitu mengetahui Amtsâl Al Qur’ân. Kemudian As Suyuti dalam Al Itqân menukilkan perkataan Imam Al Mawardi bahwa ilmu Amtsâlul Qur’ân termasuk ilmu yang penting dalam jajaran ilmu-ilmu Al Qur’ân.
Karena pentingnya ilmu ini sehingga banyaklah buku-buku yang memuat isi tentang amtsâl Al Qur’ân dari dahulu hingga sekarang baik dalam bentuk buku maupun dalam sebuah bab. Az Zarkasyi menyebutkan bahwa Husain bin Fadl adalah salah seorang  mutaqaddimin yang mengarang kitab tentang amtsâl Al Qur’ân.  Berbeda dengan As-Suyuti yang mengatakan bahwa Al Mawardi termasuk orang yang pertama mengarang amtsâl Al Qur’ân.
Pada tataran akademik juga para sarjana muslim modern berlomba untuk mengarang buku-buku tentang amtsâl, terbukti dengan adanya kitab yang berjudul Amtsâl Al Qur’ân Al Kariem Wa Atsaruha fie adab Al  Arabi Ila Al Qorn Atsalitsi  Al Hijriy karangan Nurul Haq Tanwir. Buku ini merupakan tesis magister  universitas Dar Al-Ulum Kairo.

 

Definisi Amtsâl


Sebelum membahas tentang definisi Amtsâl, perlu dicatat disini bahwa perbedaaan yang terjadi antara para ulama lughah, adab, balaghah atau mufassirin tentang definisi amtsâl  tidak keluar dari makna Asy syibh bahkan mereka sepakat bahwa Amtsâl ini ditafsirkan dengan makna syibh.2
Ibn Faris mengatakan bahwa mim, tsa, lam adalah asal sahih  yang menunjukan persepadanan sesuatu (sinonim). Terkadang orang berkata  matsilun kasyabihun. Fairuz Az zabadi dalam Bashair At Tamyiz fie lathaif Al Qur’ân  mengatakan matsal dan mitsl atau matsil seperti syibh, syabh dan syabih baik lafad maupun makna, jama’nya amtsâl.
Terkadang mitsl digunakan sebagai penyerupaan sesuatu dengan yang lainnya dalam satu makna atau lebih. Lafad mitsl ini lebih umum dari lafad-lafad yang lainnya untuk penyerupaan atau perbandingan baik dzat, kualitas dan kuantitas. Oleh kerena itu Allah SWT dalam firman Nya  Laitsa kamitslihi syai’un  mengkhususkan disebutkannya mitsl untuk menafikan penyerupaan segala sesuatu dengan Nya dari berbagai segi.  Mitsl disini maknanya sifat, yaitu tidak ada sesuatu sifatpun dari sifat-sifat makhluk yang menyerupai sifat- sifat Nya. 3

