DIALEKTIKA AL QUR-AN


KAJIAN SEDERHANA TERHADAP
DIALEKTIKA AL QUR’ÂN*

 

Oleh: Ipin Tajul Aripin,Lc**

 

Pendahuluan


Diantara sekian metode yang  disajikan  Al Qur’ân dalam da'wahnya adalah gaya dialektik yang memiliki corak tersendiri apabila dikomparasikan dengan  dialektika yang umumnya digunakan oleh kebanyakan manusia. Kalau kita perhatikan  Risalah Nubuwah para nabi terdahulu sebagaimana  dilukiskankan Al Qur’ân, ternyata memiliki muatan debat. Maka Al Qur’ân  sebagai estafet dari risalah sebelumnya menapaki jalan yang hampir  sama dengan metode risalah tadi. Karena bisa jadi keberhasilan sebuah debat menjadi senjata ampuh untuk menghadapi keangkuhan para pembangkang sebuah risalah. Diantara tujuan utama diturunkan Al Qur’ân adalah untuk membimbing manusia mengenal dan mengakui kebahureksaan Allah Swt. Meskipun eksistensi  Allah itu sendiri sebagai suatu yang aksioma (badîhî) tanpa memerlukan kepada adanya sebuah argumen, karena dipandang pengakuan terhadap adanya Tuhan sudah  tertanam dalam setiap dada manusia yang lahir kebumi secara fitri, akan tetapi tanpa bimbingan sebuah risalah ilahiah  tidak mungkin manusia itu sendiri dapat mengenal dzat, sifat dan af'al Tuhannya secara benar. Oleh karenanya, Salah satu ciri khusus yang ditempuh Al Qur’ân dalam proses penghidayahan tadi  adalah dengan  menggunakan   metode dialog dan debat agar manusia bisa sampai kepada pengakuan tadi. Akan tetapi kalau kita perhatikan,  debat yang  digelar Al Qur’ân   hanya berpegang teguh kepada argumen-argumen demonstratif (burhânî), yang dipandang sebagai format ideal dan bentuk reasoning yang paling kuat dalam cakrawala ilmiah  karena berpijak kepada postulat dan premis yaqînî sehingga sampai kepada sebuah konklusi yang yaqin pula (yaitu pengetahuan terhadap sesuatu secara pasti tanpa memungkinkan adanya keraguan, kesalahan bahkan memberikan rasa aman kepada hati dari adanya  kesalahan dan keraguan tadi).  Banyak sekali cara yang ditempuh  oleh Al Qur’ân  dalam proses reasoning setiap kebenaran tasyri' yang disampaikannya. Kalau kita perhatikan, dalam proses itsbât wujûdi’Llâh misalnya, para teolog menggunakan metode yang beraneka ragam. Diantara metode tadi para teolog mengistilahkannya dengan  phsyco-theologique, teleological argument, ontological argument, cosmological argument atau yang lainya.  Phsyco-theologique mencoba menetapkan eksistensi Tuhan  dengan memandang kepada adanya tatanan alam yang tersusun rapi ini bukan sebagai suatu yang ada  secara aksidental, akan tetapi mesti menuntut adanya Khaliq yang Maha Bijaksana. Kedua, teleological argument berupaya membuktikan adanya Tuhan  dengan pandangan bahwa alam ini ada karena sebuah tujuan  yaitu untuk mendeduksi adanya Tuhan. Ketiga, ontological argument yaitu  dengan adanya pengakuan  bahwa Tuhan itu memiliki karakteristik kesempurnaan yang mutlak maka setiap  yang maha sempurna  itulah  Tuhan.  Dan terakhir, cosmological argument yaitu  penetapan adanya Tuhan  dengan bukti adanya alam raya ini. Maka semua keindahan, keteraturan, keselarasan dan keharmonisan yang terdapat di alam ini mengharuskan  adanya  pengakuan terhadap adanya  Tuhan.1

Dari semua metode yang telah dipaparkan tadi hampir semuanya tersentuh oleh  Al Qur’ân. Bahkan istilah yang terakhir bisa kita dijadikan sebuah studi pendekatan dalam menggambarkan corak debat yang ditampilkan Al Qur’ân dalam menetapkan semua hukum dan kebenaran dari khabar- khabarnya. Oleh karena itu Al Qur’ân sering kali bersentuhan dengan aspek mahsûsât alam raya dalam proses reasoning.  Sehingga kalau kita perhatikan banyak sekali  ayat Al Qur’ân  yang merangsang manusia untuk  merenungi dan berpikir terhadap cakrawala alam raya dan  cakrawala yang ada didalam diri manusia itu sendiri dengan terlebih dahulu melemparkan sebuah pertanyaan-pertanyaan yang dialogis.

