TAFSIR AL QUR-AN MODERN


TAFSIR ALQURAN MODERN DI INDONESIA
Analisa terhadap Beberapa Karya Tafsir Quraish Shihab*

Oleh: Muchlis M. Hanafi**

 

Ada dua tipe manusia yang membuat seorang penulis kerepotan ketika akan menulis tentang ketokohannya; pertama, manusia yang sama sekali tidak ada yang dapat ditulis tentang dia; kedua, manusia yang sejarah hidupnya tidak ada putusnya untuk terus diungkap. Kerepotan ini akan semakin bertambah jika tokoh yang dibicarakan itu masih dalam suasana bergerak dan tumbuh dengan mobilitas yang begitu tinggi seperti Prof. Dr. Quraish Shihab. Apalagi untuk menyelami pemikirannya yang mengalir dengan deras.

Ibarat sebuah sungai yang mengalir deras, masing-masing kita tidak akan pernah dapat mengambil air yang sama dari sungai itu. Namun, karena yang terambil itu adalah air ‘juga’ yang dapat menyegarkan, maka penulis memberanikan diri ikut ambil bagian dalam seminar ini. Lagi pula penulis amat yakin, tidak ada resiko dan konsekuensi apa pun —sekalipun salah— sehubungan komentar yang diberikan kecuali pahala dari Allah swt. “Jika orang-orang buta saja, seperti dalam cerita, berani memberikan komentarnya masing-masing mengenai seekor gajah, mengapa kita yang mungkin ‘agak melek’ ini tidak berani berkomentar tentang pemikiran ‘gajah’ yang oleh banyak kalangan telah diakui sebagi ahli tafsir pertama di Asia Tenggara,” demikian tulis Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, dosen Pascasarjana IAIN Jakarta, mengantari tulisannya tentang Quraish Shihab[1] yang penulis rasakan dapat mengurangi beban berat ini.
 “Negeri yang baik akan menghasilkan tanaman yang subur dengan seizin Allah, sebaliknya negeri yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.” (Q.,s. Al-A`râf [7]: 58). Makna ayat ini terasa tepat jika kita melihat biografi Quraish Shihab. Sejak kecil ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga dan suasana yang dijiwai Alquran. Ayahnya, almarhum Abdurrahman Syihab, adalah guru besar dalam bidang tafsir yang tiada jemu membacakan Alquran dan kitab-kitab tafsir kepada anak-anaknya. Dari sinilah benih kecintaan kepada studi Alquran mulai bersemai di jiwa pria kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944, yang kemudian diikutinya dengan pendidikan formal di bidang tafsir di Universitas Al-Azhar.[2] Dalam ilmu jiwa, sesuatu yang dijiwai dan dilakukan secara berulang-ulang akan membentuk kesadaran kognitif seseorang. Dari sini saya ingin mengatakan bahwa faktor psikologis dan formal edukatif yang dialami dan dilalui Quraish Shihab telah membentuk kesadaran kognitifnya lebih banyak didominasi oleh pemahaman Alquran. Sehingga sangat wajar jika tutur kata dan tulisannya dalam merespon permasalahan yang timbul, baik yang tersirat maupun tersurat, selalu merujuk kepada wawasan dan idiom Alquran.
Beberapa Karya Quraish Shihab
            Sebagai seorang intelektual, Quraish Shihab sepenuhnya sadar bahwa proses transformasi ilmu pengetahuan tidak hanya melalui retorika verbal (bahasa lisan) tetapi juga melalui bahasa tulis. Bahkan yang terakhir jangkauannya lebih jauh dan pengaruhnya lebih bertahan lama dari yang pertama. Maka, berbeda dengan alumni beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah lainnya yang belakangan menjadi sasaran kritik karena dinilai jarang menulis, Quraish Shihab telah menumbuhkan tradisi intelektual ini dengan baik.
            Mengikuti para pendahulunya, salaf shâlih, Quraish Shihab sangat produktif dalam berkarya. Dengan kesibukannya yang cukup banyak, baik di masyarakat maupun pemerintahan, Quraish Shihab selalu menyempatkan diri untuk menulis. Ini agaknya karena ia menyadari bahwa karya adalah ‘umur kedua’. Atau, seperti dijelaskan penyair dan sastrawan kenamaan Mesir, Syauqi, kenangan abadi yang tersisa setelah mati menjadi umur kedua bagi seseorang. Kalaulah anak keturunan hanya hidup pada masa tertentu, tidak demikian halnya sebuah karya. Ia akan dapat bertahan hidup sepanjang masa.
            Saya sendiri tidak bisa membayangkan betapa di tengah-tengah kesibukan yang padat dia dapat menulis. Namun saya harus mengakui dia sangat menghargai waktu. Ini juga yang menjadi tradisi para ulama terdahulu sehingga dapat mewarisi khazanah intelektual yang sedemikian banyaknya kepada kita. Seorang al-Thabariy, guru besar para mufassirin, misal, setiap hari dalam umurnya rata-rata ia menulis 14 lembar, sehingga dalam hidupnya ia dapat menulis sebanyak 358.000 lembar halaman meliputi berbagai disiplin ilmu.[3] Belum lagi Ibnu Taymiyah, al-Suyûthi, al-Nawawi dan sebagainya.
            Secara umum, yang penulis ketahui, Quraish Shihab mempunyai beberapa karya yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Pertama, Tafsir Mawdhû`iy, yaitu tafsir Alquran yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu. Masuk dalam kategori ini Wawasan Alquran (Mizan, 1996), dan Secercah Cahaya Ilahi (Mizan, 2000). Yang pertama, Wawasan Alquran, sebagian besar merupakan kumpulan makalah yang disajikan dalam ceramah agama bulanan yang disebut Pengajian Istiqlal untuk Para Eksekutif, bertempat di masjid Istiqlal Jakarta. Sebagai sajian buat para eksekutif yang diasumsikan mereka memerlukan bimbingan dan rujukan normatif dari Alquran maka karya ini secara tepat diberi judul Wawasan Alquran, Tafsir Mawdhui atas Pelabagai Persoalan Umat. Buku ini terdiri atas 33 tema dan terbagi dalam lima bagian menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Secercah Cahaya Ilahi sebenarnya juga merupakan lanjutan dari Wawasan Alquran karena juga menghimpun uraian-uraian pada Pengajian Eksekutif itu, bahkan direncanakan untuk menjadi buku kedua. Namun, untuk memenuhi banyak pihak yang menginginkan uraian singkat, makalah-makalah panjang itu dipilah-pilah sehingga menjelma menjadi 59 topik yang terbagi ke dalam 7 bagian. Agaknya, ini juga karena Wawasan Alquran oleh sebagian orang ‘dinilai’ cukup pelik, sehingga perlu disederhanakan.[4]
Kedua karya ini mendapat sambutan yang hangat dari para pembaca karena sangat membantu untuk bisa secara langsung mengakses Alquran mengenai tema-tema tertentu yang berkaitan dengan persoalan sehari-hari. Sekan-akan mereka dibimbing untuk berdialog dengan Alquran sesuai dengan problem dan kebutuhan yang dihadapi. Howard M. Fiderspiel yang pernah meneliti Popular Indonesian Literature of the Qur’an menilai Wawasan Alquran sebagai ‘karya yang sangat kuat’ dan merupakan ‘batu uji bagi pemahaman yang lebih baik tentang islam’. Semua itu dilakukan Quraish Shihab dengan sangat baik.[5]
Kedua, Tafsir Tahlîliy,[6] yaitu yang disusun berdasarkan urutan ayat atau pun surah dalam mushhaf Alquran dan mencakup berbagai masalah yang berkenaan dengannya. Untuk kategori ini Quraish Shihab memulainya dengan surah-surah pendek yang disusun berdasarkan urutan turunnya wahyu. Karya yang berisikan tafsir atas 24 surah ini diberi judul Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. (Pustaka Hidayah, 1997). Quraish Shihab memulainya dengan surah al-Fatihah (karena ia adalah pembuka dan induk Alquran, bukan lantaran ia yang pertama turun), disusul dengan dengan surah yang memuat wahyu pertama, Iqra, selanjutnya al-Muddatstsir, al-Muzzammil, dan seterusnya hingga surah al-Thâriq. Sebagian yang ada di buku ini sebelumnya telah dimuat secara berkala dalam kurun waktu yang cukup lama di Majalah Amanah, tempat beliau mengasuh rubrik tafsir.
Karya model ini kemudian diikuti dengan Tafsir Al-Mishbâh, bedanya yang pertama disusun berdasarkan urutan turunnya wahyu, yang ini disusun berdasarkan urutan dalam mushhaf Alquran. Tafsir ini —seperti tertulis dalam mukaddimahnya— mulai ditulis pada hari Jumat, 4 Rabi` al-Awwal 1420 H/ 18 Juni 1999 M, tepatnya di saat Quraish Shihab menjabat Duta Besar RI di Kairo. Hingga kini beliau telah menyelesaikan hampir 16 juz dari awal mushhaf, dan 10 juz pertama telah diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati, Jakarta, tahun 2000. Agaknya, karya ini merupakan obsesi beliau untuk dapat menafsirkan secara utuh dan komperhensif, menyusul ulama Indonesia lainnya, seperti Nawawi al-Bantaniy dengan tafsir Marâh Labîd nya dan Hamka dengan tafsir Al-Azhar. Kesibukan hariannya yang tidak terlalu padat dibanding jika beliau di tanah air memungkinkannya untuk itu.