Perbedaan antara mitsl dan matsl

Sebagian ulama mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara mitsl dan matsl. Ibn Mandhur dalam Lisan Al ‘Arab mengatakan matsl adalah kalimat sinonim atau persamaan terkadang dikatakan mitsl, matsl  seperti syibh dan syabh keduanya dengan  makna yang sama.
Az Zarkasyi dalam Al Burhannya menukilkan dari sebagian ulama tentang ta’lil mitsl dan matsl jika keduanya semakna tentu akan saling bertentangan antara firman Allah Laitsa kamitslihi syaiun dan Walillahil matsalula’ala karena ayat pertama berfungsi untuk menafikan sedang yang kedua untuk  menetapkan.4
Al Maidâni mencoba menengahi perbedaaan ini  dengan menjadikan kedua lafadh dengan makna sifat karena lafadh matsl dalam sebagian ayat Al Qur’ân bermakna sifat  Walillahilmatsalul a’la yaitu sifat a’la dan Laisa kamitslihi syaiun yaitu sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk.5  Muhammad Bakar Ismâil juga mencoba memberikan solusi yang  hampir sama dengan  Abdurrahman  Al Maidâni,  bedanya dalam ayat Walillahil matsalul a’la tidak menafsirkan dengan kata sifat  tetapi berpegang kepada penafsiran  Ibn Katsîr dan  Ath Thabarî yang mengatakan “Kesempurnaan yang mutlaq bagi Allah dari segala segi....”.6 Solusi beliau  disepakati oleh Muhammad  Jâbir Al Fayyâdl dalam kitabnya Al Amtsâl fie Al Qur’ân.
Dr. Bakar Ismâil disamping memberikan solusi tentang isykal yang ditulis Az Zarkasyi dalam kitabnya beliau juga membedakan makna mitsl dan  matsl dengan menukilkan pendapatnya Imam Fakhr Ar Razi yang mengatakan mitsl digunakan untuk persamaan sesuatu  fie tamâmil mâhiyah  dan matsl digunakan dalam sebagian  sifat eksternal dari mâhiyyah tadi.7Berbeda dengan apa yang diungkapkan Ibnul  ‘Arabi  sebagaimana dinukilkan Az Zarkasyi bahwa mitsl  “adalah ungkapan penyerupaan inderawi” dan matsl untuk “ungkapan terhadap penyerupaan maknawi”.8
            Dr. Muhammad Jâbir  Al  Fayyâdl  tidak setuju kalau perbedaan  itu seperti diungkapkan oleh Ar Razi dan Ibnul Arabi karena pentakhsisan tadi tidak sesuai dengan  hakikat dan tabiat lafad mitsl. Sebagai contoh  Al Karimu mitsl ghaits  keduanya sama dalam sebagian sifat eksternal  dan  tidak sama dalam  tamamul mahiyah.. Contoh kedua Zaidun mitsl Amr  bisa dikatakan serupa dalam bentuk badan bisa juga serupa dalam kepribadian atau dalam tingkah laku.9
Al Fayyâdl mensinyalir bahwa  pendapat Ibnul Arabi dan Ar Razi tadi  bermuara pada prediksi  bahwa kedua lafad tadi adalah adat tasybih padahal kalau diteliti matsl bukanlah adat tasybih.10
            Di samping makna matsl, yaitu syibh, ada makna lain yang diisyaratkan Al Qur’ân dalam lembaran-lembaran ayatnya. Seperti ditafsirkan dengan makna Tashowwur فتمثل لها بشرا سويا Atau dengan  makna hal, sifat, kisah dan ayat. Dan lain-lain.
            Ahli Adab mendefinisikan matsl adalah perkataan yang di maksudkan menyerupakan sesuatu keadaan dengan keadaan yang lain ……”11. Lafadh matsl di pakai untuk hal, sifat, atau kisah yang penting dan aneh, sebagaimana yang di isyaratkan oleh Zamakhsyari :”….Lafadh matsl di gunakan untuk hal, sifat atau kisah yang penting dan aneh”.12
            Dr. Muhammad Jâbir Al-Fayyâdl menjelaskan maksud dari perkataan Imam Zamakhsyari dengan menukilkan perkataan Al-Jâhidh bahwa yang di maksud Zamakhsyari dengan perkataannya adalah peristiwa yang jarang terjadi, aneh dan sangat menakjubkan orang yang mendengar dan melihatnya.13
            Berbeda dari definisi lughawiyyin dan Adabiyyin, Ahli Balaghiyyin memahami arti matsl dengan lebih spesifik lagi, yaitu difokuskan pada Isti’arah Tamtsiliyah yang sering di pakai baik mudzakar maupun mu’anatsnya tanpa perubahan dalam ungkapannya”.14
            Perlu di ketahui bahwa ada perbedaan antara Isti’arah Tamtsiliyah dan Tasybih Tamtsily, Imam Al-Jurjâni mengatakan bahwa Tasybih lebih umum daripada tamtsily. Setiap tamtsil adalah Tasybih dan tidak setiap tasybih tamtsily. Perbedaan yang mencolok antara Tasybih tamtsily dan isti’arah tamtsiliyah adalah dalam wajh syibhnya. Dalam tasybih tamtsily wajah sibh lebih dari satu baik indrawy maupun maknawy dan pada isti’arah tamtsiliyah hanya satu.
            Sebagai contoh: ‘Muhammad mitsl Al-Asad’. Kalimat ini adalah istia’rah tamtsiliyah tetapi tidak dikatakan tasybih tamtsily. Sementara yang ada dalam Al Qur’ân biasanya wajah syibhnya lebih dari satu baik itu berbentuk suara, gerakan, warna dan yang lainnya. Jadi definisi yang dikemukan ahli balaghah tentang matsl tidak bisa diterapkan dalam definisi Amtsâl Al Qur’ân, karena matsl dalam arti yang sebenarnya tidak hanya terfokus pada isti’arah, tasybih atau kinayah tapi lebih umum dari itu. Karena sebagian dari Amtsâl Al Qur’ân ada yang bukan termasuk tasybih atau isti’arah atau kinayah. Seperti kalimat ضعف الطالب و المطلوب 15
            Adapun definisi yang layak pakai untuk Amtsâl dalam Al Qur’ân adalah “Mengetengahlkan sebuah pesan dalam bentuk yang indah dan singkat yang mempuinyai pengaruh psikologis baik berbentuk tasybih atau ucapan bebas”.16

