Minggu, 07 Agustus 2011

AL-QUR’AN - AL-SUNNAH



Mukaddimah
          Menurut petunjuk al-Qur’an, sunnah Nabi (baca: hadits) adalah sumber ajaran sIslam di samping al-Qur’an. Artinya, untuk mengetahui ajaran Islam secara benar, di samping diperlukan petunjuk al-Qur’an, juga diperlukan petunjuk Nabi saw.
            Dilihat dari wujud ajaran Islam itu sendiri, Rasulullah saw merupakan tokoh sentral yang sangat dibutuhkan. Bukan sekedar membawa risalah ilahiyyah dan menyampaikan ajaran Islam yang terkandung di dalamnya, lebih dari itu beliau sangat dibutuhkan sebagai satu-satunya tokoh yang mendapat kepercayaan Allah swt untuk menjelaskan maksud firman-firman–Nya dan memberi contoh pelaksanaan ajaran tersebut. Tanpa Rasulullah saw. ajaran Islam tidak akan sampai kepada kita. Dan tanpa penjelasan, perincian serta contoh pelaksanaannya, ajaran Islam tidak akan dapat diamalkan.
            Namun dari segi fungsi bayan muradillah tersebut, timbul persoalan : Apakah hadits hanya berfungsi untuk menegaskan atau memperkuat apa yang telah disebutkan oleh al-Qur’an (bayan ta’kid) tanpa otoritas sendiri. Atau apakah hadits juga berfungsi sebagai bayan tafsir yang mempunyai otoritas sendiri dalam menentukan hal-hal yang belum ditentukan oleh al-Qur’an?? Lalu berapa kadar penafsiran Nabi saw? Apakah beliau menafsirkan seluruh al-Qur’an atau hanya sebagian??
            Seputar masalah-masalah di atas, tulisan berikut ini disajikan. Semoga bisa dijadikan bahan diskusi bersama.

Pengertian Sunnah

            Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan sunnah, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidang garapannya masing-masing. Ulama hadits, karena melihat Nabi sebagai figur pemimpin yang sikap dan pebuatannya sangat ideal untuk menjadi suri tauladan, mendefinisikan sunnah dengan: segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat maupun sirah, sebelum bi’tsah atau sesudahnya. Adapun menurut Ulama ushul, yang melihat sunah sebagai landasan hukum di samping al-Qur’an, mendefinisikannya dengan: perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi yang dapat dijadikan sandaran hukum. Sedangkan menurt Ahli fikih, sunnah adalah: setiap informasi mengenai Nabi yang tidak menyangkut beban fardhu atau wajib.
            Kata Sunnah oleh sebagian ulama -semisal Imam Abu Ishaq al-Syathibiy- juga digunakan untuk perbuatan sahabat. Misalnya, sunnah sahabat dalam pengkodifikasian al-Qur’an, penambahan adzan dalam sholat Jumat, dan lain-lain.
            Di samping sunnah, terdapat pula istilah: hadits, khabar dan atsar. Namun karena istilah khabar dan atsar kurang populer penggunaannya, maka di sini penulis hanya memberi definisi hadits. Ulama hadits menyamakan pengertian hadits dengan sunnah. Namun terkadang istilah hadits dimaksudkan untuk: perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sesudah bi’tsah. Karenanya istilah sunnah lebih umum daripada hadits. Adapun menurut Ulama ushul, hadits adalah sunnah qauliyyah saja.[1]