‘Alâ kulli hâl, merupakan sebuah kebanggaan kalau  sekarang  kita bisa bersama-sama berbincang sejenak tentang dialektika Al Qur’ân. mudah-mudahan bisa memberikan wawasan baru kepada kita tentang  salah satu keunikan dan keagungan kitab suci umat Islam ini.  

Hakikat Jadal

Pada hakikatnya jadal (baca: debat kusir) merupakan sifat yang dilarang oleh Allah bagi setiap Muslim. Tentu larangan itu tidak berlaku untuk semua jenis jadal, karena jadal yang dilarang oleh Islam adalah jadal yang akan menimbulkan perpecahan umat dan tidak menghasilkan suatu kebenaran. Abdullah bin Hasan ketika ditanya tentang jadal, dia menjawab : ”Aku tidak mau mengatakan sesuatu yang bisa merusak persaudaraan dan memutuskan ikatan yang telah kuat, karena apapun yang terjadi pada jadal setidaknya akan menyebabkan kekalahan, dan itulah yang bisa memutuskan hubungan antara seseorang”.

Tentu rasa takut di atas hanya berlaku pada jadal yang tidak didasari dengan hak. Makanya Allah SWT mengajarkan hamba-Nya Muhammad sebagai teladan bagi umatnya untuk melakukan jadal yang benar demi mencapai  suatu kebenaran,2  bahkan Allah tidak hanya memerintah Rasul  untuk melakukan jadal dengan cara yang baik tetapi Dia menganjurkannya untuk mengajak dan mengasihi mereka sehingga mereka tertarik dengan ajaran Islam yang dibawanya. Di sisi lain Allah melarang Rasul untuk melakukan jadal dengan Ahlulkitâb tentang kisah Ashâb Alkahfi kecuali dengan jadal yang hak dan tidak berlebihan, dan melakukannya hanya sebatas wahyu yang diturunkan Allah kepadanya.3  Jadal merupakan hal yang jelek apabila keluar dari aturannya, bahkan Allah melarang semua hamba-Nya untuk tidak melakukan jadal ketika melakukan ibadah haji,4 bahkan Dia menjanjikan pahala yang besar bagi umatnya yang menjauhi jadal ketika ibadah haji dengan dihapus dosanya seperti bersihnya seorang bayi yang baru lahir.5

Dari uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa jadal dalam Al Qur’ân tidak termasuk katagori  jadal yang dilarang Allah, karena bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan meyakinkan para pembangkang atas kebenaran Al Qur’ân dan hakikat risalah yang dibawa oleh Muhammad saw. Al Qur’ân tidak menginkari jadal dan tidak mempersempit bahasannya selama mempunyai sandaran yang benar, makanya sering sekali kita menemukan ayat jadal yang meminta kaum mubthilîn untuk mendatangkan hujjah yang memperkuat kebenaran mereka.6 Hal itu menunjukkan betapa besarnya penghargaan Islam terhadap akal manusia dan mengajaknya untuk menggunakannya dalam memikirkan urusan kehidupan dunia dan menetapkan kebebasan pendapat selama jadal itu berlandaskan kepada burhan dan hujjah yang benar.
Tentang Jadal Al Qur’ân, Sayyid Quthub berkata: “Diantara sebagian uslub Al Qur’ân adalah jadal, yang digunakan untuk menghadapi kaum yang membangkang dan angkuh dengan memasukan hujjah supaya tembus kepada akal mereka lewat jalan hati, kepada hati dengan lewat fitrah dan kepada fitrah mereka lewat panca indra.7

Dengan demikian, jadal dalam Al Qur’ân merupakan cara untuk mengalahkan musuh atas kebenaran apa yang dibawa Nabi Muhammad. Jadal merupakan seni tahaddi dalam Al Qur’ân dan merupakan penjelasan berupa gambaran yang diakui oleh ulama’ bayan dan Jadal-pun merupakan sebaik-baiknya rujukan dalam ilmu  Âdâbul Bahtsi wa Munâdharah.