Kaidah-kaidah Amtsâl Al Qur’ân

Terlepas dari pro dan kontra perbedaan para ulama dalam definisi amtsâl, Amîn khûly dan Nurul Haq telah menetapkan kaidah yang diistinbathkan dari fenomena ayat-ayat Al Qur’ân. Kaidah-kaidah itu :
1. مثل كذا كمثل كذا : hal itu jika yang diumpamakan tidak jelas di sebutkan, diganti dengan dhamir atau isim mausuliyah, maka sebagai muqabalahnya disebutك  dan مثل 
Contoh     مثلهم كمثل الذي استوقد نارا.....
2.  مثل كذا ككذا , yaitu jika yang di umpamakan itu jelas disebutkan baik dengan nakirah atau dimakrifatkan oleh alam, alif lam atau idhofat maka yang di sebutkan hanya kafnya saja. Contoh  مثل كلمة طيبة كشجرة طيبة..... Kecuali ayat17       ان مثل عيسى عند الله كمثل أدم

 

Klasifikasi Amtsâl Al Qur’ân


Perbedaan pandapat para ulama dalam klasifikasi ini tidak keluar dari apa yang dinamakan orang dengan Amtsâl dhâhir dan Amtsâl kâmin, yang pada hakikatnya adalah perbedaan yang berkisar sekitar penamaan dan maksud yang di kandung amtsâl itu.
            Az-Zarkasyi dalam Al-Burhannya dan As-Suyûthi dalam Al-Itqannya  membagi amtsâl yang ada dalam Al Qur’ân ke dalam dua golongan besar :
  1. Dhâhir, yaitu yang di sebut lafadh matsalnya.
Matsal ini di sebut juga dengan matsl Qiyâsiy sebagaimana yang di ungkapkan oleh Nurul Haq Tanwir dalam bukunya “Al-Amtasal fi Al Qur’ân wa Atsaruha.....hal. 156.    
  1. Kâmin, yaitu yang tidak di sebutkan lafadh matsalnya atau kalau menurut definisi Bakar Ismâil : Amtsâl yang tidak sengaja dibuat permisalan untuk menjelaskan situasi, sifat khusus atau rangkuman kejadian dengan tidak di sebutkan lafadh matslnya, akan tetapi isinya memuat makna yang menyerupai amtsâl, bisa dikatakan bahwa amtsâl kamin adalah amtsâl maknawy. 18 Seperti :
لا فارض و لا بكر عوان بين ذلك
و الذين اذا أنفقوا لم يسرفوا و لم يقتروا
و لا تجعل يدك مغلولة الى عنقك و لا تبسطها
و لا تجهر بصلاتك و لا تخافت بها
Dr. Muhammad Abdussalam menggolongkan amtsâl kâmin ini ke dalam amtsâl sâ’irah (peribahasa) Al Qur’ân.19
Sementara itu Dr. Muhammad Jâbir Al-Fayyâdl cenderung membagi amtsâl (secara global) ke dalam dua golongan besar :
1.  Amtsâl ‘Afwiyah, amtsâl yang ada selain amtsâl-amtsâl Al Qur’ân
2. Amtsâl Maqsudah, yang hakikatnya adalah amtsâl dhahir dalam istilah As-Suyuthy. Amtsâl ini juga terbagi menjadi dua  : amtsâl Dhahir yang mencakup pentasybihan, peribahasa, perbandingan. Dan yang kedua amtsâl Qishoshiyyah, baik târîkhy maupun tamtsily.20
            Berbeda dengan apa yang di lakukan oleh Abdur-Rahman Al-Maidâny dalam mengklasifiasi Amtsâl, beliau membaginya dengan melihat dari berbagai segi yang memungkinkan amtsâl ini dikelompokkan :
1.  Dilihat dari jumlah wajh Syibhnya : Amtsâl ini terbagi menjadi dua, yaitu
  1. Amtsâl Basîth, Penyerupaan sesuatu dengan satu unsur kesamaan, seperti memisalkan orang bodoh dengan orang buta, mengibaratkan ilmu dengan cahaya.
  2. Amtsâl Murakkab, yaitu gabungan penyerupaan dari amtsâl basith yang memuat lebih dari satu unsur kesamaan (wajah Syibh).
    1.  Amtsâl ini bisa berbentuk unsur-unsur yang saling bertemu, contoh Perumpamaan orang yang bershadaqah di jalan Allah dengan biji-bijian yang ditanam di lahan yang subur sehingga menghasilkan biji baru yang banyak berlipat-lipat. Pen-tatbiqkannya : infak disini di ibaratkan dengan menanam, Allah menumbuhkan tanaman di ibaratkan dengan bibit unggul, dan berlipatnya ganjaran yang di dapat diibaratkan dengan tanaman dan biji-bijian yang tumbuh subur dan berlipat-lipat.
    2. Bisa juga merupakan satu kesatuan yang utuh (universal).