* Makalah disampaikan pada acara Diskusi Musim Panas Forum Studi al-Qur’an (FORDIAN), di auditorium International Islamic Mission City, Bld.32, pada hari Kamis, 6 September 2001.
** Peminat studi-studi hadits ; aktif di Kajian KeIslaman EL-SHOHWAH dan di Forum Telaah Intensif Ilmu-ilmu Hadits (FATIHA) sebagai ketua.
Sunnah Sebagai Wahyu; Dan Kewajiban Mentaatinya
            Sunnah merupakan wahyu dari Allah swt di samping al-Qur’an. Hal ini dibuktikan dengan lisensi Allah swt dan Rasul-Nya. Di antara lisensi Allah tersebut adalah firman-Nya:
1-      “Dan Allah telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu, dan telahmengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. (Qs. Al-Nisa’: 113).
2-       “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Qs. Ali Imran: 164)
          Lalu apabila kita menengok hadits Nabi, maka kita akan menemukan banyak dalil tentang kewahyuan sunnah dengan pelbagai bentuk redaksi. Kadang berbentuk penjelasan bahwa sunnah adalah wahyu, kadang berbentuk pengakuan bahwa Jibril as mendatangi beliau lalu memberi kabar sesuatu hal dan bentuk-bentuk lain. Misalnya, hadits Nabi: “Sesungguhnya diwahyukan kepadaku al-Kitab dan sejenisnya”. Dalam riwayat lain: “Allah memberi kepadaku Kitab dan Hikmah, sejenisnya”. (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Khotib).[2]
            Sebagian ulama memberi istilah untuk hadits Nabi dengan wahyu ghair al-matluw, sebagai imbangan terhadap istilah untuk al-Qur’an yang disebut dengan wahyu matluw. Imam al-Khotthobiy, ketika mengomentari hadits di atas menyatakan bahwa ia mengandung dua kemungkinan arti; pertama: Nabi diberikan wahyu bathin ghair al-matluw sebagaimana diberikan wahyu zhahir matluw. Kedua: beliau diberi Kitab (wahyu matluw) dan Bayan. Artinya, beliau diberi hak untuk menjelaskan isi kandungan Kitab. Maka dalam kewajiban mengaplikasikan dan menerimanya, ia seperti wahyu matluw (al-Qur’an).[3]
            Pendapat ini memang mengundang masalah, sebab dengan menyatakan bahwa seluruh hadits nabi sebagai wahyu, maka berarti semua jenis hadits atau apa saja yang disandarkan kepada Nabi -sebagaimana pengertian hadits menurut ulama hadits- adalah wahyu. Kalau begitu apakah warna rambut dan jenis pakaian Nabi adalah wahyu juga ??.
            Terlepas dari tepat atau tidaknya istilah tersebut, yang pasti bahwa Allah swt telah memberi kedudukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai Rasul dengan fungsi dan atau tugas antara lain, untuk:
a)        Menjelaskan al-Qur’an (Qs. Al-Nahl:44).
b)        Menjadi uswah hasanah (Qs. Al-Ahzab:21).
c)        Menjadi rahmat sekalian alam (Qs. Al-Anbiya’:103).
d)        Dipatuhi orang-orang beriman (Qs.Ali Imran:32 ; Qs. Al-Nisa’:80).
            Dalam pada itu, beliau juga adalah manusia (Qs. Al-Kahfi:110 ; Qs.Fushilat:6)-namun merupakan manusia agung termulia secara mutlak-, seorang suami, ayah, anggota keluarga, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim dan juga seorang kepala negara.[4] Di samping itu ada pula hal-hal khusus yang oleh Allah swt hanya diperuntukkan bagi Nabi saw sendiri dan tidak untuk umat beliau, misalnya berpoligami lebih dari empat orang istri.
            Dengan melihat berbagai kapasitas yang melekat pada diri Nabi, maka sebagian ulama ada yang mengklasifikasikan hadits kepada yang berkaitan dengan syari’ah (sunnah tasyri’iyyah) dan yang tidak berkaitan dengan syari’ah (sunnah ghair tasyri’iyyah); yang berlaku bagi umat beliau dan yang khusus bagi Nabi saja.[5]
            Kalau kita amati, perintah taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an (yang sharih pakai kata athi’u) dikemukakan dengan dua redaksi berbeda; pertama: Athi’u Allah wa al-Rasul (Qs.Ali Imran:32&132 ; al-Nisa’:13&69). Kedua: Athi’u Allah wa Athi’u al-Rasul (Qs. Al-Nisa’:59 ; Muhammad:33 ; al-Taghabun:12). Perintah pertama adalah kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan al-Qur’an atau menunjukkan bahwa taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karenanya redaksi mencukupkan sekali penggunaan kata Athi’u. Adapun perintah kedua adalah kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh al-Qur’an. Oleh karena itu dalam redaksi kedua, kata Athi’u diulang dua kali. Atas dasar ini pula, perintah taat kepada ulil amri tidak dibarengi dengan kata Athi’u, karena ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri, melainkan bersyarat selarasnya perintah mereka dengan syari’at Allah swt dan Rasul-Nya.
            Hal ini di samping ayat-ayat yang memerintahkan untuk senantiasa mengikuti beliau (Qs.Ali Imran:31 ; al-A’raf:158 ; al-Ahzab:21 ; al-Anfal:24), mengancam berpaling dari beliau (Qs.al-Nisa’:65 ; al-Nur:63 ; al-Ahzab:36) dan menjelaskan keagungan eksistensi beliau (Qs.al-Anbiya’:107 ; al-Maidah:15,16 ; al-Syura:52,53).[6]