Sebelum dua buku tersebut, Quraish Shihab telah mencoba menafsirkan surat al-Fatihah dengan metode tahlîliy yang diberinya judul Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta, Untagma, 1988). Karyanya Hidangan Tuhan, Tafsir Ayat-Ayat Tahlil, [7] juga disajikan dengan pendekatan metode tahlîliy, hanya saja di sini beliau memilih beberapa ayat atau surah yang biasa dibaca dalam tahlil yang mengiringi kepergian seseorang ke rahmatullah.
Kategori ketiga karya-karya Quraish Shihab adalah Maqâlât Tafsîriyyah (Artikel-artikel tafsir). Termasuk dalam kategori ini Lentera Hati. (Mizan, 1994)[8] dan Membumikan Alquran (Mizan, 1992). Lentera Hati adalah pilihan dari tulisan-tulisan yang pernah disajikan di rubrik Pelita Hati, harian Pelita, sejak tahun 1990 hingga awal 1993. Buku berisikan 135 tema yang dibagi dalam tujuh bagian ini merupakan sebuah antologi esai tentang makna dan ungkapan islam sebagai sistem religius bagi individu Mukmin dan bagi komunitas Muslim Indonesia. Beberapa tulisan dalam Membumikan Alquran yang merupakan antologi artikel yang ditulis selama kurun waktu dua puluh tahun dapat dikelompokkan di sini. Sebagai kumpulan makalah dan hasil ceramah, penulisannya lebih serius dari yang pertama. Bahkan dilengkapi dengan catatan kaki, tidak seperti karya-karya lainnya. Setengah pertama buku ini berbicara tentang Alquran dari berbagai aspeknya ; sejarah, kemukjizatan, tafsir dan bagaimana berinteraksi dengannya. Selebihnya dipaparkan pesan-pesan normatif Alquran dalam membimbing kehidupan umat manusia. Karyanya Menyingkap Tabir Ilahi (Lentera Hati, Jakarta) yang berisikan penjelasan tentang Al-Asmâ al-Husnâ (Nama-Nama Tuhan yang Terbaik) dalam beberapa hal juga dapat dikategorikan sebagai Maqâlât Tafsîriyyah.
Selain yang telah disebut di atas, Quraish Shihab juga mempunyai beberapa buku berkenaan, dalam satu dan lain hal, dengan Alquran dan tafsirnya, yaitu Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); Mukjizat Alquran (Mizan) dan Yang Tersembunyi, Jin, Malaikat, Iblis, Setan. (Lentera Hati, Jakarta, 1999).
Dr. M. Abdullah Dirâz, seorang pakar Alquran Mesir, ketika mengantari bukunya, Dustûr al-Akhlâq Fî al-Qur’ân, yang merupakan disertasi untuk mencapai gelar Doktor di Universitas Sorbon, mengatakan, “Sebuah karya ilmiah, sifatnya tidak akan terlepas dari tujuh hal; 1) karangan yang betul-betul baru ; 2) melengkapi yang kurang ; 3) menjelaskan yang samar dan sulit ; 4) meringkas yang panjang ; 5) menertibkan yang bercampuran ; 6) memperbaiki yang salah ; dan 7) mengumpulkan yang tercerai-berai.[9] Hemat penulis, Quraish Shihab telah melakukan itu semua dengan baik. Bahkan beliau berhasil menjembatani gap yang kerap kali terjadi ketika seseorang ingin menjelaskan istilah-istilah keilmuan islam berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dengan baik.
Demikian beberapa karya Quraish Shihab yang sempat penulis ketahui. Masing-masing layak diperbincangkan secara terpisah. Dilihat dari beberapa namanya; Lentera, Al-Mishbâh (lampu, pelita, lentera), Secercah Cahaya Ilahi, nampaknya Quraish Shihab menginginkan kehidupan dan berbagai persoalan umat diterangi oleh cahaya Alquran. ‘Cahaya langit’ itu diharapkan ‘membumi’ dan dipahami. Jika yang meneranginya adalah cahaya Ilahi maka ‘wawasan’ berfikir dan berprilaku manusia di bumi manjadi ‘tertunjuki’. Inilah agaknya benang merah yang menyatukan pemikiran Quraish Shihab dalam beberapa karya tafsirnya dengan para pembaharu di dunia islam yang menjadikan Alquran sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spritual.

Pembaharuan dalam Beberapa Karya Quraish Shihab
Sampai menjelang awal abad modern, penafsiran Alquran terutama lebih merupakan suatu masalah akademis. Tafsir-tafsir ditulis oleh para ulama untuk ulama-ulama lain. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detil terhadap kata-kata teknis dan istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Alquran merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan kutipan dari ensiklopedi tersebut. Seseorang yang membaca Hâsyiyat al-Syihâb ‘ala-l Baydhâwi (Komentar dan Penjelasan Syihab al-Khafajiy atas tafsir al-Baydhâwiy) akan merasakan bahwa kitab yang dijelaskannya itu justru lebih mudah.
Bahkan, dalam beberapa kesempatan, tafsir sering dijadikan alat untuk membela kepentingan kelompok tertentu. Alquran tidak lagi menjadi petunjuk yang selalu dikedepankan dalam setiap persoalan, dan tidak jarang berada di belakang dengan cara “memaksakan sesuatu terhadap Alquran”.
Cara-cara yang mereka tempuh itu telah menjadikan petunjuk Alquran yang tadinya dipahami secara mudah menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini disebabkan kitab-kitab tafsir tersebut berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal untuk mencari jalan keluar bagi masalah-masalah kehidupan.
Agaknya inilah yang mendorong para reformis Islam di abad modern untuk merekonstruksi pemahaman Alquran. Adalah Muhammad Abduh yang pertama kali menyadarkan umat akan pentingnya memahami Alquran secara jernih, jauh dari polusi pemikiran. Abduh pada prinsipnya keberatan dengan bentuk tafsir akademis ini. Mengomentari itu Abduh mengatakan, “Hâdzâ lâ yanbaghi an yusammâ tafsîran, wainnamâ dharbun minattamrin fil funûn kannahwi wal ma’âni waghayrihimâ.[10] (Ini tidak pantas disebut sebagai tafsir, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai bentuk latihan menerapkan berbagai disiplin ilmu seperti nahwu, balaghah dan sebagainya). Menurut Abduh, “Pada hari akhir nanti Allah tidak menanyakan kita mengenai pendapat-pendapat para mufasir dan tentang bagaimana mereka memahami Alquran. Tetapi Ia akan menanyakan kepada kita kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita.”[11] Abduh berpendapat, yang dibutuh- kan oleh umat adalah pemahaman kitab suci sebagai sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.[12] Dengan begitu, sudah pasti Alquran harus dapat memberikan solusi bagi pelbagai persoalan umat.
Karya-karya Quraish Shihab tidak bisa dipisahkan dari konteks pembaharuan yang dirintis oleh Muhammad Abduh. Pendidikan menengah dan tinggi yang dilaluinya di Mesir, pusat kajian islam abad modern, sejak tahun 1958-1969, kemudian 1980-1982, memungkinkannya berinteraksi dengan pemikiran Abduh dan para penerusnya di Mesir. Kekagumannya terhadap M. Abduh diwujudkan dalam karya pertamanya Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya. (Ujung Pandang, 1984). Selain itu, bahan-bahan rujukan beberapa karyanya kebanyakan berbahasa Arab dari tulisan para cendekiawan Mesir modern yang sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan M. Abduh. Lebih jauh tentang ide pembaharuan tafsir Abduh dapat ditemukan dalam metode dan prinsip-prinsip yang digunakan Quraish Shihab dalam beberapa karyanya seperti akan dijelaskan kemudian.
Dari sini Quraish Shihab berusaha menghadirkan Alquran sebagai sumber hidayah dan petunjuk dalam memecahkan berbagai persoalan. Maka dalam karya-karyanya, terutama yang berkenaan dengan tafsir Mawdhu’i dan Maqâlât Tafsîriyah, tidak jarang ditemukan bahasan beberapa isu kontemporer seperti HAM, pengembangan SDM, lingkungan (ekologi), aborsi, reformasi, perdamaian dan isu-isu lain yang menimbulkan ‘kegelisahan’ manusia modern.