Seperti perumpamaan dua kelompok orang munafik dengan permisalan air dan api.
Pentatbiqkannya : seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir bahwa dua perumpamaan api dan air yang dibuat Allah dalam surat Al-Baqarah untuk mengibaratkan orang munafik :
Perumpamaan pertama dengan api, menggambarkan fenomena orang munafik yang kembali pada kekufurannya setelah sinar hidayah sejenak bersarang di hatinya diumpamakan dengan seseorang yang menyalakan api di tengah kegelapan malam, setelah menyala dan bias sinarnya menerangi apa yang ada di sekitarnya, bahkan menyingkap apa yang ada dalam dirinya, lalu ia melihat jalan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan hawa nafsunya maka cepat-cepat ia memadamkan api dan kembali pada kegelapan malam. Inilah fenomena orang munafik yang kembali pada jurang kekufurannya. Dalam ayat selanjutnya jelas sekali bahwa mereka itu tuli, bisu dan buta.......
Fenomena yang kedua yang menggambarkan kelompok orang munafik yang ragu-ragu antara pintu keimanan dan pintu kekufuran. Akan tetapi pintu kekufuran lebih dekat. Diibaratkan dengan orang yang ditimpa hujan deras dengan geledek dan petir yang menyambar. Tatkala terdengar suara geledek yang hampir memecahkan gendang telinga, mereka segera menutupi telinganya dengan tangannya dipenuhi ketakutan dan ketika petir mebiaskan cahayanya segera mereka berjalan sedikit. Mereka sebenarnya mampu mendengar peringatan-peringatan dan hukum-hukum Allah tapi mereka tidak mau tahu, mereka mampu melihat cahaya hidayah tapi hanya melakukannya sedikit. Oleh karena itu Allah setelah menuturkan keadaan mereka menyebutkan “....jika Allah berkehendak melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
  1. Dilihat dari hissy atau maknawynya yang diumpamakan dan yang meng-umpamakan
    1. Perumpamaan indrawy dengan indrawy
Seperti ayat yang menerangkan Nabi Muhammad Saw dan Saha batnya diumpamakan dengan sebuah tanaman yang mengeluarkan tunasnya, dan tunas itu menjadi besar dan kuat.
    1. Perumpamaan maknawy dengan maknawy
Seperti mengumpamakan takut kepada manusia dengan takut kepada Allah.
    1. Perumpamaan maknawy dengan indrawy
Seperti mengibaratkan hati dengan batu atau yang lebih keras dari batu
    1. Perumpamaan indrawy dengan maknawy
seperti mengibaratkan orang yang memakan riba dengan orang yang kerasukan syaithan
    1. Kombinasi antara kedua-duanya
Seperti dalam ayat yang menceritkan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan..........diibaratkan dengan hujan yang menumbuhkan tanaman yang membuat takjub orang kafir........
  1. Dilihat dari masdar (sumber) yang di ambil untuk perumapamaan
    1. Diambil dari kenyataan hidup (realita hidup)
Seperti mengumpamakan orang yang bershadaqah tapi disertai dengan riya’ dan menyakiti diibaratkan dengan orang yang menanam tanaman di atas tanah yang di bawahnya batu licin, tatkala datang hujan/badai semuanya hancur.....
    1. Diambil dari khayalan, kecuali kisah-kisah Al Qur’ân
Seperti mengibaratkan buah Zakkum dengan kepala syaithan.
            Secara umum bahwa tujuan dari Amtsâl ini adalah untuk mendekatkan pemahaman manusia atas apa yang ingin Allah sampaikan melalui fenomena-fenomena alam yang sering terjadi di sekitarnya, juga sebagai indzar (peringatan) dan hujjah sekaligus sebagai tarbiyah ilahiyah bagi manusia melalui sisi kejiwaan (psikologis) manusia yang diwarnai oleh pigura-pigura kejahatan dan kebaikan, dan diilustrasikan dengan berbagai tampilan kehidupan yang mempunyai kemiripan baik dengan tampilan tanaman, air, api, hujan, hewan dan lain-lain.21