Korelasi Sunnah dengan al-Qur’an

            Berbicara tentang hubungan sunnah dengan al-Qur’an, berarti berbicara tentang dua macam wahyu yang pada hakekatnya berasal dari sumber yang satu. Sunnah Nabi (baca: hadits) adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama mengandung pokok-pokok ajaran secara global (mujmal), absolut (mutlak), dan universal (’am). Dengan kapasitasnya sebagai UUD, al-Qur’an membutuhkan UU untuk menjelaskan (tabyin), menginterpretasikan (tafsir), merinci (tafshil) dan melaksanakan (tanfidz)nya. Dan yang menjalankan tugas dan fungsi UU dalam semantik hukum Islam adalah sunnah atau hadits.
            Namun berbeda dengan al-Qur’an yang seluruh ayatnya dipindahkan secara mutawatir dari generasi ke generasi mulai zaman Rasulullah saw hingga sekarang, sehingga menjadikannya Qath’I al-Wurud, hadits pada umumnya disampaikan secara ahad dan penyampaian maupun penerimaannya lebih banyak dalam bentuk lesan daripada tulisan. Atas dasar ini kedudukan hadits dari segi otentisitasnya secara global menjadi Zhanni al-Wurud. Hal ini bukan berarti ada keraguan atas keabsahan hadits, karena adanya sekian banyak faktor, baik dari diri Nabi, maupun para sahabat, di samping kondisi sosial masyarakat saat itu yang saling topang-menopang, sehingga menjadikan generasi berikutnya merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadits-hadits Nabi tersebut.
            Maka dalam pengambilan suatu hukum, kita harus menengok al-Qur’an terlebih dahulu, baru selanjutnya melihat hadits sebagaimana hadits Mu’adz b. Jabal ra[7] dan praktek Khulafa’ al-Rasyidin. Namun hal ini hanya dalam hukum-hukum yang jelas dilalah nya dalam al-Qur’an. Misalnya: hak waris suami-istri (Qs. Al-Nisa’:12), ‘iddah talak bagi perempuan yang tidak haidh lagi (monopause), yang belum haidh dan yang haidh ( Qs. Al-Thalaq:4), ‘iddah istri yang ditinggal wafat suaminya sedangkan ia tidak haidh (Qs. Al-Baqarah:234) dan lain-lain. Adapun selain itu, sandaran utama hukum adalah sunnah yang merupakan penjelas dan perinci hukum-hukum al-Qur’an. Seperti: hak waris nenek, dan lain-lain.
            Tentang hubungan Sunnah dengan al-Qur’an, dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam: [8]
1- Sebagai Penguat al-Qur’an, tanpa ada tambahan baik berupa rincian maupun  penjelasan. Misalnya: hadits tentang birrul walidain, silaturrahim, memuliakan tetangga, dan sebagainya.
2- Sebagai Penjelas (mubayyin) isi kandungan al-Qur’an. Termasuk katagori kedua ini   adalah:
a)      Merinci yang global (tafshil al-mujmal).
Misalnya: hadits-hadits tentang perincian ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain.
b)      Mentakhshish yang umum ( tahshish al-‘am).
Sebagai contoh: hadits yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan zhulm dalam Qs.al-An’am:82 adalah syirik (HR. Bukhori)
       c)  Membatasi yang mutlak (taqyid al-muthlaq).
           Misalnya: pembatasan wasiat dalam Qs.al-Baqarah: 180, dengan batas maksimum
           Sepertiga.
3-  Sebagai ‘Pembuat Hukum’ yang tidak disinggung oleh al-Qur’an.
     Seperti: kewajiban mengqadha puasa bagi wanita haidh; larangan memadu istri dengan bibinya; hak waris nenek; larangan perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki; dan lain-lain.
            Bagian ketiga ini tidak bertentangan dengan al-Qur’an sama sekali-sebagaimana penjelasan Imam Ibnu al-Qoyyim. Ia adalah hukum Nabi yang wajib ditaati. Dan ini bukan berarti mendahulukan sunnah dari al-Qur’an, tetapi merupakan aplikasi dan implementasi perintah Allah swt untuk mentaati Rasul-Nya. Apabila Rasulullah saw tidak ditaati dalam bagian ini, maka ketaatan kepada beliau tidak ada artinya. Dan apabila beliau tidak wajib ditaati kecuali dalam hal-hal yang disebut secara eksplisit oleh al-Qur’an, maka tidak ada lagi ‘ketaatan khusus’ bagi Rasul saw, sedangkan Allah swt berfirman: ”Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” (Qs.al-Nisa’:80).
            Selagi al-Qur’an mewajibkan taat kepada Rasul dan menerima segala khabar dan keputusan beliau serta petunjuk sunnah bahwa syari’at terdiri dari dua sumber pokok, yaitu: al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak dibenarkan pertanyaan sebagian orang Bagaimana mungkin Sunnah datang dengan hal baru? Bahkan intervensi dalam penetapan hukum?? Adapun pertanyaan yang benar adalah: Manakah hal baru dalam Sunnah yang wajib kita laksanakan, sehingga kita telah mengaplikasikan ayat-ayat yang memerintahkan taat kepada Rasulullah saw ??
            Sebagian ulama -semisal Imam al-Syathibi- melihat bagian ketiga ini bukan sebagai independensi sunnah dalan tasyri’. Mereka berpendapat bahwa semua makna yang dikandung oleh sunnah telah disinggung oleh al-Qur’an, baik secara global maupun terperinci, yaitu dengan meninjau kapasitas sunnah sebagai bayan. Kalau Allah swt menjadikan al-Qur’an sebagai penjelas bagi segala sesuatu, maka secara otomatis sunnah masuk di dalamnya. Hal ini dengan menganalogikan dengan nash atau memasukkan dalam kaedah umum syara’. Sebagai contoh: larangan memadu istri dengan bibinya adalah tidak lebih dari menganalogikannya dengan larangan memadu antara dua saudara kandung ; hak waris nenek ketika tidak ada ibu, tiada lain adalah menganalogikan nenek dengan ibu ; dan sebagainya.
            ‘Ala kulli haal, semua sepakat bahwa sunnah mempunyai hak untuk menghalalkan atau mengharamkan, mewajibkan atau menggugurkan kewajiban tersebut, baik hal tersebut dinamakan independensi sunnah dalam tasyri’ ataupun tidak.[9]