Ketika menjelaskan reformasi yang ramai diperbincangkan pasca-turunnya Suharto (1998), Quraish Shihab menekankan pentingnya reformasi di bidang akhlak terlebih dahulu. Ini karena, menurutnya, akhlak adalah cermin dari “sisi dalam manusia” seperti difirmankan Allah swt. dalam Q.,s. Al-Ra`d [13]:11 : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada satu kaum, sampai mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka. Dan ini tidak bisa dilakukan dengan cara perubahan total terhadap sistem dan prilaku masyarakat sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. Beliau memulainya dengan pribadi demi pribadi. Reformasi yang merupakan sarana untuk mencapai ’’cita-cita sosial islam’’, menurutnya harus dimulai dengan menumbuhkan aspek-aspek akidah dan etika dalam diri pribadi pemeluknya.  Ia dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi, kemudian keluarga dan masyarakat, hingga akhirnya menciptakan hubungan yang serasi antarsesama anggota masyarakat, yang salah satu cerminannya adalah kesejahteraan lahiriah. Di akhir pembahasan, dengan mengutip firman Allah dalam Q.,s. Al-Ahzâb [33]: 60-62 Quraish Shihab mengingatkan bahwa setiap upaya perbaikan (reformasi) selalu dibarengi dengan hadirnya orang-orang yang lemah hati dan berkeliarannya orang-orang munafik. Akan tetapi, lebih lanjut ia memberikan solusi, orang-orang munafik, katakanlah “reformis kesiangan”, itu tidak akan berarti jika masyarakat itu memiliki iradat dan berjalan dengan tuntunan Ilahi, sehingga semangatnya akan terus dikobarkan oleh Allah swt.[13]
Jika diperhatikan lebih jauh, hampir kebanyakan tema-tema yang dipaparkan Quraish Shihab berkisar pada pembentukan pribadi, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun sesama, pembentukan keluarga dan juga masyarakat yang dibimbing oleh nilai-nilai Alquran. Lihat, misalnya, tema-tema dalam Wawasan Alquran yang berkisar pada wawasan Alquran tentang pokok-pokok keimanan, kebutuhan pokok manusia dan soal-soal muamalah, manusia dan masyarakat, aspek-aspek kegiatan manusia dan soal-soal penting umat lainnya seperti musyawarah, ukhuwah, Jihad dan sebagainya. Lebih spesifik lagi ditemukan dalam Secercah Cahaya Ilahi tema-tema tentang peranan agama dalam kehidupan masyarakat, keluarga, pribadi (dalam mengasah jiwa), memperkaya kehidupan, pengembangan SDM, membimbing manusia mengelola kekuasaan dan mengenal Sang Pencipta. Tulisan-tulisannya dalam Lentera Hati juga dimaksudkan untuk meletakkan dasar bagi kepercayaan dan praktik islam yang benar.
Upaya untuk menampilkan Alquran sebagai petunjuk (hidâyah, hudan) juga tampak ketika Ia berhadapan dengan ayat-ayat yang berkenaan dengan kisah dan mubhamât [14] Alquran. Di sini hampir kebanyakan mufassir terjebak menafsirkan rinciannya dengan menampilkan riwayat-riwayat yang sebagian besar tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga melupakan pesan-pesan moral yang dikandungnya. Ketika menafsirkan Q.,s. Al-Baqarah [2]: 259 yang mengisahkan peristiwa seorang yang melalui suatu negeri kemudian ditidurkan dan dibangunkan kembali setelah seratus tahun untuk membuktikan bahwa Allah swt. kuasa untuk membangkitkan manusia setelah mati, Quraish Shihab menulis:
Ada seseorang yang melewati suatu negeri, tidak dijelaskan siapa orang itu, sebagaimana ayat sebelumnya (ayat 258, penulis) tidak menjelaskan siapa penguasa yang mendebat Ibrahim a.s. Memang, hampir semua uraian Alquran tentang peristiwa tidak menjelaskan siapa pelakunya, kapan dan di mana peristiwa itu terjadi. Sebab yang dipentingkan adalah pelajaran yang harus diambil dari peristiwa itu. Di sisi lain, hal tersebut juga untuk menunjukkan bahwa peristiwa serupa dapat saja terjadi pada setiap orang, kapan dan di mana saja. [15]
            Lebih tegas lagi dipaparkannya ketika dia menafsirkan kisah Ashhâb al-Kahf seperti tercantum dalam Q.,s. Al-Kahf [18] 9-26. Ketika ‘terpaksa’ dia ingin memaparkan hasil pembahasan penelitian sementara ulama tentang siapa dan kapan terjadinya peristiwa tersebut serta di mana karena didorong oleh nalar dan naluri ingin tahu manusia yang menghiasi jiwanya, Quraish Shihab mengatakan :
Ayat-ayat yang menguraikan kisah penghuni gua, seperti halnya kisah-kisah al-Qur’an yang lain, tidak menyebut siapa mereka, atau di mana dan kapan terjadinya peristiwa ini. Hal tersebut juga untuk lebih mengarahkan manusia kepada inti dan pelajaran yang dapat ditarik dari kisah-kisah al-Qur’an.
Setelah mengutip pendapat para pakar penyusun Tafsir Al-Muntakhab tentang siapa para penguni gua dan pendapat Thabathaba’iy tentang sifat dan ciri-ciri gua itu serta di mana ia berada, sekali lagi Quraish Shihab mengingatkan pentingnya pelajaran yang harus ditangkap dari peristiwa itu dengan mengatakan:
Sekali lagi penulis menggarisbawahi bahwa tahun dan tempat serta nama-nama penghuni gua tidak sepenting mengetahui serta menarik pelajaran dari peristiwa ini. Pakar dan sejarawan dipersilahkan mengemukakan aneka pendapat, namun yang pasti peristiwa tersebut pernah terjadi, dan dari peristiwa itu kita harus mengambil pelajaran yang berharga, antara lain tentang betapa kuasa Allah menghidupkan yang telah mati.[16]
            Selain meletakkan dasar-dasar keberagamaan yang dilandasi dan dijiwai Alquran, Quraish Shihab tidak segan-segan mengkritik pemahaman dan sikap keberagamaan yang berlaku di tengah masyarakat berdasarkan pemahamannya yang cerdas terhadap pesan-pesan Alquran. Ini misalnya ketika dia berusaha mencairkan hubungan antarumat beragama yang pada dekade delapan puluhan diwarnai ‘ketegangan’. Awal tahun delapan puluhan, MUI memfatwakan haram hukumnya mengucapkan selamat natal, apalagi menghadiri upacara keagamaan umat Kristiani. Tanpa mengurangi rasa hormatnya terhadap fatwa tersebut yang berusaha menjaga kemurnian akidah umat, Quraish Shihab, berdasarkan Q.,s. Maryam [19]: 33 menawarkan pemahaman bahwa ucapan selamat natal itu merupakan ajaran Alquran. Tentu saja harus disertai dengan maksud-maksud dan keyakinan yang diajarkan Alquran, demi kemurnian akidah.[17] Ayat-ayat Alquran yang sering ‘diduga’ menghalangi hubungan harmonis antarumat beragama tak luput dari reinterpretasi yang dilakukannya dengan baik.[18]
            Sejauh mana orisinalitas pemikirannya, hemat penulis bukan persoalan, tetapi kesungguhan dan keseriusannya untuk membimbing dan memecahkan persoalan umat dengan landasan Alquran di tengah ‘kebekuan’ dan ‘kekakuan’ pemahaman keagamaan telah menempatkannya sejajar dengan para pembaharu di dunia Islam. Agaknya tidak berlebihan apa yang dikemukakan Dr. Komaruddin Hidayat, “Kehadirannya telah menciptakan gelombang baru di kalangan intelektual kampus, khususnya di tingkat pascasarjana, untuk menumbuhkan apresiasi kritis terhadap khazanah tafsir Alquran.” Lebih lanjut dia mengatakan, “Kalau Pak Harun Nasution layak memperoleh kredit (penghargaan) karena memasukkan metodologi filsafat dan semangat pembaharuan dalam melihat Islam, maka Pak Quraish berjasa memperkenalkan dan menghidupkan wacana kritis tafsir Alquran.’’[19]
            Hal lain yang menyatukan Quraish Shihab dengan para pembaharu di dunia islam, bahkan gerakan renaissance di Eropa pada abad XVIII, adalah kesadaran untuk melakukan rekontruksi pemahaman teks-teks keagamaan dengan metode yang seobyektif mungkin. Dan ini dimulai dengan pendekatan kebahasaan seperti terlihat dalam pembahasan berikut.           
Kecenderungan dan Metode Tafsir Quraish Shihab
Kecenderungan dimaksud, yang dalam bahasa Arab disebut Ittijâh, adalah kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus mencerminkan latar belakang intelektual penafsirnya. Dengan kata lain, kesan umum tentang pemikiran penulis.[20] Tafsir Thabari, misal, sering diklasifikasikan  dalam kategori bi-l-Ma’tsur, padahal tidak sedikit ditemukan penggunaan nalar dalam karya tersebut. Al-Kasysyâf, karya Zamakhsyari, sering disebut bercorak tafsir aliran atau dogmatis seperti kata I. Godziher.[21] Padahal, Zamakhsyari, seperti dikatakan Jansen,[22] dengan karyanya itu dapat disebut sebagai tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap Alquran setelah Abu Ubaydah, peletak dasar tafsir filologi modern. Ini menjelaskan bahwa klasifikasi yang sering didengar itu hanya sekadar kesan umum yang ditangkap dari kecenderungan penulisnya. Sedangkan metode (manhaj) yang dimaksud adalah cara yang digunakan mufasir untuk mewujudkan kecenderungan tadi. Dengan kata lain, wadah yang berisikan kecenderungan pemikiran mufasir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud baik.[23] Dua istilah ini sering dipahami rancu dalam beberapa kajian tafsir.