Imam Al-Syatibi berkata: “Al Qur’ân telah berhujjah kepada kaum kafir dengan meng-gunakan‘umûmiyât ‘ aqliyah dan sesuatu  yang telah disepakti, seperti Firman Allah :
قل لمن الارض ومن فيها ان كنتم تعلمون . سيقولون لله قل فأنى تسحرون (المؤمنون : 88-89 )
Al Qur’ân berhujjah kepada mereka dengan menetapkan bahwa apa yang ada di muka bumi ini milik Allah secara umum”.8

Definisi


Secara etimologis jadal bisa berarti : kekuatan, kekerasan dan ketegasan. Dikatakan :            جدل الشىء yang berarti kuat, جدل خصمه    berarti menantang musuhnya untuk berdiskusi.9
Jadi jadal merupakan jenis permusuhan dan saling mengalahkan dengan menggunakan hujjah yang terjadi antara dua orang dalam suatu permasalahan yang tidak sama dan salah seorang dari keduanya berusaha untuk saling mengalahkan dan ingin menang dengan menggunakan berbagai macam dalil untuk meyakinkan musuhnya.

Dalam kitab Mu'jam Falsafî,10 kata jadala diartikan sebagai:
1. Sebuah metode diskusi yang berlandaskan kepada dialog  dan tanya jawab.
 2. Metode analisa logis terhadap sesuatu sebagai sebuah sintesa (tarkib)  yang bisa menjadi          prinsip faktual yang bisa diterima.
3. Analogi yang tersusun dari beberapa premis atau postulat.

Sedangkan  Manna‘ Khalîl Al Qaththân 11  mendefiniskan lafad Al Jadal dan Al Jidâl sebagai sebuah dialog yang mempunyai tendensi untuk memotong dan mengalahkan musuh sehingga setiap pendebat tadi mempunyai kehendak untuk menggugurkan  argumen lawannya masing-masing, oleh karenanya definisi yang  ditawarkan  Al Qaththân tadi cenderung melihatnya dari sisi psikologis  dan target dari setiap pendebat. Selanjutnya Al Qaththân menafsirkan ayat  وكا ن الانسان أكثر شىء جدلا  (الكهف :54)    bahwa manusia memiliki karakter senang pertentangan dan permusuhan (al-khushûmah wa al-munâza'ah) begitu pula dalam sebuah hadits Rasûlullâh SAW.pernah menyuruh shahabat untuk mendebat  orang-orang musyrik dan ahli kitab dengan cara yang baik sehingga bisa melembutkan hati-hati mereka, karena tujuan yang sebenarnya dari debat itu sendiri adalah memberitahukan sebuah kebenaran dengan dilandasi argumen yang kuat dan yakin. Dan inilah corak debat yang didengungkan Al Qur’ân dalam memberikan petunjuk kepada orang-orang kafir.

Metode Diskusi Al Qur’ân

Kalaulah para anbiya’ terdahulu menuntut umat mengimani risalahnya dengan mematikan dan ‘melumpuhkan’ fungsi akal mereka dengan mukjizat hissiyyât seperti tongkat menjadi ular, menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta dan lain sebagainya, maka Al Qur’ân sebagai mukjizat 'udhmâ Nabi kita  hadir kepada manusia dengan mengajak berdialog setiap akal mereka, mengajaknya berkomunikasi dan memikirkan semua tasyri‘ yang disuguhkan sekaligus melampirkan sejumlah argumen yang disajikan dengan cara yang sangat memukau, jelas dan terang.

Selain mampu menggugurkan setiap argumentasi mu'ânidîn, ia pun dengan kesederhanaan bahasanya  bisa dipahami semua orang baik terpelajar maupun awam. Tidak seperti metode debat yang biasa digunakan  oleh para mutakallimin yang kerap menggunakan istilah-istilah khusus  baik dalam premis, postulat dan konklusi yang digunakannya.12 Karena Al Qur’ân itu sendiri datang;
pertama: dengan menggunakan bahasa arab  yang  jelas, mengkhithab mereka sesuai dengan pengetahuan dan kapasitas keilmuan yang ada.
Kedua: proses reasoning  yang  disuguhkannya berlandaskan kepada  fitrah yang ada dalam setiap diri manusia—tanpa memerlukan pendalaman pemikiran—sehingga akan lebih mudah diterima dan memiliki efek yang sangat kuat  di dalam setiap hati mereka disamping ia sendiri sebagai hujjah yang paling agung.
Ketiga: kalam yang disajikannya benar-benar jelas, sehingga mudah dicerna tidak hanya oleh kalangan khas akan tetapi ia pun bisa dicerna oleh orang-orang awam.