Kadar Penafsiran Nabi
            Allah swt mengutus Rasul-Nya untuk memberi peringatan kepada umat manusia (Qs.al-Mudattsir: 1-3). Dan al-Qur’an adalah inti risalah yang harus disampaikan kepada mereka. Namun tugas Nabi tidak hanya terbatas dalam penyampaian teks al-Qur’an, namun juga menjelaskan makna yang memerlukan penjelasan. Taklif ini nampak jelas dalam dua dimensi:
1-      Al-Qur’an menekankan bahwa tugas Rasul saw berfungsi untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah swt (Qs.al-Nahl:44).
2-      Menyiapkan pribadi Nabi saw untuk melaksanakan tugas tersebut dengan mengajarinya apa yang seharusnya dijelaskan kepada umat beliau. Dalam hal ini Allah swt sendiri yang “turun tangan” untuk mengajari beliau.(Qs.al-Qiyamah:16-19).
           Menurut Imam Fakhr al-Razi, ayat ini menunjukkan bahwa Nabi dilarang oleh Allah swt menirukan bacaan Jibril as kalimat demi kalimat, sebelum Jibril as selesai membacakannya dan dilaarng bertanya di tengah –tengah bacaan agar dapat Nabi saw menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu. Dan Qs.al-Qiyamah:19, menurut Imam Abu al-Su’ud, Imam al-Syaukani dan Imam al-Alusi menunjukkan jaminan Allah swt dalam menjelaskan makna-makna dan hukum-hukum al-Qur’an yang musykil.[10] Hal ini menguatkan pendapat bahwa tugas Nabi saw atas al-Qur’an adalah menyampaikan teksnya dan menjelaskan maknanya.
             Namun akan timbul pertanyaan: Apakah Nabi menafsirkan seluruh al-Qur’an? Ataukah hanya sebagian yang ditafsirkan oleh beliau??. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
            Kelompok Pertama; berpendapat bahwa Rasululah menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an. Kelompok ini memaparkan beberapa argumen[11], antara lain:
1-      Perintah Allah swt kepada Nabi untuk menjelaskan wahyu yang diturunkan secara mutlak (Qs.al-Nahl:44). Bayaan atau penjelasan dalam ayat ini, sebagaimana mencakup penjelasan teks al-Qur’an, juga mencakup penjelasan maknanya. Nabi saw telah menjelaskn semua teks al-Qur;an, maka secara otomatis beliau juga menjelaskan semua makna al-Qur’an.
2-      Perkataan Utsman b.’Affan ra dan Ibnu Mas’ud ra bahwa para sahabat Nabi dalam setiap sepuluh ayat tidak akan menambah hafalan, kecuali setelah mengetahui hukum dan ilmu yang terkandung di dalamnya serta  mengamalkannya
3-  Perintah mentadabburi al-Qur’an (Qs.al-Shad:29).
    Dan mentadabburi sesuatu  tidak mungkin terjadi tanpa memahami maknanya.
4- Menurut hukum konvensional seseorang yang membaca suatu kitab pasti meminta  penjelasan.[12]
          Adapun Kelompok Kedua; berpendapat bahwa Rasulullah saw menafsirkan sebagian dari al-Qur’an. Argumen kelompok ini, antara lain:
1-      Tidak adanya nash sharih yang berisi perintah agar Nabi menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an.
2-      Ayat–ayat muhkamat dalam al-Qur’an sudah jelas dan tidak membutuhkan penjelasan lagi.