Dalam beberapa studi tentang tafsir Alquran modern,[24] paling sedikit ditemukan tiga kecenderungan utama para mufassir modern; (1) sosial kemasyarakatan (ittijâh ijtimâ’iy); (2) tafsir saintifik (ittijâh ‘ilmiy); (3) interpretasi filologik dan sastra (ittijâh adabiy). Ketiga kecenderungan ini, menurut Ibrahim Syarif, benihnya telah ada pada tafsir M. Abduh.[25] Yang paling populer di antara ketiganya adalah ittijâh adabiy. Tetapi ini bukan berarti yang satu lebih baik dari yang lain.
Kecenderungan ini didasari pada keinginan memahami Alquran secara obyektif dan teliti sesuai keinginan pemiliknya (Allah), tentunya sesuai kemampuan manusia. Karena itu, sebelum dipahami secara kontekstual harus dipenuhi terlebih dahulu hak-hak Alquran sebagai teks bahasa. Ini menuntut seorang mufasir mengkaji lebih jauh makna dan sejarah kosa kata serta retorika pengunaannya.[26] Dengan pendekatan ini seseorang dapat mengakses langsung pesan-pesan Alquran dengan cepat tanpa dibingungkan oleh silang pendapat ulama.
Secara akademis, tren ini mencapai puncak kematangannya di tangan Amin al-Khuli. Menurutnya, Alquran harus diperlakukan sebagai kitab berbahasa Arab yang terbesar (Kitâb al-Arabiyyah al-Akbar). Maka hak-hak kebahasaannya harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud lain. Amin mengatakan bahwa secara ideal studi tafsir harus dibagi dalam dua bagian : (1) kajian sekitar Alquran, dirâsah hawl al-nash, dan (2) kajian terhadap Alquran itu sendiri, dirâsah fi al-Qur’ân nafsihi. Kajian sekitar Alquran diarahkan pada aspek sosio historis, geografis, kultural dan antropologis wahyu. Studi terhadap latar belakang ini tidak jauh berbeda dengan yang diperkenalkan oleh Noldeke dalam karyanya, Geschichte des Qoran, sebagai “pendekatan historis tradisional”. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pada pelacakan kata-kata semenjak pertama diturunkan, pemakaiannya dalam Alquran serta sirkulasinya dalam bahasa Arab. Dia memberi alasan bahwa Alquran datang dengan sebuah pakaian Arab (fî tsaubihi al-arabiy) dan karena itulah untuk memahami Alquran sesempurna mungkin kita harus mengetahui sejauh mungkin keadaan bangsa Arab ketika Alquran diturunkan.[27]
Sayyid A. Khalil menilai, sebenarnya gagasan yang disampaikan al-Khuli, sebelumnya M. Abduh, tidak lain adalah gagasan yang telah diperkenalkan oeh F.D.E. Schleiermacher (1768-1834 M), seorang filosof Jerman, yang dikenal sebagai pendekatan hermeneutik.[28] Khalil tidak berlebihan, sebab al-Khuli adalah sosok yang dikenal banyak berinteraksi dengan kajian-kajian Barat, khususnya di bidang sastra. Ini tidak berarti pendekatan tafsir seperti ini berasal dari Barat. Sebab jika ditelusuri pendekatan hermeneutik dalam mengkaji teks telah berkembang lama sejak awal masa islam. Ibnu Abbas, Abu Ubaydah, al-Zamakhsyari dan al-Jurjani tidak dapat diragukan lagi kedudukannya sebagai peletak dasar-dasar filologi dan sintaksis Alquran. Ini membuktikan adanya ta’tsîr dan ta’atstsur positif antara Barat dan Islam sejak dulu.
Dari sini agaknya tidak berlebihan jika kita mengatakan ada kesamaan titik tolak antara kebangkitan di dunia Barat dengan di dunia Islam, yaitu perlunya reinterpretasi teks-teks keagamaan seobyektif mungkin melalui pendekatan kebahasaan. Sebab, di balik bahasa tersimpan rahasia makna. Atau seperti kata al-Ghazali, makna kosa kata adalah kunci memahami makna.[29]
Hampir kebanyakan reformis di dunia Islam, mempunyai kecenderungan ini, meski tidak seketat yang digariskan Al-Khuli. Lihat misalnya karya-karya M. Abdullah Diraz, Izzat Darwazah, M. Syaltout, Sayyid Quthub, Ibnu Asyur dan the last but not the least, M. Mutawalli Sya’râwi. Tafsir Quraish Shihab, terutama yang berbentuk tahlîliy, dalam beberapa hal banyak merujuk kepada nama-nama di atas.
Lebih jelas lagi jika kita perhatikan beberapa prinsip yang dipegang oleh Quraish Shihab dalam menafsirkan Alquran, baik dalam bentuk tahlîliy maupun mawdhu’iy, antara lain:
1. Memandang Alquran sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Meskipun Alquran diturunkan dalam kurun waktu sekitar 22 tahun, dan dalam kondisi yang berbeda-beda, tetapi ia sebenarnya saling berkaitan satu dengan lainnya. Bahkan susunannya yang bagi sementara orang ‘dianggap’ tidak berurutan dan sepintas tidak saling berkaitan memiliki keserasian makna yang menakjubkan. Tema-tema tertentu yang di dalam Alquran berserakan di beberapa tempat sesungguhnya juga memiliki rahasia tersendiri yang hanya dapat diperoleh melalui tadabbur terhadap Alquran. Pandangan ini kemudian melahirkan suatu model bentuk penafsiran yang dikenal dengan Mawdhu’i. Cara pandang ini telah dikemukakan sebelumnya oleh Imam Al-Syâthibiy, ulama abad ke VIII asal Cordova, dalam kitabnya al-Muwâfaqât, dan diperkenalkan kembali di awal abad modern oleh M. Abduh yang selanjutnya diwujudkan dengan baik oleh murid-muridnya seperti, Rasyid Ridha, M. Musthafa al-Maraghi, M. Syaltout, Abdullah Diraz, Amin al-Khuli, Bintu Syathi dan sebagainya. Hemat penulis, Quraish Shihab telah melakukan itu dengan baik dalam beberapa karya tafsir mawdhu’i-nya. Metode ini pada dasarnya diperkenalkan untuk menutupi kekurangan metode tafsir klasik yang disusun berdasarkan urutan dalam mushhaf. Namun, pengembangan metode ini jika tidak didukung dan dibatasi oleh pagar-pagar metodologis yang kuat, maka kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, ‘tingginya subyektifitas penafsir’, ‘penafsiran yang ‘mengikat’ generasi berikut’, ‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan dialaminya. Sejauh ini, penerapan metode ini sangat rentan oleh timbulnya pra-konsepsi mufasir. Sebab, umumnya penetapan dan pemecahan masalah berangkat dari realitas kehidupan, bukan sebaliknya, dari Alquran. Dari sini mufasir mawdhu’i akan terjebak pada kesalahan yang pernah dan sering dilakukan mufasir dengan itijâh ilmiy (saintifik), bedanya, dalam tafsir saintifik mufasir modern terbius dengan teori-teori ilmiah (eksak), sementara dalam tafsir mawdhu`iy   digunakan teori-teori ilmu sosial, misalnya tentang gender, masyarakat madani, demokrasi dan tema-tema lain yang masih bersifat wacana. Selain itu, jika tafsir mawdhu’iy diumpamakan oleh Quraish Shihab seperti menghidangkan makanan kepada tamu dalam bentuk kotak, sedangkan tafsir tahliliy seperti menghidangkan makanan di meja prasmanan,[30] maka sudah barang tentu kualitas kotak makanan itu berpulang kepada penyajinya. Ini misalnya akan terlihat jika kita coba membandingkan karya-karya mawdhu`i Quraish Shihab dalam Wawasan Alquran dan Secercah Cahaya Ilahi, Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Alquran, dan Fazlurrahman dalam Tema-tema Pokok Alquran.