 

Amtsâl selain Amtsâl Al Qur’ân

           
Sebenarnya ide amtsâl ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. Dr. Muhammad ‘Abdus-Salam mengatakan bahwa amtsâl ini merupakan salah satu tabi’at  manusia. Allah menciptakannya dalam diri manusia seiring dengan ruh keindahan yang terefleksikan dalam susunan bahasa, tepatnya amtsâl ini lahir ketika bahasa lahir. Oleh karena amtsâl ini bagian dari bahasa, maka Alllah swt menjadikannya sebagai medium dalam penyampaian hujjah-Nya kepada manusia yang mengingkari kebenaran para utusan-Nya. Bukan hanya dalam Al Qur’ân saja Allah memperbanyak amtsâl ini, bahkan dalam kitab-kitab yang sebelumnya banyak sekali memuat amtsâl. Seperti dalam Perjanjian Baru ada surat yang dinamakan dengan surat amtsâl, Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Suyuthi dalam al-Itqan-nya.22 Juga dalam Kitab Perjanjian Lama ada safar yang dinamakan dengan safar amtsâl. Akan tetapi banyak dari kitab ini, amtsâl-amtsâl yang didasari khurafat (terutama kitab Pejanjian Lama dan Baru setelah penyaliban).
            Kitab Perjanjian Lama memuat amtsâl yang diriwayatkan dari Nabi Sulaiman yang mencapai 3000 amtsâl hikmah, “...Hikmah Sulaiman telah dikumandangkan ke seluruh timur.....suaranya berkumandang ke seluruh umat ....dan dia berbicara dengan 3000 amtsâl....” Al-Mulk Awwal : 5/30-32.
            Selain kitab Perjanjian Lama, kitab Perjanjian Baru juga memuat amtsâl yang diriwayatkan dari Nabi Isa as. Bahkan pemakaian lafadh amtsâl telah dipakai  oleh para pengikutnya ketika mereka meriwayatkannya, seperti dalam Lukas :12/16 di sebutkan “...Dia membuat permisalan bagi mereka.....”.  Boleh jadi, dikatakan Isa as tidak bisa menyampaikan dakwahnya tanpa dibarengi oleh amtsâl. Beliau sejak dari kecilnya terdidik dalam lingkungan amtsâl dan qira’at atas buku-buku para nabi. ‘Abbâs ‘Aqqâd mengatakan Isa as sejak dari kecilnya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan qira’ah dan perumpamaan-perumpamaan, lisan dan pendengarannya telah terlatih dengan gaung syair (nyanyian) dan amtsâl yang di ulang-ulang.
            Habib ibn Sa’id berkata :”Bisa jadi Isa as memilih pelajaran tentang amtsâl, dia menyukai kisah-kisah dan mungkin dia mempraktekkannya dalam dakwah apa yang ia sukai setelah dewasa di depan teman-teman dan bangsanya”. Dalam masyarakat jahiliyah khususnya Arab banyak sekali amtsâl yang bisa di temukan dalam kehidupan mereka. Bangsa Arab termasuk bangsa Sâmiyyîn (rumpun semitik) yang senang berbahasa dan berperibahasa. R. Levy menyebutkan bahwa kesenangan akan mentasybihkan sesuatu atau amtsâl sangat dikenal dikalangan bangsa-bangsa semitik terutama bangsa Arab, sehingga mereka mencapai puncaknya dalam berbahasa, bahkan berperibahasa (ber-amtsâl) ini sudah melekat sejak kecilnya. Al Qur’ân diturunkan dalam bahasa yang indah, salah satu sebabnya untuk menantang orang Arab yang waktu itu berada pada masa keemasannya dalam berbahasa. Al Qur’ân juga banyak menyebutkan bagaimana orang arab membuat perumpamaan dalam mengingkari ayat-ayatnya. Allah berfirman :     الأمثال... أ نظر كيف ضربوا لك   
وضرب لنا مثلا و نسي خلقه.....
            ‘Ala kulli hal bahwa Al Qur’ân adalah mukjizat yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai hujjah kepada manusia dengan gaya bahsa yang manusia tidak mampu membuat yang semisalnya.