Mengenai hal diatas Ibnu Taimiyah dalam kitabnya "ar-Raddu 'alâ al-Manthiqiyyîn" berkata: "Dalil-dalil analogi yang dikemukakan para ahli debat, yang mereka namakan 'bukti-bukti’ (Barâhin) untuk menetapkan adanya Tuhan, sang Pencipta, Yang Mahasuci dan Mahatinggi itu, sedikitpun tidak dapat menunjukan esensi Zat-Nya. tetapi hanya menunjukkan sesuatu yang mutlak dan universal yang konsepnya itu sendiri tidak bebas dari kemusyrikan ! Sebab jika kita mengatakan, 'Ini adalah muhdats dan setiap yang muhdats pasti mempunyai muhdits ; atau 'ini adalah sesuatu yang mumkin dan setiap yang mungkin harus mempunyai yang wajib' , pernyataan seperti ini hanya menunjukan muhdits mutlak atau wajib mutlak… Konsepnya tidak bebas dari kemusyrikan"…Selanjutnya ia mengatakan: "Argumentasi mereka ini tidak menunjuk kepada sesuatu tertentu secara pasti dan spesifik, tidak menunjukan wajibul wujud atau yang lain. Tetapi ia hanya menunjuk kepada sesuatu yang kulliy, padahal sesuatu yang kulliy itu konsepnya tidak terlepas dari kemusyrikan. Sedang Wâjibu’lwujud, pengetahuan mengenainya, dapat menghindarkan dari kemusyrikan. Dan barang siapa tidak mempunyai konsep tentang sesuatu yang bebas dari kemusyrikan, maka ia belum berarti telah mengenal Allah…"Ini berbeda dengan ayat-ayat yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, seperti dalam surat al-Baqarah:164, al-Isra: 12 dan lain-lain. Ayat-ayat tersebut menunjukkan esensi Pencipta Yang Tunggal, Allah SWT tanpa serikat antara Dia dengan yang lain. Segala sesuatu selain Dia selalu membutuhkan Dia, karena itu eksistensi segala sesuatu itu menuntut secara pasti eksistensi Pencipta itu sendiri".13

 

 

Uslub-uslub Jadal dalam Al Qur’ân


Apabila kita meneliti uslub Al Qur’ân dalam jadal, maka banyak sekali uslub yang digunakan oleh Al Qur’ân. Hal itu dengan tujuan bagaimana supaya Al Qur’ân itu bisa meyakinkan orang atas kebenaran isi yang terkandung dalam  Al Qur’ân.

Secara global uslub yang digunakan Al Qur’ân dalam jadal adalah sebagai berikut :
1. Menggunakan Taukid (penegasan), dimana taukid menurut ahli sosiolog dan psikolog    akan menghindari dari persengketaan musuh, karena kekuatannya terhadap jiwa sangat kuat sesuai ukuran orang yang mengatakannya dan alunan lafal taukid pada pendengaran.
2. Menggunakan uslub tahdid dan wa’id (ancaman), seperti pada surat Al-Isra’ ayat 59.
 3. Menggunakan uslub tikrâr dengan tujuan untuk menghadirkan ibrah pada hati dan tidak mudah cepat terlupakan, seperti diungkapkan psikiater “Semakin banyak pengulangan, maka akan bertambah melekat dan yakin dalam hati”.
4. Menggunakan uslub amtsâl (perumpamaan), dengan menyamakan sesuatu supaya cepat dipahami oleh orang yang menentang. Contoh dalam surat Al-Jum’ah :5.
5. Al Qur’ân dalam jadal kadang-kadang cenderung untuk menarik perasaan gharizah manusia supaya lebih melekat kepada perasaannya, di antaranya insting tadayyun yang berlandaskan rasa kagum, takut dan kemuliaan kepada Tuhan. Seperti dalam surat Maryam : 88-95.
6. Uslub Al Qur’ân dalam jadal sering juga menggunakan tanya jawab atas suatu hal untuk mendapat keyakinan mana yang benar, seperti berhujjahnya Nabi Ibrahim kepada kaumnya bahwa bintang, bulan dan matahari itu bukan sesembahan hakiki. (QS. Al-An’am: 75-79).14

Macam-macam Perdebatan dalam Qur’ân dan Dalilnya

Pertama, Menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan penelitian dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar akidah, seperti ke-Tauhid-an Allah dalam uluhiyah-Nya dan keimanan kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasulNya dan hari kemudian. Perdebatan ini banyak diungkap dalam Al Qur’ân seperti  dalam Surat Al-Baqarah 21-22 dan 163-164.