Selanjutnya, keterkaitan bagian-bagian Alquran; kata, kalimat, ayat dan surah, satu dengan lainnya melahirkan pandangan lain dalam tafsir Quraish Shihab, yaitu:
2. Pentingnya memahami ilmu al-Munâsabât (korelasi dan keserasian antarkata, ayat dan surah dalam Alquran) yang tercermin, paling tidak dalam enam hal:
a. Keserasian kata demi kata dalam satu surah.
b. Keserasian kandungan ayat dengan fâshilat, yakni penutup ayat.
c. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya.
d. Keerasian uraian awal/mukaddimah satu surah dengan penutupnya.
e. Keserasian penutup surah dengan uraian awal/mukaddimah surah sesudahnya.
f. Keserasian tema surah dengan nama surah.[31]
Pandangan atau kaidah ini, menurut Ibrahim Syarif, guru besar tafsir di Fakultas Darul Ulum Universitas Cairo, adalah esensi dan prinsip yang utama dari tafsir filologis (ittijâh adabiy atau bayâniy).[32] Ulama tafsir yang paling berhasil menerapkan pandangan ini adalah Ibrahim bin Umar al-Biqâ’iy (809-885 H/1406-1480 M) dalam karyanya, Nazhm al-Durar Fî Tanâsub al-Ayât Wa al-Suwar.[33] Quraish Shihab dalam banyak hal sangat terpengaruh oleh pemikiran ulama asal Libanon ini. Perkenalannya yang sangat intensif dengan ulama ini terjadi ketika pada tahun 1980 Quraish Shihab melakukan penelitian terhadap karya al-Biqa’iy dalam disertasinya untuk meraih gelar Doktor di bidang tafsir dari Universitas Al-Azhar Kairo. Warna ini sangat kental sekali dalam tafsir Quraish Shihab, terutama dalam tafsir tahlîliy-nya.[34]
3. Menelusuri penggunaan kosa kata Alquran di kalangan para pemakainya, bangsa Arab, dan dalam Alquran sendiri. Ini karena Alquran adalah teks kitab suci yang berbahasa Arab. Bahasa tidak lain adalah simbol yang menyimpan beragam makna. Karenanya hak-hak kebahasaan itu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud lain. Dalam hal ini Quraish Shihab banyak merujuk kepada kamus-kamus berbahasa Arab seperti Mu’jam Maqâyis al-Lughah, karya Ibnu Faris, Lisân al-‘Arab, karya Ibnu Manzhur dan Al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur’ân, karya al-Râghib al-Ashfahaniy. Kaidah ini lebih banyak ditemukan dalam Tafsir Al-Quran al-Karim daripada al-Mishbah yang terbit belakangan. Ini karena, seperti diakui Quraish Shihab sendiri, cara seperti itu terlalu akademis sehingga kurang menarik minat orang kebanyakan, bahkan sementara orang menilainya bertele-tele.[35] Hemat penulis, menelusuri kosa kata Alquran melalui kamus-kamus, misalnya yang disebut di atas, boleh jadi akan mengaburkan pemahaman itu sendiri. Sebab bahasa selalu berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Selain itu, kamus-kamus bahasa Arab disusun belakangan jauh setelah Alquran diturunkan, khususnya setelah kemampuan bahasa bangsa Arab menurun dengan terjadinya interaksi budaya dengan bangsa lain. Isyarat Ibnu Abbas agar dalam menafsirkan kata-kata sulit kita kembali kepada syair-syair Arab kuno nampaknya perlu dipahami sebagai anjuran untuk memahami Alquran terlebih dahulu sebagaimana halnya bangsa Arab memahaminya ketika itu, baru setelah itu disesuaikan dengan ruang dan waktu masing-masing. Lagi-lagi ide ini dihadang dengan terbatasnya koleksi syair-syair Arab kuno (syi`r jahiliy) dan luasnya cakupan kosa kata yang harus dipahami. Betapapun, yang dilakukan Quraish Shihab telah menghantarkan umat dapat mengakses langsung pesan-pesan Alquran yang tersembunyi di balik bahasanya. 
Dari penelusuran penggunaan kosa kata ini selanjutnya Quraish Shihab menyimpulkan kaidah lain, yaitu:
4. Tidak ada kosa kata yang sinonim (murâdif) di dalam Alquran. Setiap kata dalam Alquran mempunyai makna tersendiri yang tidak bisa digantikan kedudukannya oleh kata yang lain. Kata qasam dan hilf yang dalam bahasa Indonesia diartikan sama, yaitu sumpah, menurutnya berbeda dalam penggunaan Alquran. Kata qasam dengan berbagai derivasinya, menurutnya tidak digunakan Alquran kecuali untuk sumpah yang oleh pengucapnya diyakini kebenarannya, dengan kata lain sumpah yang kukuh dan tidak dilanggar. Sementara kata hilf dan derivasinya digunakan untuk jenis sumpah palsu, atau sumpah yang boleh jadi dibatalkan oleh pengucapnya. Karena itu, ketika berbicara tentang sumpah orang-orang munafik Alquran menggunakan kata yahlifûn. (Q.,s. 9:56). Demikian juga ketika berbicara tentang tebusan (kaffârat) sumpah yang dibatalkan digunakan kata hilf (idzâ halaftum, Q.,s. 5:89).[36] Contoh lain, kata sabîl dan shirâth yang keduanya sering diartikan sebagai jalan. Sabîl disebut dalam Alquran sebanyak 166 kali dalam bentuk tunggal dan 10 kali dalam bentuk jamak. Sering kali kata ini dirangkaikan dengan Tuhan atau sesuatu atau sekelompok manusia yang baik dan sering kali pula sebaliknya. Sementara kata shirâth ditemukan sebanyak 45 kali dalam Alquran kesemuanya berbentuk tunggal dan tidak digunakan kecuali dalam arti jalan menuju kebenaran atau sesuatu yang hak adanya. Dari sini Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kata sabîl mengisyaratkan keragaman “jalan baik” dan keragaman “jalan buruk”. Sedangkan shirâth —sesuai dengan asal maknanya yang berarti “menelan”— menggambarkan jalan yang luas dan lebar seakan-akan menelan pejalannya, serta penempuh jalan-jalan baik yang beraneka ragam itu. Kepada shirâth inilah bermuara semua sabîl (jalan-jalan yang baik). (Q.,s. al-Maidah: 16). Karena itu yang kita panjatkan dalam salat adalah petunjuk ke arah al-Shirâth al-Mustaqîm, bukannya al-Sabîl al-Mustaqîm.[37]
5.  Perlunya memahami Alquran berdasarkan urutan sejarah turunnya untuk mengetahui karakteristik idiom-idiom yang digunakan. Misalnya, dalam wahyu-wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. kata yang digunakan untuk menunjukkan Tuhan Yang Maha Esa adalah Rabb, bukan Allah. Ini menurutnya disebabkan karena kaum musyrikin percaya juga kepada Allah, tetapi keyakinan mereka kepada Allah jauh berbeda dengan keyakinan yang diajarkan dan dihayati oleh Nabi Muhammad saw. Mereka, misalnya, beranggapan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita. (Q.,s. 17:40). Dari sini Alquran ingin melakukan perubahan semantik kata tersebut, yaitu meskipun kosa kata yang digunakannya sama dengan yang digunakan masyarakat jahiliyah, tetapi nilai-nilainya berbeda. Dan ini perlu waktu lama. Sehingga kalau pada masa awal kata Allah digunakan, misalnya dalam perintah membaca (iqra’ bismillâh, bukan bismi rabbika) maka akan timbul kerancuan dalam pemahaman.[38] Agaknya inilah yang mendorong beberapa pakar Alquran, termasuk Quraish Shihab, untuk menyusun tafsir berdasarkan urutan turunnya wahyu. Demikian pula para orientalis yang menekuni kajian Alquran seperti Noldeke (1880 M), H. Grime (1892 M) dan William Muir (1896 M). Pendekatan ini banyak mendapat kritik para ahli. Dr. Ibrahim Khalifah, Ketua Jurusan Tafsir Universitas Al-Azhar, misalnya berkeberatan dengan alasan usaha itu akan sangat sulit dilakukan, karena tidak ditemukan bukti-bukti otentik yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan hampir dapat dikatakan mustahil, dan kalaupun dapat dilakukan sangat terbatas sekali pada yang diketahui sebab nuzulnya. Alquran yang kita warisi urutannya adalah seperti yang ada dalam mushhaf. Selain itu, banyak surah dalam Alquran diturunkan secara terpisah-pisah, bahkan dalam kurun waktu yang cukup lama dan diselingi oleh surah-surah lain. Maka secara akal tidak mungkin untuk dikatakan surah B (secara keseluruhan, seperti sering diklaim dalam beberapa studi) diturunkan setelah surah A.[39] Lebih tegas lagi, Dr. Abdurrahman Badawi, seorang filosof dan pemikir Arab kenamaan yang bermukim di Prancis, mengklaim kegagalan usaha-usaha, baik dari kalangan ulama islam maupun orientalis —meskipun usaha ulama islam dapat dibilang ‘lebih berhasil’ dari pada yang kedua, untuk menyusun Alquran berdasarkan urutan sejarah turunnya.[40]
Demikian beberapa prinsip dan metode serta kecenderungan Quraish Shihab dalam menafsirkan Alquran. Sekalipun metode mawdhu’i dan beberapa prinsip pendekatan filologis dan retorika (bayân) Alquran dikatakan dapat menjaga obyektifitas pemahaman, tetapi latar belakang mufasir yang beragam dapat saja menjadikannya subyektif. Karena itu Quraish Shihab menambahkan kalimat ’’Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran’’ dalam nama tafsirnya, Al-Mishbâh. Kata kesan ‘mengesankan’ adanya subyektifitas tersebut.