 

PENUTUP

      Alangkah bagusnya ungkapan yang ditawarkan oleh Jamal Mustafa An-Najar ketika menukilkan perkataannya Muhammad Ghazali : “Jika seandainya…. Al Qur’ân ini betul dibuat oleh Muhammad saw dan kitab Injil dan yang lainnya di buat oleh Allah, maka Muhammad saw lebih berhak menyandang gelar dia-lah Tuhan…..”



* Tulisan dipresentasikan pada acara diskusi rutin FORDIAN, Kairo-Mesir Ahad 25 Maret 2001
** Mahasiswa tingkat akhir Jur. Tafsir, Fak. Ushuluddin, Universitas Al Azhar Kairo
2 Muhammad Jâbir Al-Fayyâdl, Al-Amtsâl Fi Al Qur’ân Al-Karim, IIIT, thn 1993/1414  hal. 61
3 Muhammad Bakar Ismâil, Al-Amtsâl Al Qur’âniyyah Dirasat Tahliliyah, Kairo Dar Al-Manar, cet. I thn 2000/1421  hal. 10
4 Az-Zarkasy, Al-Burhân fi ‘Ulûm Al Qur’ân, (Kairo, Dar Al-Fikr) cet. I  juz I hal. 576
5 ‘Abdur Rahman Al-Maidâny, Al-Amtsâl Al Qur’âniyyah, (Damaskus, Dar Al-Qalam) cet II  thn 1992/1412   hal. 39-40
6 Muhammad Bakar Ismâil, Op.cit hal. 10
7 Ibid
8 Az-Zarkasy, Al-Burhân fi ‘Ulûm Al Qur’ân,(kairo, Dar Al-Fikr) thn. 1992/1412 juz I hal. 575
9 Muhammad Jâbir Al-Fayyâdl, Al-Amtsâl fi Al Qur’ân Al-Karim, IIIT thn 1993/1414  hal. 151
10  Ibid. hal. 143
11 Mannâ‘ Al Qatthân, Mabâhits fi ‘Ulûm Al Qur’ân, (Kairo, Maktabah Wahbah) cet. X thn 1997/1417 hal.
12 Muhammad Bakar Ismâil,Op.cit hal. 14
13 Muhammad Jâbir Al-Fayyâdl, Op.cit hal. 84
14 Muhammad Bakar Ismâil, Op.cit hal. 15
15 Mannâ‘ Al Qatthan, Op.cit  hal  277
16 Ibid. hal 16
17 Muhammad Jâbir Al-Fayyâdl, Op.cit hal. 143
18 Muhammad Bakar Ismâil, Op.cit hal. 24
19 Muhammad ‘Abdus Salam, Al-Amtsâl fi Al Qur’ân, Majalah Syari’ah dan Dirasah, edisi April 1995. hal. 106 
20 Muhammad Jâbir Al-Fayyâdl, Op.cit hal 225
21 Abdur Rahman Al-Maidâniy, Op.cit hal 45-54
22As-Suyuthy, Al-Itqân fi‘Ulûm Al Qur’ân, (kairo, Dar Fikr), cet. I thn 1996/1416 hal 335