3-      Firman Allah swt dalam al-Qur’an, Surah al-Nahl:64.
      Ayat ini menunjukkan bahwa penjelasan Nabi saw adalah untuk ayat-ayat yang diperselisihkan oleh para sahabat. Artinya, Nabi tidak menjelaskan ayat-ayat yang telah disepakati maknanya oleh para sahabat.
4-  Do’a Nabi saw untuk Abdullah b. Abbas ra.
      Apabila Nabi telah menerangkan semua makna yang dikandung oleh al-Qur’an, maka pengkhususan do’a tersebut tidak ada faedahnya. Dan jikalau beliau telah menjelaskan seluruh makna al-Qur’an, niscaya semua sahabat sama dalam pengetahuan tentang ta’wil makna tersebut.
5-  Pebedaan pendapat para sahabat dan tabi’in seputar arti atau tafsir sebagian ayat al-Qur’an. Apabila penjelasan Rasul meliputi seluruh al-Qur’an, niscaya perbedaan tersebut tidak akan terjadi. 
           Kelompok ini kemudian berbeda pendapat: Apakah yang dijelaskan Nabi tersebut sebagian besar dari keseluruhan al-Qur’an atau hanya sebagian kecil saja??!
         Golongan yang mengatakan bahwa penjelasan Nabi atas makna al-Qur’an hanya sebagian kecil saja, sesungguhnya mendasarkan pendapat mereka kepada: a) Perkataan Imam Ahmad bahwasanya ada tiga macam perkara yang tidak mempunyai sanad, yaitu: tafsir, malahim dan maghazi, b) Realita bahwasanya penafsiarn yang ma’tsur dari Rasul sangat sedikit apabila dibandingkan dengan al-Qur’an secara keseluruhan, sebagaimana perkataan Imam al-Suyuthi.
           Adapun golongan yang mengatakan bahwa Nabi menjelaskan sebagian besar makna al-Qur’an, sesungguhnya mendasarkan pendapatnya kepada: a) Perkataan Imam al-Zarkasyi, ketika mengomentari perkataan Imam Ahmad bahwasanya yang dimaksud adalah secara umum. Karena banyak riwayat shahih dalam penafsiran tersebut; b) Keterangan al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa Kitab Tafsir Shahih Bukhori memuat 548 hadits, yang sanadnya muttashil sebanyak 465 hadits dan lainnya mu’allaq ( hadits yang dari awal sanadnya dibuang satu rawi atau lebih. Misalnya: perkataan Imam Bukhori:”Mujahid berkata…..”).[13]
            Setelah memaparkan pendapat para ulama tentang kadar penafsiran Nabi saw, penulis ingn memberi beberapa catatan:
Pertama: Penulis bisa mengatakan bahwa ulama sepakat dalam dua hal:
1.      Sesuatu yang sudah jelas maksud dan keberadaannya tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena hal tersebut termasuk katagori tahshil al-hashil. Dan ini tidak layak untuk maqam Rasululah saw.
2.      Tidak semua isi al-Qur’an masuk katagori musykil yang membutuhkan penjelsan. Karena jikalau semuanya musykil, maka para sahabat pasti menanyakan semua makna al-Qur’an kepada Nabi dan jawaban Nabi  pasti sampai kepada kita karena urgennya hal tersebut. Ini diperkuat oleh realita bahwasanya penafsiran Nabi yang terekam dalam kitab-kitab hadits yang shahih hanya memuat sebagian al-Qur’an.