Pandangan Quraish Shihab terhadap Tafsir Ilmiah
            Pembahasan ini perlu mendapat tempat tersendiri mengingat banyaknya isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat dalam Alquran. Selain itu, pendekatan ilmiah dalam tafsir telah menimbulkan polemik berkepanjangan antara yang pro dan kontra.
Pro-kontra tentang tafsir ilmiah sudah lama terjadi, mulai dari ulama-ulama klasik sampai ahli-ahli keislaman di abad modern. Selain al-Ghazali dan al-Razi, al-Mursi dan Al-Suyuthi juga dikelompokkan sebagai pendukung tafsir ini. Berseberangan dengan mereka, al-Syathibi menentang keras penafsiran model seperti ini. Dalam barisan tokoh-tokoh modern, para pendukung tafsir ini seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhari, Hanafi Ahmad berseberangan dengan tokoh-tokoh seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas Aqqad.
Umumnya, para mufassir dengan ittijâh adabiy menolak model tafsir ilmiah. Alasan yang sering dikemukakan antara lain;
1. Ketidakkokohan filologisnya. Alquran diturunkan kepada bangsa Arab dalam bahasa ibu mereka, karenanya ia tidak memuat sesuatu yang mereka tidak bisa memahaminya. Para sahabat tentu lebih mengetahui Alquran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa Alquran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
2. Ketidakkokohannya secara teologis. Alquran diturunkan sebagai petunjuk yang membawa pesan etis dan keagamaan; hukum, akhlak, muamalah dan akidah. Ia berkaitan dengan pandangan manusia mengenai hidup, bukan dengan teori-teori ilmiah. Ia buku petunjuk dan bukan buku ilmu pengetahuan. Adapun isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung di dalamnya dikemukakan dalam kontek petunjuk, bukan menjelaskan teori-teori baru.
3. Ketidakkokohannya secara logis. Di antara ciri ilmu pengetahuan adalah bahwa ia tidak mengenal kata ‘kekal’. Apa yang dikatakan sebagai natural law  tidak lain hanyalah sekumpulan teori dan hipotesa yang sewatu-waktu bisa berubah. Apa yang dianggap salah di masa silam misalnya, boleh jadi diakui kebenarannya di abad modern. Ini menunjukkan bahwa produk-produk ilmu pengetahuan pada hakekatnya relatif dan subyektif. Jika demikian, patutkah kita menafsirkan yang kekal dan absolut dengan sesuatu yang tidak kekal dan relatif? Relakah kita mengubah arti ayat-ayat Alquran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau belum mapan itu?[41]
Polemik-polemik tersebut menghasilkan formula kompromistik yang mengatakan bahwa Alquran memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan. Namun demikian, Alquran tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah buku teks ilmu pengetahuan. Alquran lebih merupakan buku petunjuk (hidayah) daripada teori-teori ilmu. Di barisan inilah Quraish Shihab menunjukkan sikapnya. Ia mengatakan, “Memahami ayat-ayat Alquran sesuai penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur’aniyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan bahasa”.[42] Quraish Shihab tidak menolak sepenuhnya tafsir ilmiah, seperti halnya al-Khuli,[43] namun demikian dia sangat berhati-hati dalam menerima sebuah penafsiran ilmiah. “Rendah hatilah, dan jangan terlalu spekulatif dalam menafsirkan Alquran,” demikian seperti disampaikannya dalam sebuah diskusi tentang “Memahami Isyarat Ilmiah Alquran” di Kairo.[44] Karena itu Quraish Shihab menetapkan beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Alquran dengan penemuan ilmiah, antara lain; 1) memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan; 2) memperhatikan konteks ayat; dan 3) menggunakan penemuan ilmiah yang telah mapan.[45] Kehati-hatiannya ini terlihat dalam tafsirnya al-Mishbah, di mana dia banyak menggunakan rujukan yang validitas ilmiahnya dapat dipertanggungjawabkan seperti tafsir al-Muntakhab yang disusun oleh para pakar yang terdiri atas ulama dan ilmuwan Mesir.[46]
Namun, sekali lagi, syarat yang dikemukakan Quraish Shihab terhadang oleh faktor subyektifitas mufasir. Konteks ayat (siyâq al-âyat) dimaksud adalah makna semantik yang dikandungnya serta keterkaitan ayat dan korelasinya dengan yang lain, baik dengan yang sebelumnya (sibâq al-âyat) maupun sesudahnya (lihâq al-âyat). Boleh jadi ‘kesan’ yang ditangkap seorang mufasir akan berbeda dengan mufasir lainnya. Dalam bukunya, Membumikan Alquran, Quraish Shihab keberatan dengan pandangan sementara orang yang menjadikan ayat 33 surah al-Rahman, ‘Wahai sekalian manusia dan jin, bila kamu sekalian sanggup keluar dari linngan langit dan bumi untuk melarikan diri dari kekuasaan dan perhitungan yang Kami adakan, maka keluarlah, sedang kalian tidak mempunyai kekuatan’, sebagai dasar untuk membuktikan bahwa Alquran membicarakan persoalan angkasa luar. Alasannya, menurut Quraish Shihab, penafsiran seperti itu menyalahi konteks ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, di mana sebenarnya konteks ayat-ayat tersebut adalah membicarakan persoalan di akhirat.[47]
Hemat penulis, berdasarkan teori yang dikemukakan Abdulah Diraz, seorang pakar Alquran Mesir, yang menyatakan bahwa setiap surah terdiri atas; mukaddimah, batang tubuh dan penutup, ayat tersebut masih berbicara dalam konteks keduniaan. Seperti diketahui dari namanya, substansi surah al-Rahman terletak pada pernyataan beberapa nikmat Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Rahmân) yang sepatutnya disyukuri oleh manusia. Karenanya, setiap kali nikmat itu disebut Allah mengingatkan dengan ungkapan, “Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” [48] Nikmat-nikmat tersebut terdapat di dunia dan akhirat. Dua kehidupan itu dibatasi dengan terjadinya kiamat yang ditandai, di antaranya, dengan terbelahnya langit. Demikian agungnya nikmat-nikmat tersebut, maka sangatlah pantas jika Tuhan memulainya dengan menyebut nama-Nya yang paling agung setelah lafzh al-Jalâlah (Allâh), yaitu al-Rahmân (lihat ayat 1) dan menutupnya dengan mengingatkan kembali keagungan nama Tuhan Yang mempunyai kebesaran dan karunia. (lihat ayat 78).
Pemahaman ini didukung oleh keserasian penyebutan ayat-ayatnya. Misalnya, mulai ayat 2 sampai ayat 36 (sebanyak 35 ayat), Allah menyebutkan beberapa nikmat duniawi, baik di darat (lihat ayat 2, 3, 5, 6, 10, 11, 12, , 14, dan 17), di laut (lihat ayat 19, 20, 22, dan 24) maupun udara/ langit (lihat ayat 33 dan 35). Seluruh nikmat-nikmat tersebut akan terputus dengan terbelahnya langit yang menandai datangnya kiamat. (lihat 4 ayat berikutnya mulai ayat 37 sampai 40). Selanjutnya, penyebutan beberapa nikmat akhirat di mulai dari ayat 41 sampai 76 (sebanyak 36 ayat). Dari susunan ayat-ayat yang demikian serasi itu, diperoleh kesan bahwa ayat 33 di atas disebut masih dalam konteks pembicaraan nikmat-nikmat duniawi. [49]
Sehubungan dengan pentingnya memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan dalam menafsirkan Alquran, apalagi tafsir ilmiah, penulis mempunyai sebuah catatan. Berdasarkan sejarah, kaidah kebahasaan disusun jauh setelah Alquran turun, tepatnya ketika kualitas bahasa Arab menurun di kalangan pemakainya setelah meluasnya wilayah-wilayah yang dikuasai islam, sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan dalam membaca Alquran jika hanya melalui mushhaf. Dari sini dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, i`rab dan balaghah muncul untuk berkhidmat kepada Alquran.Timbul pertanyaan, apakah kaidah-kaidah yang disusun itu bersifat mutlak dan mengikat sehingga segala yang bertentangan dengan kaidah itu dalam memahami Alquran tidak dibenarkan? Hemat penulis, agaknya kurang bijak jika menundukkan pemahaman Alquran kepada kaidah-kaidah tersebut secara mutlak. Sebab tidak jarang ditemukan dalam Alquran pertentangan antara kaidah kebahasaan dan tuntutan pengertian makna. Dalam hal ini, Jalaluddin al-Suyuthi, seorang pakar ilmu-ilmu keislaman klasik (849-911 H.), menyatakan pengertian makna hendaknya dikedepankan. Misalnya, ayat 8 dan 9 surah al-Thâriq yang berbunyi: Innahu `alâ raj`ihi laqâdir, yawma tubla al-sarâ’ir (Sesungguhnya Ia untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati) benar-benar mampu pada hari dinampakkan segala rahasia), secara makna berbunyi: Innahu `alâ raj`ihi  yawma tubla al-sarâ’ir laqâdir. (Sesungguhnya Ia untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati) pada hari dinampakkan segala rahasia benar-benar mampu). Secara kebahasaan makna ini tidak dapat dibenarkan, karena kata yawm yang menjadi ma`mûl bentuk mashdar kata raj`ihi dipisahkan oleh kata laqâdir. Karena itu di kalangan para ahli tafsir timbul istilah tafsîr al-i`râb yang memperhatikan kedudukan sintaksis ayat dan tafsîr al-ma’na. Menurut mereka bukan persoalan jika ‘terpaksa’ tafsîr al-ma’na bertentangan dengan kaidah sintaksis. [50] Bahkan, menurut Dr. Abdul Ghafur Musthafa, guru besar tafsir dan dosen penulis di Al-Azhar, dalam hal ini perlu dicarikan kaidah pengecualian (qâ`idah istitsnâ’iyyah).[51]
Dari sini penulis berkeberatan dengan apa yang dikemukakan Quraish Shihab ketika ia cenderung menganggap keliru terjemahan ayat 22 surah al-Hijr oleh Tim Departemen Agama dengan, Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit. Alasan Quraish, seperti dikemukakan dalam Membumikan Alquran, terjemahan di atas tidak didukung oleh fa ‘anzalnâ min al-samâ mâ’â yang seharusnya diterjemahkan dengan maka Kami turunkan hujan. Menurutnya, dengan huruf seharusnya ada hubungan sebab dan akibat antara fungsi angin dengan turunnya hujan. Sehingga ayat di atas lebih tepat dikatakan sebagai informasi tentang fungsi angin dalam menurunkan hujan.[52] Quraish Shihab, seperti disampaikan dalam sebuah diskusi dengan penulis dan jamaah Masjid Indonesia di Kairo, juga keberatan dengan alasan yang penulis sampaikan bahwa dalam bahasa Arab, huruf tidak hanya bermakna menerangkan kaitan sebab dan akibat, tetapi juga bisa berfungsi sebagai ‘athf  yang dalam bahasa Indonesia sering diartikan dan. Menurut Quraish Shihab, huruf fa dengan pengertian dan menyalahi kaidah yang umum.