Kedua, Membantah pendapat para penantang dan lawan, serta mematahkan argumentasi mereka. Perdebatan ini mempunyai beberapa bentuk :
a.        Membungkam lawan bicara dengan mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang telah diakui dan diterima baik oleh akal, agar ia mengakui apa yang tadinya diingkari, seperti menggunakan dalil dengan makhluk untuk menetapkan adanya Khalik. Misalnya ayat 35-43 surat at-Tur.
b.       Mengambil dalil dengan mabda’ untuk menetapkan ma‘âd, misalnya ayat 5-6 surat at-Thariq, Fusshilat ayat 39 dll.
c.        Membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan kebalikannya, seperti ayat 91 dalam surat al-An’âm yang merupakan bantahan terhadap pendirian orang Yahudi yang mengatakan bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu kepada manusia.
d.       Menghimpun dan merinci (as-sabr wat taqsim), yakni menghimpun beberapa sifat dan menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut bukanlah ‘illat alasan hukum. Seperti ayat 143-144 surat al-An’am.
e.        Membungkam lawan  dan mematahkan hujjahnya dengan menjelaskan bahwa pendapat yang dikemukakannya itu menimbulkan suatu pendapat yang tidak diakui oleh siapa pun, misalnya ayat 100-101 surat al-An’am. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak mempunyai anak, hal ini karena proses kelahiran anak  tidak mungkin terjadi dari sesuatu yang satu. Proses tersebut hanya bisa terjadi dari dua pihak. Padahal Allah tidak mempunyai istri.15 Masih banyak lagi macam-macam jadal dalam Al Qur’ân, karena jadal dalam Al Qur’ân bukan hanya dengan satu kelompok saja tetapi terjadi dengan empat kelompok, yaitu kaum musyrik, Yahudi, Nasrani dan kaum munafiq.16

Demikianlah beberapa macam contoh jadal dalam Al Qur’ân yang tujuan akhirnya untuk menolak dan mengajak musuh kepada kebenaran dengan cara yang mereka fahami, karena mengajak musuh dengan cara yang tidak diketahui termasuk katagori taklîf bimâ lâ yuthâq. Makanya pemecahan hal yang diperselisihkan harus dikembalikan dengan dasar Al Qur’ân dan Sunnah yang merupakan sumber penetapan hukum yang telah disepakati.17

Penutup


Demikianlah kajian singkat pembahasan jadal Al Qur’ân, dimana sumber-sumber yang membahas ilmu ini sedikit sekali ditemukan, dan semoga tulisan ini menjadikan bahan untuk memperluas pemahaman kita terhadap ilmu jadal dalam Al Qur’ân.
            


* Tulisan dipresentasikan dalam acara diskusi FORDIAN, Ahad 25 Maret 2001
** Mahasiswa program pasca sarjana Jur. Tafsir universitas Al Azhar Kairo
(2)   QS Al-Ankabut : 46.
(7)   Lihat “At-TashwîrAl-Fannî Fi Al Qur’ân” karya  Sayyid Qutub.
(8)   Lihat “Al-Muwafaqat” jilid 5 hal 223.
(9)   Lihat “Ma’a Al Qur’ân Karim fi Dirasah Mustalhamah”, karya : Ali Najdi Nashif, Cairo: Dar al Maarif 1981 hal 37.
(11)  Lihat “Mabahits fi Ulum Al Qur’ân” hal 293.

(12)  Lihat “Mabahits fi Ulum Al Qur’ân” hal 294, dan “Al-Burhan” jilid 4 hal 52.
(14)  Dari berbagai sumber di antaranya, Al-Muwâfaqât jilid 4 hal 226, Al-Fann Al-Qashashi lil Qur’an (Muhammad Akhmad Kholfullah), Al-Manhaj Al-Bayâni fi Tafsir Al Qur’ân (DR. Kamil Ali Sa’fan) hal 419.





























(15)  Lihat Mabâhits fi Ulum Qur’an hal 299.
(16) Lihat “al-Fauzu al-Kabir fi Ushul  Tafsir” karya Imam Waliyullah Dahlawi, hal 33.