Kedua: Perbedaan ulama dalam menjelaskan sedikit banyaknya kadar penafsiran Nabi (pendapat kedua), menurut hemat penulis tidak akan mempunyai pengaruh yang berarti. ‘Ala kulli haal, semuanya bisa dibuktikan dengan merujuk kitab-kitab hadits shahih yang memuat tema tersebut.

Ketiga:  Buah atau hasil dari pembahasan ini adalah pengetahuan kita bahwasanya sebagian makna al-Qur’an dalam pemahaman dan penafsirannya kembali kepada ijtihad para ulama. Dan ini secara detail dan komprehensif dijelaskan dalam pembahasan Tafsir bi al-Ra’yi. 

Khatimah  
          Sebagai penutup penulis ingin menegaskan sekali lagi bahwasanya antara al-Qur’an dan al-Sunnah ada korelasi kuat, yaitu hubungan mubayyin atau bayaan dengan mubayyan. Ini menunjukkan bahwa fungsi dan posisi Sunnah dalam penafsiran al-Qur’an sangat signifikan, sehingga dalam menafsirkan al-Qur’an kita tidak dapat meninggalkan petunjuk-petunjuk Nabi saw. Wallahu A’la wa A’lam.



Catatan Kaki:

[1]Abu Ishaq al-Syathibi, al-Imam, “al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah”, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, Juz.IV, h. 3-5;  Abu Hasan al-Amidiy, al-Imam, “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam”, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, Jilid I, h. 145 ;  M. Abu Zahwu, DR., “al-Hadits wa al-Muhadditsun”, al-Maktabah al-Taufiqiyah, Cairo, h. 9,10  ;  Abdul Muhdi Abdul Qodir, DR., “ al-Madkhol ila al-Sunnah al-Nabawiyyah”, Dar al-I’thishom, 1409 H/1998 M, h.22 & 33,34  ;  Yusuf al-Qordhowi, DR., “ al-Maddkhol li Dirosah al-Sunnah al-Nabawiyyah”, Maktabah al-Wahbah, Cairo, cet.IV, 1419 H/1998 M, h. 12  ; M. Ajjaj al-Khothib, DR., “ al-Sunnah Qobl al-Tadwin”, Dar al-Fikr, Beirut, cet.V, 1401 H/1981 M, h. 14-22.

[2]Ibid. (Abdul Muhdi), h.47 dan seterusnya.
[3]M. Abu Syuhbah,DR., “al-Isra’iliyyat wa al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir”, Maktabah al-Sunnah, Cairo. Cet.IV, 1408 H, h.45,46.

[4]M.S. Ramadhan al-Buthi, DR., “Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah”, Dar al-Salam, Cairo, h.18.
[5]al-Amidiy, op.cit. h. 148-167.
[6]Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah, al-Imam, “I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin”, Dar al-Hadits, Cairo, cet.I, 1414 H/1993 M, Jilid.I, h. 18,19 ;  Abdul Muhdi, op.cit. h.77-97 dan 131.
[7]Imam  Ibnu Katsir mengomentari hadits tersebut seraya berkata: “Hadits ini ada dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad dengan sanad bagus”. Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi status hadits ini. Sebagian mengatakan shahih, ada yang mengatakan hasan dan ada pula yang mengatakan dha’if. Termasuk yang memberi satus shahih adalah Imam Ibnu al-Qoyyim dalam I’lam-nya. Lihat. M.Abu Syuhbah, op.cit. h.46.