Dalam hemat penulis, kedua makna tersebut boleh jadi sama-sama dikandung oleh ungkapan ayat di atas. Selain huruf fa, seperti kata beberapa ulama, dapat berfungsi sebagai `athf yang di antaranya bermakna dan,[53] kata lawâqih dalam ayat di atas yang terambil dari kata laqaha sering digunakan untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan, binatang, juga manusia,[54] atau yang sering disebut inseminasi. Maka, sekali lagi, terjemahan DEPAG di atas dapat juga dibenarkan seperti halnya pemahaman Quraish Shihab. Dalam hal ini Dr. Ahmad Al-Ghamrawy, seorang pakar tafsir ilmiah Alquran Mesir, mengatakan, “Penafsiran Alquran hendaknya tidak terpaku pada satu makna. Selama ungkapan itu mengandung berbagai kemungkinan dan dibenarkan secara kebahasaan maka boleh jadi itulah yang dimaksud Tuhan.” [55] Sebelum itu, Ibnu Jinniy, seorang pakar bahasa Arab, dalam kitab al-Khashâ’ish (2/488) membolehkan kemungkinan satu kata atau ungkapan mengandung sekian makna, sampai pun kemungkinan makna itu sedikit jauh (lemah).
             
Wa Akhîran
Seberapa pun kata yang terucap, dan sebanyak apa pun yang terungkap, penulis tidak yakin dapat menggambarkan pemikiran Quraish Shihab secara utuh. Mobilitasnya yang tinggi, baik dalam sikap dan fikiran, membuatnya setiap saat dapat berubah. Betapapun dia adalah manusia yang boleh jadi salah dalam berijtihad. Namun, bukankah air jika telah mencapai dua kullah, tidak akan terpengaruh jika tercampur oleh najis? Wallahu a’lam.

Hayy al-Asher, 20 Juli 2001











* Disampaikan pada Acara Seminar Sehari “Kontribusi Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab dalam Pengembangan Tafsir Alquran di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Alquran Kairo, pada hari Selasa, 24 Juli 2001, di Aula Wisma Nusantara Kairo.
** Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Alquran Universitas Al-Azhar Kairo.
[1] Makalah Seminar Pemikiran Quraish Shihab, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat Jakarta, 28 September 1996.
[2] Lihat sekilas tentang sejarah hidupnya dalam Membumikan Alquran, Mizan, 1992, hal. 14
[3] Diriwayatkan oleh murid beliau, Abdullah bin Ahmad al-Farghâniy dalam bukunya, Al-Shilat, yang merupakan lanjutan dari Târîkh Ibnu Jarîr. Ia mengatakan, setelah meninggal, beberapa murid al-Thabari mengumpulkan karya-karyanya dan membagi jumlah halamannya dengan hari-hari dalam hidupnya. Ditemukan bahwa dalam setiap harinya dia menulis sedikitnya 14 lembar. Seperti diketahui, al-Thabariy dilahirkan pada tahun 224 H dan meninggal tahun 310 H. Berarti di hidup selama 86 tahun, dan jika masa akil-balighnya tidak dihitung berarti tersisa 72 tahun. Jika hari-hari dalam 72 tahun dikalikan dengan 14 maka berarti jumlah karyanya sebanyak 358.000 lembar. (Qîmat al-Zaman `inda al-Ulamâ, Abdul Fattah Abu Ghuddah, Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, Halab, Cet. 8, 1998, hal. 43)   
[4] Lihat Pengantar Penerbit buku Secercah Cahaya Ilahi.
[5] Howard M. Fiderspiel, Kajian Alquran di Indonesia, Mizan, hal. 298
[6] Hemat penulis, menyebut metode ini dengan istilah mawdhi`iy (sesuai tempat atau posisi ayat yang berurutan) lebih tepat. Menyebutnya dengan tahlily, dengan pengertian analisis, terasa tumpang tindih dengan yang dikenal sebagai metode maudhu’iy (tematis atau topikal). Sebab karya-karya modern, meski banyak yang disusun sesuai dengan urutan mushaf tidak lagi mengurai penjelasan secara rinci. Bahkan tema-tema persoalan umat banyak ditemukan tuntas dalam karya seperti al-Manar. Demikian pula, metode maudhu’iy yang berkembang saat ini, meski jarang menggunakan analisis gramatikal dan lainnya, juga masih memerlukan analisis dengan teori-teori ilmu sosial modern misalnya.
[7] Buku ini telah direvisi ulang dengan beberapa tambahan seperti penjelasan tentang maut, keniscayaan kiamat, Mîzân, Shirâth dan sebagainya yang berkenaan dengan kehidupan setelah mati. Hingga kini edisi revisi tersebut belum beredar, hanya saja penulis mengetahuinya karena kebetulan dipercaya untuk memeriksa tulisan tersebut sebelum dicetak.
[8] Sejak pertama kali diterbitkan, Februari 1994, hingga November 1998, buku ini telah mengalami cetak ulang sebanyak 15 kali. Rata-rata setiap tahunnya 3 kali dicetak.
[9] Dustûr al-Akhlâq Fî al-Qur’ân, Dr. M. Abdullah Diraz, Edisi Bahasa Arab oleh Dr. Abd. Shabur Syahin, Muassasah al-Risalah, Kairo, 1991 hal. 1. Ungkapan yang hampir sama juga ditulis oleh Imam al-Ghazali  ketika menjelaskan kelebihan kitabnya, Ihyâ Ulûm al-Dîn. (Lihat Ihyâ Ulûm al-Dîn, Dar al-Khair, Beirut, 1993, 1/9)
[10] Tafsir al-Manar, M. Rasyid Ridha, Dâr al-Fikr, Beirut, 1/24
[11] Ibid, 1/26
[12] Ibid, 1/24
[13] Lihat Secercah Cahaya Ilahi, 302-306, Membumikan Alquran, hal. 245-252
[14] Dalam Alquran banyak sekali disebutkan penjelasan tentang pelaku suatu perbuatan/peristiwa, tempat, sifat dan ciri seseorang atau sesuatu, bilangan dan sebagainya yang hanya disebut secara global, tidak dirinci. Misalnya kisah tentang orang yang hidupkan kembali setelah ‘dimatikan’ selama seratus tahun (Q.,s. Al-Baqarah [2]: 259), kisah Ashhâb al-Kahfi (Q.,s. al-Kahf [18]: 9-26) dan sebagainya. Oleh para pakar Alquran ini dinamai Mubhamât Alquran. (Rincian peristiwa atau berita yang disembunyikan).
[15] Tafsir Al-Mishbâh, 1/522
[16] Tafsir Al-Mishbâh ketika menfasirkan Q.,s. Al-Kahf [18]: 9-26. Sampai makalah ini ditulis, bagian ini belum diterbitkan. Penulis mengutipnya dari naskah sebelum dicetak yang ada di tangan penulis, karena kebetulan penulis dipercaya untuk memeriksanya sebelum dicetak.
[17] Lihat penjelasannya dalam Lentera Hati, 442, Membumikan Alquran, 370
[18] Misalnya, terhadap ayat 120 surah Al-Baqarah [2] yang berbunyi: Wa lan tardhâ ‘ankal- Yahûd wa lam Nashârâ hatta tattabi`a millatahum (orang-orang Yahudi dan Nasrani tidakakan rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama/ tata cara mereka). Lebih jauh lihat penjelasannya tentang Ahl al-Kitâb dalam Wawasan Alquran, 347
[19] Komaruddin Hidayat, Membaca Sosok Quraish Shihab, Makalah Seminar Pemikiran Quraish Shihab, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat Jakarta, 28 September 1996
[20] DR. M.I. Syarif, Ittijahat al-Tajdid fi Tafsir al-Qur’an al-Karim fi Mishr, hal. 68
[21] Lihat Richtungen der Islamischen Koranauslegung, terjemah bahasa Arab oleh Abdul Halim al-Najjar, Madzahib al-Tafsir al-Islami hal.
[22]Diskrsus Tafsir Alquran Modern, hal.
[23] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Ct. 9, 1997, hal. 652
[24] Lihat misalnya, Iffat. M. Syarkawi, Ittijâhât al-Tafsîr fil ‘Ashril Hadîts, J.J.G. Jansen dalam karyanya, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt dan DR. M. Ibrahim Syarif dalam karyanya, Ittijâhât al-Tajdîd fi tafsir al-Qur’ân al-Karim fî Mishr.
[25] DR. M. Ibrahim Syarif, Ittijâhât al-Tajdîd fi tafsir al-Qur’ân al-Karim fî Mishr, 254
[26] Mukaddimah Tafsir al-Manar, 1/21-24
[27] Amin al-Khuli, Manâhij al-Tajdîd, 223-225. Apa yang disampaikan Al-Khuli sebagai prinsip-prinsip tafsir adabiy diringkas oleh isteri sekaligus muridnya, Bintu Syathi, dalam mukaddimah bukunya At-Tafsîr al-Bayâniy, ke dalam empat poin:
1. Prinsip utama metode ini adalah memahami Alquran secara tematis, yaitu dimulai dengan mengumpulkan surah atau pun ayat menyangkut tema tertentu yang akan dibahas.
2.   Dalam memahami yang berkenaan dengan al-nash (teks), ayat-ayat tersebut disusun berdasarkan urutan turunnya untuk mengetahui kondisi ruang dan waktu yang meliputinya. Riwayat-riwayat menyangkut sebab nuzul juga diperlukan, dengan tidak mengesampingkan kaidah bahwa yang dijadikan pegangan adalah lafalnya yang umum bukan sebabnya yang khusus (al-`ibrah bi`umûm al-lafzh lâ bikhushûsh al-sabab).
3. Untuk memahami denotasi (dalâlah) atau makna semantik suatu kata harus ditelusuri terlebih dahulu penggunaan kata tersebut dalam berbagai penggunaannya, majaz atau hakiki, kemudian ditelusuri penggunaannya dalam Alquran.
4. Untuk memahami rahasia suatu ungkapan, seorang mufassir harus mengerti konteks ayat yang sedang dibahas dengan memperhatikan makna yang tersurat dan tersirat. Pendapat-pendapat para mufassir hanya digunakan bila sesuai dengan yang dikandung oleh teks tersebut. (At-Tafsîr al-Bayâniy Li-l Qur’ân al-Karîm, Bintu Syathi, Dar al-Ma`arif, Kairo, 1/10)  
[28]  Dirâsât fil Qur’ân, Sayyid A. Khalil, hal. 148
[29] Lihat pengantar Manhaj al-Imâm Muhammad Abduh Fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, karya Dr. Abdullah M. Syihatah, Jami’ah al-Qahirah, 1984, oleh Syeikh Abu Zahrah.
[30] Wawasan Alquran, Quraish Shihab, xii
[31] Lihat Mukaddimah Tafsir al-Mishbah, 1/xii
[32] DR. M. Ibrahim Syarif, Ittijâhât al-Tajdîd fi tafsir al-Qur’ân al-Karim fî Mishr, 262
[33] Buku ini telah dicetak dalam 8 jilid oleh Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.
[34] Lihat misalnya, penjelasannya tentang munâsabât pada mukaddimah setiap surah (a.l. Al-Baqarah dalam al-Mishbah 1/79, Alu Imrân, dalam al-Mishbah, 2/3) dan perpindahan tafsir dari satu ayat ke ayat lainnya. Dalam banyak tempat dia juga banyak mengutip pendapat ulama modern seperti Ibnu Asyur dalam Al-Tahrîr Wa al-Tanwîr, M. Sya’rawi dalam Khawâthir-nya, Thabathaba’iy dalam al-Mîzân, Sayyid Quthub dalam Zhilâl-nya dan ulama lainnya yang juga sukses menerapkan kaidah ini dengan baik.
[35] Mukaddimah Tafsir al-Mishbah, 1/ix
[36] Lihat misalnya, Tafsir Al-Qur’ân al-Karim, 786
[37] Ibid, hal 52,  199
[38] Ibid, hal. 83-85
[39]Tafsir Sûrat al-Nisâ, Diktat Kuliah Fak. Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo,  47. Bandingkan juga Dr. M. Ismail Abduh, Mawqif al-Qur`ân al-Karîm min al-Musyrikîn qabla al-Hijrah, Manuskrip Fak. Dârul Ulûm, Kairo 1957.
[40] Dr. Abdurrahman Badawi, Difâ’ `an al-Qur’ân dhidd Muntaqidîh, Al-Dâr al-Ilmiyyah, Kairo, 109
[41] Lihat, Manâhij Tajdîd, karya Amin al-Khuli, 219, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, karya Mahmud Syaltut,
[42]  Quraish Shihab, Membumikan Alquran, hal. 60
[43]  Manâhij at-Tajdîd, M. Amin Al-Khuli, 221
[44] Pengajian Bulanan Masjid Indonesia Kairo, 5 Mei 2001 dengan pemakalah Muchlis M. Hanafi dan nara sumber Dr. M. Quraish Shihab.
[45] Membumikan Alquran, 107-109
[46] Lihat, misalnya, penafsirannya tentang kulit manusia yang diisyaratkan oleh Q.,s. An-Nisa: 56 (Al-Mishbah, 2/454), proses terjadinya susu (Tafsir Q.,s. An-Nahl: 66), khasiat madu (Q.,s. An-Nahl: 69).
[47] Lihat Membumikan Alquran, 55
[48] Ungkapan ini terulang dalam Q.,s. Al-Rahmân sebanyak 31 kali. (Lihat misalnya, ayat 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, … dst.)
[49] Keserasian penyebutan kata/ kalimat dan ayat dalam Alquran, oleh Badi`uzzaman Sa`id Al-Nursiy, mufassir dan pembaharu Islam abad ke-20 di Turki, disebut sebagai I`jâz al-Tawâfuqiy.
Selain alasan di atas, beberapa pakar Alquran mengatakan bahwa memahami ayat di atas sebagai menyangkut keadaan di akhirat adalah kurang tepat karena beberapa alasan berikut:
1.          Di akhirat kelak, langit dan bumi sudah berubah, bahkan mungkin sudah tidak ada lagi. (Q.,s. Ibrahim: 48)
2.          Langit dan bumi pada ayat tersebut adalah yang ada di dunia ini, sehingga dalam rangkaian ayat berikutnya, pada ayat 37, setelah tantangan untuk melarikan diri dan ancaman bunga api (ayat 34-35), Tuhan menjelaskan keadaan di akhirat dimana saat itu langit terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak.
3.          Di akhirat tidak akan ada seorang pun, jin atau manusia, yang bisa melarikan diri dari ‘genggaman’ Tuhan. (Q.,s. Al-Qiyamah: 10-12), karena itu tantangan untuk bisa menembus langit dan bumi di akhirat kelak adalah suatu hal yang mustahil.
4.          Ayat 35 tentang pengiriman bunga api dan cairan tembaga tidak berarti usaha keluar dari lingkungan langit dan bumi akan gagal. Itu hanya sekadar peringatan dari Tuhan agar berhati-hati, dan karena itu harus disyukuri. “Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan.” (ayat 36). Peringatan bunga api itu boleh jadi berupa meteor atau  jutaaan komet yang ‘berenang’ di tata surya kita atau lainnya yang selalu mengancam keselamatan misi antariksa. Wallahu A’lam.
[50] Lihat Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqân Fî Ulûm al-Qur’ân, Dar Ibnu Katsir, Beirut, Cetakan III, 1996, Vol. I/584.
[51] Disampaikan dalam sebuah kuliah tentang tafsir yang penulis ikuti di program pascasarjana Al-Azhar pada tahun 1998.
[52] Membumikan Alquran, 135
[53] Lihat Al-Suyuthi dalam Al-Itqân, I/526
[54] Kamus Al-Wasîth, Terbitan Majma’ al-lughah Mesir, 834
[55] Dr. Ahmad Al-Ghamrawy,  Al-Islam fî ‘Ashr al-‘Ilm, 294