[8]Ulama tidak sepakat  dalam standar pembagian tersebut (angka tiga).Ada yang membagi menjadi tiga, lima, bahkan tiga belas. Namun apabila diteliti secara seksama, semuanya akan kembali pada angka tiga tersebut.

[9]Lihat keterangan yang saling melengkapi: M. Husein al-Dzahabi, DR., “al-Tafsir wa al-Mufassirun”, Maktabah al-Wahbah, Cairo, cet,III, 14211 H/2000 M, Jilid.I, h. 43-45 ;  Mushthafa al-Siba’I, Syeikh, “al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami”, al-Maktab al-Islami, h. 281-285 ;  Ibrahim Abdurrahman Khalifah, DR., “Dirasat fi Manahij al-Mufassirin”, h. 237-243 ;  al-Syathibi, op.cit. h. 9,10  ;  Ibnu al-Qoyyim, op.cit. h. 263 ;  M. Abu Zahwu, op.cit. h.37-45 ;  al-Qordhowi, op.cit. h. 69-71 ;  Abdul Muhdi, op.cit. h. 135-148.
[10]M. Sayyid Jibril, DR., “Madkhol ila Manahij al-Mufassirin”, 1419 H/1999 M, h. 21-23.

[11]Sebagian ulama, semisal Imam al-Suyuthi (Itqon: II/352-356) dan Prof.DR. al-Dzahabi (al-Tafsir wa al-Mufassirun: I/39,40), memaparkan argumen kelompok pertama dengan bertendensi kepada perkataan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiah dalam Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir-nya: “Harus diketahui bahwasanya Nabi saw menjelaskan makna-makna al-Qur’an kepada para sahabat, sebagaimana menjelaskan kepada mereka lafazhnya. Jadi firman Allah swt: “..agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”, mencakup ini dan ini”.(h. 9). Perkataan ini sepintas lalu menunjukkan bahwa Ibnu Taimiah berpendapat bahwa Rasulullah saw menerangkan semua makna al-Qur’an. Namun apabila kita melihat perkataan beliau dalam bab-bab selanjutnya pada kitab yang sama, lalu mengkompromikannya dengan perkataan beliau di atas, maka kita akan dapat menarik kesimpulan bahwa Syaikh al-Islam tidak berpendapat sebagaimana kelompok pertama, akan tetapi lebih condong kepada kelompok yang mengatakan bahwa Nabi saw menerangkan kepada sahabat sebagian besar makna al-Qur’an. Hal ini nampak jelas dalam perkataan beliau ketika ditanya tentang cara penafsiran yang terbaik, maka beliau menjawab bahwa cara terbaik adalah: Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, lalu Tafsir al-Qur’an bi al-Sunnah, kemudian Tafsir al-Qur’an bi Aqwal al-Shahabah. (h. 39,40).

[12]Al-Dzahabi, op.cit. h. 39,40 ;  M.S. Jibril, op.cit. h.31-33.
[13]Mengenai pendapat kelompok kedua dan terbaginya menjadi dua golongan, lihat. Badruddin al-Zarkasyi, al-Imam, “al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an”, al-Maktabah al-‘Ashriyyah, Beirut, Jilid.II, h. 156  ;  Ibnu Hajar al-‘Asqolani, al-Hafizh, “Fath al-Bari”, Dar al-Hadits, Cairo, cet.I, 1419 H/1998 M, Jilid.VIII, h.915-917 ;  Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hafizh, “al-Itqon fi ‘Ulum al-Qur’an”, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, Beirut, cet.I, 1421 H/2000 M, Jilid.II, h.356 ;  al-Dzahabi, op.cit. h. 40-42 ;  Abu Syuhbah, op.cit. h. 46,47 ;  Ibrahim Khalifah, op.cit. h. 223-236  ;  M.S. Jibril,op.cit. h. 33-35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar