AL AKHRUF AL SAB-AH


AL-AHRUF AL-SAB’AH

Telaah Kritis atas Hadits-hadits al-Ahruf al-Sab’ah
 dalam Prespektif Ulama*



Prolog.
            Al-ahruf al-sab’ah merupakan salah satu cabang pembahasan ilmu al-Quran. Keberadaannya yang sangat urgen dalam sejarah al-Quran mendorong banyak sarjana baik dari kalangan umat Islam maupun Orientalis untuk mempelajari dan membahas hakikat dari al-Ahruf al-Sab’ah itu. Sudah banyak pendapat yang dilontarkan oleh para ulama tentang maksud dari beberapa riwayat al-Ahruf al-Sab’ah seperti yang dikatakan imam Suyuthi bahwa perbedaan ini mencapai hingga sekitar empat puluh pendapat. Sedang menurut Ibnu Hibban perselisihan pendapat yang terjadi dikalangan ulama klasik terdapat sekitar tiga puluh pendapat yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itu memberikan ilustrasi kepada kita bahwa alangkah sulit dan bahayanya pembahasan al-Ahruf al-Sab’ah ini. Kita katakan bahaya karena kesalahan pahaman  pembahasan dalam masalah ini bisa berakibat fatal terhadap al-Quran itu sendiri, bahkan hal tersebut bisa dijadikan bumerang oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan dasar utama umat Islam itu. Oleh karenanya tidak berlebihan kalau sekiranya Imam Zarqoni berkata:”… pembahasan ini mengerikan dan rumit, karena bisa memunculkan  bermacam-macam pendapat, sehingga terpetik dihati sebagian ulama bahwa pembahasan al-Ahruf al-Sab’ah termasuk permasalahan yang sangat sulit untuk bisa difahami (baca: musykil), dan kesalahan dalam permasalahan ini bisa membuka pintu bagi musuh-musuh islam untuk melontarkan tuduhan-tuduhan negatif terhadap al-Quran”1. begitu pula statemen Ibnu al-Arabi sebagaimana diceritakan oleh Imam al-Zarkasi dalam karyanya al-Burhan: Bahwa tidak di temukan dalil, baik dari nash maupun atsar yang menjelaskan tentang pengertian al-Ahruf al-Sab’ah itu2.
            Namun karena didasari keinginan untuk mengetahui lebih jauh dan kewajiban sebagai seorang akadamis, kita harus memberanikan diri dalam kajian-kajian seperti itu, walaupun nantinya terdapat beberapa kesalahan, karena dari kesalahan itulah kita mungkin akan mendapatkan seberkas sinar kebenaran. Wallahu al-musta’an.

Pengantar pemahaman tentang al-Ahruf al-Sab’ah.
            Sebelum kita memasuki pokok pembahasan dan menelaah beberapa hadits yang berkaitan dengan al-Ahruf al-Sab’ah, ada baiknya kita pahami dahulu beberapa point dibawah ini, karena dari situ, kita harapkan peta kajian terhadap al-Ahruf al-Sab’ah bisa lebih jelas bagi kita.

Perkembangan bahasa arab
            Seperti kita ketahui bersama bahwa  lingkungan dan keturunan sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Begitu pula, kedua faktor ini mempunyai pengaruh dan andil besar dalam perkembangan suatu bahasa. Bahasa arab sebagai salah satu bahasa semit telah mengalami perkembangan dan dialek yang bermacam-macam sesuai lingkungan yang ada. Sistem kesukuan yang dianut oleh bangsa Arab mengakibatkan terjaganya dialek setiap suku, karena setiap anggota suku terpanggil untuk mempertahankan karatistik kesukuannya termasuk bahasa mereka. Namun hal itu tidak menghalangi akan terjadinya transformasi bahasa dan kemiripan dialek diantara suku-suku yang berdekatan secara geografis. Sebelum Islam datang, di Jazirah Arab sudah terkenal adanya beberapa dialek bahasa Arab, misalnya di bagian timur terdapat dialek Tamim, Asad dan Qoish, sebelah barat  terdapat dialek Madinah, Khoibar, Quraish dan Bani Bakr, adapun dibagian selatan Jazirah Arab terkenal dengan dialek Humair. Berkat rahmat Allah swt. Ka’bah yang berada di tengah-tengah kota Makkah menjadi tempat pusat perkumpulan dan transit para saudagar dan peziarah dari berbagai kabilah-kabilah Arab terutama di musim-musim haji, dari situlah muncul ide pembentukan pasar di tempat-tempat manasik. Pasar ini, selain digunakan untuk transaksi jual beli, juga digunakan untuk festival syair dan khitobah. Suku Quraisy sebagai penguasa tanah suci dan penjamu para hujjaj dan peziarah pada waktu itu, secara otomatis dari adanya pertemuan para suku-suku tersebut terjadilah proses asimilasi bahasa. Maka masuklah kedalam bahasa Quraisy beberapa unsur dialek suku-suku lain. Oleh karena itu ketika terjadi “festival kebudayaan” dipasar ‘Ukadz, Majinnah dan Dzil Majaz, mereka dalam berdialog menggunakan bahasa fushah yang telah mereka ketahui bersama yaitu bahasa Quraisy yang merupakan induk bagi dialek-dialek lainnya, bahkan sebagian penyair mereka sudah enggan untuk memakai dialek mereka. Karena keistimewaan itulah, Allah swt. Menurunkan al-Quran dengan bahasa Quraisy yang mengandung gaya bahasa dan sastra yang tinggi dalam rumpun bahasa arab3.

Latar belakang sosiologis turunnya al-Ahruf al-Sab’ah
Al-Quran pada periode Makky, memakai satu huruf yaitu bahasa Quraisy. Dengan sendirinya Rosulullah saw. Dan para sahabat tidak menemukan kesulitan yang berarti dalam membaca dan memahami isi kandungan al-Quran. Bahkan al-Quran yang datang dengan gaya bahasa dan sastra yang tinggi mampu memikat hati para pemuka Arab, sampai-sampai diantara mereka ada yang mengatakan bahwa al-Quran adalah sihir, ini di karenakan ketidakmampuan mereka membuat suatu tandingan terhadap al-Quran. Dari sinilah tidak di temukan problem yang berarti terhadap teks-teks al-Quran pada periode Makkah.4 Ketika Rosulullah saw. dan para sahabat hijrah ke Madinah, situasi dan kondisi telah berbeda jauh dengan apa yang ada di Makkah dimana banyak orang berbondong-bondong masuk Islam dari berbagai  kalangan yang berbeda-beda, diantara mereka ada yang lanjut usia dan tidak mengerti tulis baca sehingga mendapatkan kesulitan dalam pengucapan al-Quran. Dari beberapa fenomena diatas, maka muncullah perbedaan-perbedaan dialek dalam membaca al-Quran yang sebelumnya hal tersebut tidak terjadi pada periode Makki.5

Telaah kritis sanad hadist.
Jumlah sahabat yang meriwayatkan al-Ahruf al-Sab’ah seperti yang dicatat oleh Imam al-Suyuthi di dalam al-Itqon ada sebanyak 21 sahabat.6 Namun pada kenyataannya ada 24 sahabat.7 Nama-nama sahabat itu adalah sebagai berikut: Ubay bin Ka’ab, Anas bin Malik, Khuzaimah bin al-Yaman, Zaid bin Arqom, Samuroh bin Jundub, Sulaiman bin Syurod, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Abdurrahman bin Auf, Umar bin Khottob, Amr bin abi Salmah, Amr bin Ash, Muadz bin Jabal, Hisam bin Hakim, Abi Bakroh, Abi Jahm, Abi Said al-Khudri, Abi Tolhah al-Ansori, Abi Hurairah, Abi Ayyub, Utsman bin Affan, Abdullah bin Umar, Ubadah bin Shomit dan Ummu Ayyub. Dalam musnad al-Hafidz Abu Ya’la8 terdapat suatu riwayat yang menerangkan bahwa pada suatu hari ketika Utsman bin Affan r.a sedang berdiri diatas mimbar beliau berkata: “aku teringat kepada seseorang yang mendengar sendiri Rosulullah saw bersabda: al-Quran itu diturunkan dalam tujuh huruf, semuanya benar dan cukup”. Setelah Utsman bin Affan turun dari mimbar dan semua hadirin berdiri menyatakan kesaksian mereka atas kebenaran yang diucapkannya itu, saat itu Utsman menegaskan “dan aku menjadi saksi bersama kamu sekalian”. Dari jumlah perawi yang begitu banyak kita bisa memastikan kemutawatiran hadits al-Ahruf al-Sab’ah sebagaimana telah dipertegas oleh Abu Ubaid al-Qosim bin Salam dalam riwayat diatas.9 Walaupun pendapat ini tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Dr. Shubhi Shaleh bahwa hanya sebagian ulama yang mengatakan kemutawatiran hadits al-Ahruf al-Sab’ah bahkan setandar kemutawatiran dikatakan tidak terpenuhi dalam generasi selanjutnya10.Ala kulli hal kevalitan hadits al-Ahruf al-Sab’ah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ia benar-benar diucapkan oleh Rasulullah saw.
Jumlah sanad hadits al-Ahruf al-Sab’ah sebanyak empat puluh enam (46) sanad yaitu dua puluh (20) sanad pada  riwayat Ubay bin Ka’ab, tujuh (7) sanad pada riwayat Ibnu Masud, empat (4) sanad pada riwayat abu Hurairah, tiga (3) sanad  pada riwayat Ummu Ayyub, begitu juga pada riwayat Ibnu Abbas, dua (2) sanad terdapat pada riwayat Umar dan Ibnu Umar dan satu masing-masing untuk Zaid bin Arqom, Abi Tolhah, Abi Jahm, Abi Bakroh, Ibnu Syurod, Ibnu Dinar dan Abi al-Aliyah. Diantara sanad- sanad tersebut tidak ada yang dlo’if kecuali delapan sanad selainnya 38 shohih. Begitu juga semua sanad muttasil kecuali hanya empat saja walaupun pada dasarnya penyandaran hadits tersebut terhadap para sahabat benar karena makna hadits tersebut telah di kuatkan dengan hadits-hadits muttasil. Keempat riwayat hadits yang tidak muttasil sanadnya adalah: riwayat Ibnu Abi ya’la, Ibnu Syuroth, Ibnu Dinar dan Abi Ya’la11. Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa hadits al-Ahruf al-Sab’ah dilihat dari segi sanadnya menunjukkan kemutawatiran hadits tersebut. Maka pendapat yang mengatakan hadits tersebut tidak memenuhi setandar kemutawatiran pada generasi selanjutnya, adalah kurang benar. Karena menurut hemat penulis dengan adanya berbagai macam sanad yang sampai pada kita menunjukkan bahwa hadits tersebut tetap mutawatir pada generasi berikutnya.

 

Telaah kritis matan hadist

Adapun keritik hadits yang berhubungan dengan matan, Dr. Abdusshobur Syahin mengatakan bahwa semua matan benar kecuali sekitar riwayat palsu yang disandarkan kepada Zaid bin Arqom yang mana sebelumnya telah ditegaskan kedlo’ifan sanadnya. Dugaan pemalsuan yang dilakukan oleh sebagian kelompok Syi’ah ini, bisa ditinjau dari dua sebab;
1.Terlihat pada riwayat tersebut Ali Karromallahu Wajjah menjawab problem yang terjadi dengan sendirian tanpa Rosulullah saw, padahal pada kejadian tersebut terdapat Rosulullah saw yang semestinya beliau lebih berhak menjawabnya. Ini apa bila diterima kevalidan hadits tersebut, karena kita temukan pada riwayat Ibnu Masud dimana terlihat Ali dan Rosulullah saw bersama-sama dalam pembicaraan.

2.Zaid bin Arqom merupakan salah satu sahabat yang tinggal di Kufah. Pada masanya, terjadi pergolakan politik antara Syi’ah dan pemerintahan Muawiyah maka tidak menutup kemungkinan sebagian orang Syi’ah memalsukan namanya guna kepentingan politik mereka12       
 Menurut hemat penulis setelah melihat kembali nash hadits yang terdapat pada tafsir Ibnu Jarir13, kurang setuju kalau dikatakan bahwa matan hadits Zaid bin Arqom telah di politisir oleh sebagian orang Syi’ah walaupun sepakat bahwa hadits ini dloi’f dalam segi sanad. Hal tersebut di karenakan beberapa alasan antara lain:
1.Sebagaimana disebut Ibnu Jarir pada riwayat Ibnu Mas’ud di mana jawaban Ali Karromallahu Wajhah terhadap perselisihan bacaan tersebut di peroleh dari Rosulullah14, begitu juga ada kemungkinan pada riwayat Zaid bin Arqom bahwa jawaban Ali sebenernya diperoleh dari Rasulullah namun sayang rawi tidak menyebutkannya dan ini bisa terjadi karena rawi bisa saja hanya menyampaikan nilai-nilai hadits tanpa melihat perincian cerita dan kejadian. Dalam istilah Muhadditsin hal ini sering di sebut dengan riwayat bil ma’na.

2.Kemungkinan lain adalah bahwa jawaban tersebut memang dari Ali kw. Namun telah memperoleh legitimasi dari Rasulullah saw. Ini dikuatkan penggalan nash hadits yang berbunyi ” …..Nabi saw berdiam dan Ali berada di sampingnya kemudian berkata…. “ kalau seandainya jawaban itu salah tentunya Rasulullah akan langsung menegurnya, dalam istilah Muhadditsin hal tersebut di kenal dengan hadits bi al-taqrir. Dengan adanya beberapa kemungkinan di atas, maka istidlal Dr.Shobur Syahin pada matan hadits tersebut –yang di katakana palsu- tidak bisa di terima. Seperti kita ketahui bersama pada ada suatu kaidah yang mengatakan” apabila ada suatu dalil mengandung beberapa kemungkinan maka dalil tersebut tidak bisa di jadikan suatu tendensi”. Wallahu ‘Alam.
Kita akui disana terdapat pengulangan atau paling tidak kemiripan redaksi hadits dalam beberapa riwayat, hal ini tidak ada pengaruh serius terhadap kevalidan riwayat hadits tersebut, karena tidak menutup kemungkinan berulangnya suatu “kasus” dalam kesempatan yang berbeda-beda sehingga menuntut suatu solusi yang kadang mirip dengan solusi sebelumnya. Sebagai contoh kita dapat melihat dalam riwayat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Abi Hurairah. Adapun rahasia pengulangan yang terdapat pada riwayat Ubay bin Ka’ab dalam berbagai kesempatan dikarenakan ia termasuk salah satu sahabat yang banyak menemukan “kasus” di samping  perhatiannya yang tinggi terhadap periwayatan hadits. Oleh karena itu kita tidak menemukan satupun riwayat dlo’if dalam sanad-sanadnya.15        

Telaah terhadap hadits –hadits al-Ahruf sab’ah.
            Seperti telah kita singgung sebelumnya,tentang beberapa hal penting yang berhubungan dengan periwayatan nash-nash hadits ahruf sab’ah,maka pembahasan kita ini kurang obyektif apabila tanpa menelaah kembali nash-nash tersebut .Namun perlu di ketahui bahwa penulis disini menghadirkan beberapa hadits saja yang bisa mewakili riwayat lain serta bisa menjadi bahan pertimbangan ketika mengambil suatu kesimpulan .
1.Hadits yang diriwayatkan oleh a`immah sittah, dalam riwayat Bukhari ,Umar bin Khottob berkata ,“Pada suatu hari ,semasa rasulullah masih hidup ,aku mendengar Hasyim bin Hakim membaca surat al-Furqan,dan aku mendengarkan baik-baik bacaannya, tapi tiba-tiba ia membaca beberapa huruf yang tidak pernah aku dengar dari Rasulullah, sehingga aku hampir mengingkarinya ketika ia sedang shalat. Akhirnya aku tunggu sampai ia mengucapkan salam, setelah itu aku menarik bajunya lalu kutanya ,”siapa yang membacakan surat itu kepadamu? Iapun menjawab:Rasulullah yang membacakannya kepadaku.Akupun berkata kepadanya,”engkau berdusta! demi Allah , Rasulullah tidak membacakan surat itu kepadaku seperti apa yang telah kamu baca. Hisyam bin Hakim akhirnya aku ajak menghadap Rasulullah,lalu aku bertanya : wahai Rasulullah aku mendengar orang ini membaca surat al-Furqan dengan huruf-huruf yang engkau bacakan kepadaku.Rasulullahpun menjawab,hai Umar lepaskan dia dan bacalah hai Hisyam! Hisyam lalu membaca surat al-Furqan sebagai mana yang aku dengar tadi. Kemudian rasulullah berkomentar,”demikianlah surat itu di turunkan”,Beliaupun melanjutkan perkataannya,”al-Qur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf ,karena itu bacalah mana yang mudah dari tujuh huruf.16
2. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannif dan Ahmad dalam Musnadnya dari Abi Hurairah dari ayahnya: Jibril berkata,”wahai Muhammad bacalah al-Quran dengan satu huruf”,maka Mikail berkata”mintalah tambah”,Jibrilpun berkata “bacalah dengan dua huruf “sehingga akhirnya sampai tujuh huruf, semuanya benar dan cukup seperti perkataanmu”halumma wa ta’al”selagi tidak diakhiri ayat adzab dengan ayat rahmat.17
3. Dari Ubay bin Ka’ab berkata:”Rosulullah saw bertemu dengan Jibril as. Pada suatu tempat bernama Ahjar al-Marwa beliau berkata: Hai Jibril sesungguhnya saya ini diutus kepada umat ummiyyin (baca: buta huruf) diantara mereka adalah budak laki-laki, perempuan, nenek, kakek-kakek dan orang yang sama sekali tidak pernah membaca buku. Jibril menjawab hai Muhammad sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf. (hadits riwayat Tirmidzi dan beliau berkata” ini adalah hadits hasan sohih”)18.
4  Dari Ubay bin Ka’ab berkata Jibril mendatangi Rosulullah di mana ketika beliau  sedang berada di tempat ‘Adlo’ah bani Ghoffar. Kamudian berkata:” hai Muhammad Allah telah menyuruhmu untuk membacakan al-Quran kepada umatmu denganmemakai tujuh huruf” (Hadits riwayat imam al-arba’ah)19.
5. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rosulullah saw berkata Jibril membacakan (al-Qur’an) kepadaku dengan memakai satu huruf kemudian saya meminta tambah sampai menjadi tujuh huruf (Hadits riwayat Bukhori Muslim)20.
            Dari nas-nas hadits di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Turunnya al-Quran dengan tujuh huruf, merupakan kemudahan bagi umat islam dimana banyaknya orang yang masuk islam dari berbagai golongan, usia, suku dan bahasa yang beragam mengakibatkan mereka mendapatkan kesulitan dalam membaca al-Quran. Maka ketika Rosulullah melihat fonomena seperti itu beliau meminta keringanan dari Allah sehingga turunlah al-Akhruf al-Sab’ah.
b. Mulai terjadinya pembacaan al-Quran dengan tujuh huruf setelah Rosulullah saw hijrah ke Madinah dengan alasan sebagai berikut:
·         Disebutkan dalam beberapa riwayat adanya dua tempat yaitu Ahjarul Mar’I dan Akhoh bin Akar dimana Rosulullah saw mendapatkan keringana tujuh huruf kedia tempat ini berada di Madinah.
·         Dalam salah satu riwayat Ubay bun Ka’ab disebutkan bahwa terjadi perselisihan terhadap bacaan surat an-nahl itu terjadi di masjid. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa masjid pertama kai dibangun adalah di Madinah.
·         Masuknya orang islam dari berbagai suku, dan dialek sdetelah Rosulullah saw hijrah ke Madinah seperti di gambarkan pada surat al-Nasr. Kita ketahui bersama surat al-Nasr tergolong surat al-Madaniyyah.
c. Adapun tentang kapan mulainya muncul bacaan tujuh huruf, menurut Dr. Sobur Sahin bahwa izin bacaan al-Quran dengan memakai tujuh huruf terjadi sekitar tahun 9 hijriyah dengan pertimbangan sebagai berikut:
·         Perselisihan yang terjadi antara Umar dan Hisyam tentang bacaan surat al-Furqon terjadi setelah penaklikan kota Makkah pada tahun 8 hijriyah (akhir bulan Romadlan)
·         Tidak masuk akal terjadinya perselisihan seperti itu sebelum Hisyam ke Madinah dan mendapat pelajaran dari Rosulullah saw, di mana Rosulullah saw kembali ke Madinah pada permulaan tahun 9 hijriyah, sejak itulah Hisyam mendapatkan didikan agama dan bacaan al-Quran.
·         Sesunguhnya Umar sebelum tahun itu tidak mengetahui adanya al-Ahruf al-Sab’ah apalagi sahabat lain. Karena permasalahan yang begitu penting tidak mungkin sahabat seperti Umar tidak mengetahuinya sebab Rosulullah sendiri tidak pernah merahasiakan permasalahan seperi itu terutama dengan orang-orang yang dekat seperti Umar.21
d. Yang di maksud sab’ah adalah hakikat bilangan yang terletak antara bilangan enam dan delapan. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa bilangan tujuh itu majaz dengan pengertian kelongaran rukhsoh, tidaklah benar. Karena jelas-jelas bertentangan nash hadits.22 
e. Perintah untuk membaca al-Qur’an dengan al-Ahruf al-Sab’ah adalah li al-Takhyir (baca: tidak wajib) oleh karena itu tidak ada larangan bagi yang membaca al-Qur’an dengan satu huruf seperti dalam nash hadits dikatakan “ dengan huruf apapun mereka baca, maka bacaan mereka adalah benar”.23
f. Al-Ahruf al-Sab’ah walaupun berbeda-beda namun kita harus menyakini bahwa semua itu datang dari Allah swt. Oleh karena itu setiap ada perselisihan antara sahabat tentang bacaan al-Quran mereka melapor kepada Rosulullah, maka Rosulullah membenarkan semua bacaan mereka, karena pada dasarnya semua dari Allah.

Al-Ahruf Al-Sab’ah dalam prespektif Syi’ah.
            Pandangan umat islam secara umum menerima adanya riwayat al-Ahruf al-Sab’ah terutama dari pihak ahlus sunnah wal-jama’ah, walaupun mereka sendiri berbeda-beda dalam menginterpretasikannya. Syi’ah sebagai salah satu madzhab islam ternyata mempunyai pandangan tersendiri tentang al-Ahruf al-Sab’ah. Untuk lebih jelasnya, kita angkat salah satu tokoh Syi’ah imamiyyah yaitu as-sayyid Abu al- Qosim al-Khu’i yang tidak menerima validitas hadits al-Ahruf al-Sab’ah seperti tertuang dalam karyanya yang berjudul al-Bayan fi tafsir al-Qur’an, walaupun tidak di pungkiri ada sebagian orang Syiah yang mau menerima tentang hadits al-Ahruf al-Sab’ah. Imam al-Khu’i dalam pembahasan al-Ahruf al-Sab’ah memulai dengan menghadirkan beberapa riwayat yang pada umumnya telah kita utarakan sebelumnya. Menurut Imam al-Khu’i hadits-hadits tersebut tidak valid, walaupun dari kacamata ahlussunnah benar bahkan sampai mutawatir. Karena hadits-hadits tersebut dalam pandangannya bertentangan dengan riwayat-riwayat imam Syi’ah yang ma’shum menurut versi mereka. Diantara riwayat tersebut adalah:
a.Dari Abi Ja’far as,  sesungguhnya beliau berkata” al-Quran itu satu, turun dari Tuhan yang Esa. adapun adanya perbedaan itu datang dari para rawi.            
b.Jawaban Abi Ja’far ketika ditanya al-Fudlail bin Yassaar tentang riwayat al-Ahruf     al-Sab’ah, beliau berkata “mereka(musuh-musuh Allah) telah berdusta,karena al-Qur’an itu diturunkan Allah yang maha Esa dengan satu huruf”.24
           Di samping pertentangan tersebut, al-Khu’i menolak riwayat al-Ahruf al-Sab’ah karena menurut tinjauannya dalam riwayat tersebut terdapat tanakudl (baca: kontradiksi) antara satu riwayat dengan lainnya. Dengan demikian riwayat-riwayat tersebut tidak mungkin dijadikan suatu landasan.
           Tanaqudl yang di maksud oleh al-Khu’i diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Jibril mengajarkan al-Qur’an kepada Rasul, dengan satu huruf kemudian rosul minta tambahan kemudian di tambah sampai tujuh huruf ini menunjukkan bahwa penambahan tujuh huruf itu terjadi secara bertahap. Namun riwayat lain mengatakan bahwa penambahan terjadi secara langsung pada tahapan ketiga. Bahkan satu riwayat menyebutkan bahwa Allah menyuruh membaca al-Quran dengan tiga huruf kemudian datang perintah tujuh huruf pada tahapan keempat.
2. Disebut dalam satu riwayat bahwa proses penambahan huruf terjadi dalam satu tempat dengan perantaraan Mikail kemudian Nabi meminta tambahan dari Jibril. Namun pada riwayat lain disebutkan bahwa Jibrillah yang mengulang-ulang sampai tujuh huruf.
3. Dikatakan pada satu riwayat bahwa Ubay sedang masuk masjid ketika melihat perselisihan bacaan kedua orang laki-laki. Padahal riwayat lain mengatakan bahwa Ubay berada di dalam masjid ketika terjadi perselisihan tersebut.
4. Tidak adanya kekompakan antara soal dan jawaban. Seperti dalam riwayat Ibnu Mas’ud dikatakan bahwa Rosulullah menyuruh kalian untuk membaca seperti apa yang kalian ketahui. Jawaban ini tidak sesuai dengan pertanyaan dikarenakan pertanyaan berkaitan dengan bilangan ayat.25
           Menurut hemat penulis, penolakan al-Khu’i terhadap eksistensi riwayat al-Ahruf al-Sab’ah tidaklah berdasarkan obyektifitas dan independensi pemikiran, melainkan lebih dipengaruhi oleh fanatisme madzhab. Ini terbukti dalam interaksi beliau terhadap riwayat al-Ahruf al-Sab’ah berdasarkan pada metodologi Syi’ah yang mengatakan bahwa sumber agama setelah Rosulullah adalah ahl al-Bait yang telah di sucikan dari berbagai keburukan. Walaupun pada hakikatnya perkataan ini tidak lepas dari kritikan dari dalam. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hukum agama secara tertib adalah sebagai berikut: al-Quran kemudian as-Sunnah. Adapun menurut kelompok Syi’ah adalah: Sunnah dahulu kemudian al-Quran baru ahl al-Bait.26 Oleh karena itu al-Khu’i secara tegas mengatakan bahwa setiap riwayat yang berseberangan dengan riwayat ahl al-bait tidak ada gunanya.
           Adapun pernyataan al-Khu’i tentang adanya tanaqudl antara riwayat al-Ahruf al-Sab’ah adalah tidak tepat, karena kalau kita mau jujur, perbedaan itu adalah hanya bersifat formalitas saja, namun substansial riwayat-riwayat tersebut baik itu berbentuk perintah, berita ataupun rukhsoh tentang adanya al-Ahruf al-Sab’ah tidaklah menunjukkan adanya pertentangan. Karena semuanya menuju pada titik temu yang sama, dimana jumhur ulama’ sepakat atas kemutawatiran riwayat-riwayat tersebut. Begitu juga tentang tuduhan adanya ketidakselarasan antara jawaban dengan pertanyaan. Karena sesungguhnya perbedaan jumlah suatu ayat dalam surah itu tidak muncul disebabkan karena adanya dua ayat menjadi satu ayat atau tidak. Karena hal seperti itu tergantung ketika talaqqi(baca:menerima bacaan) al-Quran. Oleh karena itu perintah Rasulullah untuk membaca sesuai pengetahuan masing-masing adalah merupakan jawaban yang paling tepat untuk menyelesaikan perselisihan ini.27
           Tidak ditemukan interpretasi al-Ahruf al-Sab’ah dalam pandangan Syi’ah. Karena seperti disebutkan diatas mereka mengingkari adanya riwayat al-Ahruf al-Sab’ah. Sebagaimana dikatakan oleh imam al-Khu’i bahwa riwayat-riwayat al-Ahruf al-Sab’ah tidak mempunyai landasan yang benar. Oleh karena itu riwayat tersebut harus ditinggalkan jauh-jauh apalagi sudah terbukti bertentangan dengan riwayat Asshaadiqiin yang mengatakan bahwa al-Quran diturunkan dengan satu huruf.28
           Sebelum kita beralih dari pembahasan masalah pandangan Syi’ah ini, ada satu hal yang perlu kita catat yaitu bahwa riwayat Syi’ah yang mengatakan tentang perbedaan ahruf muncul dari ide para rawi. Pandangan seperti ini sangatlah berbahaya karena mempunyai pengertian bahwa perbedaan qira’at yang ada sekarang ini adalah hasil ciptaaan para rawi bukan bersifat tauqifiyah. Ala kully hal, kita tidak bisa menerima ide al-Khu’i yang hanya berdasarkan satu atau dua riwayat saja, itupun tanpa menyebutkan sanad yang jelas. Bagaimana kita bisa menerima satu atau dua riwayat dan meninggalkan puluhan riwayat lainnya yang jelas-jelas mutawatir, tentu yang demikian tidaklah masuk akal. Wallahu a’lam bi al-Showab..

Interpretasi ulama tentang al-Ahruf al-Sab’ah.
           Sebelum kita mengetangahkan interpretasi ulama tentang al-Ahruf al-Sab’ah, sebaiknya kita menengok kembali arti huruf dari segi bahasa. Kata ahruf adalah jama’ dari kata harf, ia mempunyai ragam arti. Ahmad Faris seorang ahli bahasa dan sastra mengatakan bahwa susunan ح- ر- ف mempunyai tiga arti inti, diantaranya adalah harf yang berarti al-wajh )arah(. Sedangkan Ibnu Mandhur dalam kitab lisanul ‘arab mengatakan bahwa harf adalah salah satu huruf hijai`yyah …. Setiap kata al-Quran yang dibaca beragam disebut harf seperti perkataan harf Ibnu Mas’ud yakni bacaan Ibnu Mas’ud. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud harf adalah dialek, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Sa’idah.29. Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa harf bisa berarti salah satu huruf hija`iyah, dialek dan macam ragam bahasa arab.
            Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa hadits al-Ahruf al-Sab’ah diriwayatkan oleh banyak sahabat, bahkan sampai tingkatan mutawatir bagi yang setuju pendapat ini. Dari situ Rasululah tentunya paham dan mengerti tentang maksud al-Ahruf al-Sab’ah. Begitu juga halnya dengan para sahabat. Namun yang jadi pertanyaan kita adalah apa sebab munculnya perbedaan-perbedaan pendapat tentang penafsiran al-Ahruf al-Sab’ah?, bahkan dikatakan bahwa perbedaan tersebut mencapai empat puluh pendapat. Menurut hemat penulis bahwa perbedaan pendapat ini karena Rasul sendiri tidak memberikan perincian tentang maksud al-Ahruf al-Sab’ah itu. Buktinya kita tidak menemukan nash yang menegaskan bahwa maksud dari al-Ahruf al-Sab’ah itu adalah seperti ini. Bukti lainnya adalah bahwa rukhsoh yang diberikan Rasul adalah jawaban dari the temporal incident. Yang artinya Rasulullah menjawab suatu pertanyaan ketika ada suatu kasus. Dan jawaban yang diberikan Rasul kepada para sahabatnya ternyata berbeda-beda, karena setiap sahabat yang bertanya mempunyai kasus yang berbeda walaupun sama-sama berkaitan tentang al-Quran. Hal ini bisa kita lihat dari seringnya Ubay bin Ka’b bertanya kepada Rasul.. Ini disebabkan karena Ubay bin Ka’b memahami bahwa jawaban pertama tidak bisa digunakan solusi bagi kasus berikutnya, maka ia harus kembali bertanya kepada Rasulullah.
           Dari keterangan diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa para sahabat berbeda pendapat dalam memahami al-Ahruf al-Sab’ah. Karena para sahabat tidak sama dalam menerima tujuh huruf itu bahkan ada yang hanya dua atau dua huruf saja, kemudian perbedaan ini diwarisi oleh generasi berikutnya. Disamping perbedaan diatas kalau kita tengok kembali dari segi bahasa, kata harf  termasuk kata musytarak (baca:mempunyai makna lebih dari satu). Ini juga termasuk salah satu penyebab munculnya beragam pendapat penafsiran al-Ahruf al-Sab’ah karena penetapan salah satu arti kata musytarak itu berdarkan ijtihad.
           Dalam hubungannya dengan prespektif ulama klasik tentang al-Ahruf al-Sab’ah, penulis hanya menghadirkan beberapa pendapat yang bisa dikategorikan mempunyai argument yang cukup kuat, walaupun akhirnya kita dituntut untuk mentarjih salah satu pendapat yang ada. Adapun pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah:       

Pertama: Yang dimaksud dengan al-Ahruf al-Sab’ah adalah tujuh kata yang berbeda dalam makna yang sama seperti kata aqbil, ta’al, halumma dll. Ketiga kata ini dan yang lainnya merupakan kata sinonim yang artinya marilah. Demikian juga kata ajjil, asri’ dll. mempunyai makna yang sama yaitu cepatlah atau kata andhir, akkhir dll yang artinya tangguhkanlah. Pendapat ini didukung oleh beberapa ulama antara lain Sufyan bin Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahb dan lain-lainnya, sedangkan dari ulama modern seperti syekh Manna’ al-Qaththan.30
Diantara dalil pendapat ini adalah salah satu riwayat yang mengatakan bahwa semua bacaan adalah benar dan cukup, selama tidak dirubah kata rahmat dengan kata adzab dan sebaliknya. Dan perkataan Rasul seperti ucapan kalian ta’al, aqbil, halumma, asri’, ajjil.
Imam Ibnu Jarir menyimpulan bahwa teks hadits diatas menunjukkan perbedaan tujuh huruf adalah perbedaan kata yang mempunyai makna yang sama bukan perbedaan yang mengkibatkan perbedaan hukum.31
           Pendapat ini kalau kita perhatikan tidaklah kuat, dengan alasan sebagai berikut:
1.Perbedaan tujuh huruf tidak bisa direalisasikan pada pendapat diatas karena pendapat ini hanya bisa mewakili satu huruf saja bahkan hanya sebagian huruf yaitu penggantian satu kata dengan kata lain yang mempunyai persamaan arti, ini berarti penggantian bersyarat.
2.Adapun hadits yang dijadikaan sandaran mereka bukanlah berarti bahwa setiap orang berhak untuk mengganti kata-kata al-Qur`an sesuka hatinya atau membaca al-Qur`an bil ma’na ketika tidak mampu mengucapkan kata asli al-Quran, karena rukhsoh pembacan tujuh huruf semuanya berdasarkan perintah Allah. Ibnu Abdul Barri pensyarah hadits Abi Bakrah mengatakan bahwa tujuan Rasullullah saw pada hadits ini adalah memberikan contoh tentang huruf-huruf al-Qur`an bukan perincian maksud tujuh huruf. Dr. Subhi Sholeh dalam komentarnya tentang pendapat diatas mengatakan bahwa penta’wilan seperti itu memperkuat kesimpulan orang-orang oreantalis yang mengatakan: ”tidak diragukan lagi bahwa teori membaca al-Quran bil ma’na merupakan teori yang paling rawan didalam kehidupan Islam, karena teori itu menyerahkan nash-nash al-Quran kepada selera masing-masing orang untuk memastikan nash sesuka hatinya.”32 Tentunya kesimpulan yang seperti ini tidaklah benar.

Kedua: Maksud dari al-Ahruf al-Sab’ah adalah tujuh dialek bahasa arab yaitu dialek Quraisy, Hudzail,Tsaqif, Huwazan, Tamim, Kinanah dan Yaman. Mereka mengatakan bahwa ketujuh dialek ini merupakan bahasa-bahasa fushah arab. Dan yang dimaksud bukannya satu kata dibaca sampai tujuh dialek melainkan tujuh dialek ini tersebar didalam al-Quran, sebagian memakai dialek Quraisy ditempat lain memakai bahasa Hudzail dan seterusnya. Adapun perkataan Utsman kepada para penulis mushaf “apabila kalian berselisih dengan Zaid maka tulislah dengan bahasa Quraisy, karena al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka”. Ditafsiri bahwa maksud dari perkataan Utsman itu adalah secara umum al-Quran diturunkan dengan bahasa Quraisy Karena tidak ada dalil yang menegaskan bahwa al-Quran diturunkan semuanya dengan bahasa Quraisy. Allah sendiri berfirman “quranan ‘arabiyan “ bukan Quraisyiyan.
           Pendapat ini tidak jauh dari pendapat sebelumnya karena tidak lepas dari beberapa kelemahan, antara lain:
1.Al-Qur’an mencakup lebih dari tujuh dialek, bahkan Abu Bakar al-Wasithi dalam karyanya yang berjudul al-irsyad fil qiraatil ‘asyrah mencatat lebih dari empat puluh jenis dialek. Misalkan kata ikhsi’uu yang artinya rendahkanlah. Dalam dialek kabilah ‘Adzrah bermakna ukhzu (ejeklah). Kata bais (sangat buruk) dalam dialek kabilah Ghossan bermakna syadid (sangat keras atau sangat berat). Kata laa taghluu (janganlah kalian melampaui batas) dalam dialek kabilah Lakhm mempunyai arti laa taziduu (jangan kalian menambah) dan lain-lain.33
2.Ibnu ‘Abdil Barr tidak membenarkan kalimat al-Ahruf al-Sab’ah itu bermakna tujuh dialek. Sebab kalau begitu halnya maka sejak semula kaum muslimin arab tidak akan saling bantah karena hal itu merupakan bahasa asli mereka, lagi pula baik Umar bin Khattab maupun Hisyam bin Hakim, kedua-duanya dari kabilah Quraisy tetapi qira`at keduanya berlainan. Dan mustahil Umar mengingkari dialek Hisyam.34

Ketiga: Pendapat yang mengatakan al-Ahruf al-Sab’ah adalah tujuh macam cara baca. Pendukung teori ini antara lain Ibnu Qutaibah, Ibnu Jarir, Ibn al-Thoyyib dan Abu al-fadl al Razi -walaupun diantara mereka ada perbedaan perincian-. Dan dari ulama modern seperti imam al-Zarqani dalam karyanya  manahilul ‘irfan. beliau menjelaskan secara panjang lebar tentang teori ini dan mengatakan bahwa perselisihan dalam bacaan tidak lepas dari tujuh macam cara baca seperti yang diterangkan oleh al-Rozi.Masih menurut pengakuan Zarqani,bahwa teori ini didasarkan atas istiqra’I taam (baca:complit inductive),lain halnya dengan pendapat-pendapat lain yang sekedar berdasarkan pada istiqra’ naaqish.Yang dimaksud dengan tujuh macam cara baca adalah sebagai berikut35:
1.Perbedaan al-asmaa’(baca: kata benda) baik mufrad,tatsniah,jama’,mudzakkar dan muannats.Salah satu contoh firman Allah dalam surah al-Mukminun ayat kedelapan yang berbunyi:”Walladziinahum liamaanaatihim wa’ahdihim raa’uun.Lafadz amaanaatihim (dengan jama’) pada ayat tersebut dibaca juuga amaanatihim (dengan mufrad). Lafadz-lafadz tersebut tertulis dalam mushaf reproduksi Utsman liamanatihim (tanpa huruf alif konsonan),karenanya dapat dibaca dengan dua cara dan dapat pula mengandung dua bentuk kata(jama’ dan mufrad) yang bertemu dalam satu makna. Dengan menggunakan kata tunggal dimaksudkan untuk menyebut suatu jenis,sedangkan jenis menunjukkan hal yang banyak. Dengan demikian maka kalimat “menjaga amanat “ sama artinya dengan kalimat “menjaga amanat-amanat”.

2. Perbedaan mengenai perubahan fi’il(tashrif).Seperti fi’il madly,mudlori’ dan amr,misalkan firman Allah yang berbunyi “rabbanaa baa’id baina asfaarinaa”, lafadz rabbana dibaca nasab dalam kedudukannya sebagai munada sedang lafadz baa’id fi’il amr atau lebih cocok disebut fi’il do’a. Dan boleh dibaca lagi rabbuna ba’ada,lafadz rabbuna dibaca rafa’ dalam kedudukannya sebagai mubtada` sedang lafadz ba’ada merupakan fi’il madly,bersama jumlahnya menjadi khabar mubtada.Dr Shubhi Shaleh salah satu pendukung pendapat ini tidak membenarkan perubahan tashrif termasuk dalam tujuh macam perbedaan cara baca dengan alasan karena hal tersebut termasuk dalam perbedaan I’rab. Menurutnya perbedaan yang pantas dimasukkan dalam salah satu tujuh macam cara baca adalah perbedaan penulisan huruf baik yang mengakibatkan perubahan makna tanpa perubahan bentuk huruf itu sendiri, yang kadang-kadang disebut sebagai perbedaan pendapat mengenai peletakan tanda titik seperti dalam penulisan lafadz ta’lamuun dan ya’lamuun maupun yang mengakibatkan paerubahan bentuk huruf tetapi tidak mengubah makna seperti penulisan lafadz shirath (dengan huruf ص ) dan sirath (dengan huruf س ) kedua lafadz mempunyai makna yang sama yaitu jalan. Demikian juga al-mushaithirun (dengan ص ) dan al-musaithirun (dengan س ). Lafadz tersebut dalam mushaf ditulis dengan huruf ص  sebagai pengganti huruf aslinya yaitu huruf س ,kemudian terjadilah penyesuaian antara bacaan lafadz itu dengan huruf ص  sebagai kenyatan tertulis dan bacaannya dengan huruf س yang tidak tertulis.36

3. Perbedaan I’rab (berubah – ubahnya kedudukan kata atau lafadz di dalam kalimat) baik yang mengakibatkan perubahan makna atau tidak. Diantara perbedaan i’rob yang mengubah makna ialah firman Allah yang berbunyi “fa talaqqaa Aadamu min rabbihikalimaatin” (kemudian Adam menerima kalimat dari Tuhan-nya) pernah dibaca “fatulqaa Aadamu min rabbihi kalimaatun” (kemudian kalimat disampaikan kepada Adam dari Tuhan-nya ). Adapun perbedaan I’rab yang tidak mengubah makna antara lain adalah laa yudhaarrakaatibun wa laa syahid (dan janganlah penulis dan saksi saling mempersulit ). Dan lafadz laa yudhaarra (pakai lam nahi ) dalam kalimat tersebut pernah dibaca “laa yudharru (pakai lam nafi).

4. Penambahan atau pengurangan, contoh penambahan seperti dalam surah al-Taubah :100 yang berbunyi “wa a‘adda lahum jannaatin tajrii tahtaha al-anhar dan dibaca juga “min tahtihal anhar (dengan tambahan min). Dua qira`at tersebut sama-sama mutawatir masing-masing disepakati penulisannya didalam mushaf induk produk Ustman. Penambahan tersebut sesuai dengan mushaf Makky. Adapun contoh pengurangan seperti terdapat pada surah al-Baqarah :116 yang berbunyi “qaaluttakhadzal laahu walada” tanpa didahului huruf (و ) ini sesuai dengan rasm al-syami.

5. Perbedaan penempatan mana yang dahulu dan mana yang belakang .misalkan pada firman Allah yang berbunyi waja`at sakaratulmauti bil haq pernah dibaca waja`at sakaratul haqqi bil mauti. Bacaan yang terakhir ini menurut Dr Shubhi Sholeh adalah bacaan ahadiyah yang tidak mencapai derajat mutawatir bahkan tergolong bacaan syadzdzah dengan catatan bahwa bacaan tersebut pernah dibaca oleh Abu Bakar r.a. Karena memang benar orang arab mengenal kematian itu mempunyai beberapa sakarat tetapi yang pasti tidak ada orang yang mengetahui “al-haqqa” kecuali mereka yang dalam keadaan mati. Menurutnya contoh yang lebih tepat adalah seperti dalam firman Allah pada surat at-Taubah:111yang berbunyi fayaqtuluuna fayuqtaluuna dan pernah dibaca fayuqtaluuna fayaqtuluun. Bacaan pertama mengandung makna bahwa kaum muslimin segara bergerak membunuh musuh dalam peperangan sedangkan bacaan yang kedua menggambarkan seolah-olah kaum muslimin berlomba-lomba terjun kemedan perang terdorong oleh keinginan mati syahid. Perbedaan bacaan ini selama lafadz tersebut tidak terpisah tidak akan terjadi perubahan arti, beda dengan contoh sebelumnya.37

6. Perbedaan penggantian suatu kata dengan kata lain yang pada gholibnya terjadi pada kata sinonim. Perbedaan dua kata itu hanya mengenai makna pada dialek-dialek kabilah. Seperti contoh firman Allah pada surah al-Qari’ah:5 yang berbunyi kal’ihnil manfusy dibaca kasshufil manfusy antara kata shuf dan ‘ihn mempunyai kesamaan arti yaitu bulu halus. Ada juga penggantian kata karena kedua lafaz tersebut yang hampir sama makhrajnya sehingga memungkinkan bacaannya berubah-ubah secara silih berganti antara dua lafaz itu. Seperti kata thalhin mandludl dibaca thal’in .kita ketahui makhraj ha’ dan ‘ain sama-sama di tenggorokan.

7. Perbedaan dialek, seperti: pengucapan huruf dengan fathah, imalah, tarqiq, tafkhim,  idhhardll. lihat contoh-contoh sebagai berikut:
-firman allah swt dalam surat thaha:9 berbunyi “hal ataaka hadiitsu musa” lafadz ataaka bisa dibaca fathah juga imalah.
-menipiskan(tarqiq) seperti bacaan huruf lam pada alshalat dan dibaca juga dengan tafkhim
Pada kenyataannya penafsiran terakhir ini tidak luput juga dari beberapa kritikan,38

Interprestasi Dr. Abd. Sobur Syahin terhadap al-ahruf al-sab’ah
           Penulis sengaja ,menyendirikan pembahasan ini, agar kita lebih jelas dalam menilai pandangan Dr. Abd . Sobur Syahin walaupun menurut hemat penulis pandangan beliau ini tidaklah baru karena beberapa ulama’ klasik telah menyinggungnya., hanya saja ada beberapa tambahan dan penjelasan yang mungkin belum kita temukan pada pandangan ulama’ klasik. Beberapa pandangan terebut adalah: 
Pertama: Terjadinya atau munculnya al-Ahruf al-Sab’ah ada di periode Madinah dan itu hanya sekitar dua tahun saja yaitu tahun 9-10 H, karena bisa dipastikan bahwa adanya al-ahruf al-sab’ah pertama diketahui ketika adanya perselisihan antara Umar dan Hisyam. Padahal sejarah mengatakan bahwa Hisyam yang penduduk Makkah masuk Islam setelah pembebasan kota Makkah yang terjadi pada tahun 8 H. Jadi tidak mungkin perselisihan tersebut terjadi sebelum ia berada di Madinah dan mendapatkan pelajaran dari Rasul saw.. Dari keterangan ini muncul suatu pertanyaan, disebutkan dalam suatu riwayat bahwa prselisihan yang terjadi pada surat al-Nahl, riwayat lain mengatakan bahwa perselisihan terdapat di surat al-Furqon. Kedua surah ini tergolong surah Makkiyyah dan ini sekilas bertentangan dengan pernyataan bahwa al-Ahruf al-Sab’ah muncul setelah Hijrah. Untuk menjawab pertanyaan ini Dr. Abd Sobur Syahin menjelaskan bahwa surat an- Nahl dikatakan makkiyyah karena ada sekitar 41 ayat turun di Makkah adapun selebihnya sekitar 80 ayat turun di Madinah, nah bisa saja perselisihan mereka itu terdapat pada ayat–ayat yang turun di Madinah. Adapun kasus surah al-Furqon perselisihan yang terjadi antara Umar degan Hisyam itu dikarenakan perbedaaan usia maka boleh saja keduanya beda dalam pengucapan.
Menurut hemat penulis jawaban terakhir ini kurang begitu tepat karena bagaimana mungkin sesama orang Quraisy terjadi perbedaan pengucapan. Apa hanya dikarenakan beda usia, kemudian Umar mencurigai bacaan Hisyam?. Tentunya tidak sesederhana itu jawabannya. Oleh karena itu mungkin lebih dekat dikatakan bahwa kecuriggaan Umar terhadap bacaan Hisyam pada kasus surah al-Furqon dikarenakan Hisyam mendapat pelajaran dari Rasulullah saw tentang surah al-Furqon dengan dialek lain yang mana dialek ini tidak didapatkan Umar ketika berguru kepada Rasulullah. Maka timbullah kecurigaan Umar bahwa yang dibaca Hisyam itu bukan dari Rasulullah.

Kedua: al-Ahruf al-Sab’ah kedudukannya adalah solusi dari adanya problem solving oleh karena itu keberadaannya bersifat temporer. Jadi kalau penyebab adanya rukhsoh sudah tidak ada maka hukum rukhsoh secara sendirinya akan berakhir. Konsekwensi dari kesimpulan ini adalah bahwa al-Quran yang direproduksi oleh Utsman hanya mencakup satu huruf atau lebih karena pada masa Utsman keberadaan kondisi sudah stabil jadi tidak perlu lagi adanya rukhsoh al-ahruf al-sab’ah. Disamping itu menurut beliau rukhsoh al-ahruf al-sab’ah hanya terletak pada bacaan (syafahiyan) bukan pada penulisannya. Oleh karena itu para penulis resmi mushaf sejak periode makkiyah sampai adanya izin al-ahruf al-sab’ah tetap menulis dengan dialek Quraisy.39  Natijah ini didasari dari tidak adanya teks-teks yang menunjukkan bahwa Rasul telah mengulang kembali penulisan wahyu yang telah ada sebelumnya. Disamping itu pada kenyataannya para penulis wahyu baik pada pereode Abu Bakar maupun Utsman tidak menemukan satu tek al-Quran ditulis dua kali dengan dua dialek. Dari sini maka  perkataan Utsman yang menghimbau kepada para penulisnya untuk menulis dengan dialek Quraisy apabila terjadi suatu perselisihan diantara mereka dapat dipahami. Karena perselisihan yang dimaksudkan didalam riwayat tersebut adalah perselisihan yang bersangkutan dengan cara penulisan huruf bukan perbedaan dialek, sebab keempat penulis mushaf Utsmaniyah semuanya berasal dari kabilah Quraisy. Seperti contoh ketika mereka menulis kata taabut (dengan ta’ terbuka) oleh Zaid bin tsabit ditulis dengan huruf ta’ tertutup.

Ketiga : Dr.Abdusshabur Syahin setelah melihat fenomena diatas memutuskan untuk mentarjih pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari al-ahruf al-sab’ah adalah perbedaan dialek dan pengucapan lafadz karena beda usia. Disamping itu menurutnya bilangan tujuh pada al-ahruf al-sab’ah bukan bilangan yang dimaksud (secara hakiki).     Demikianlah pokok-pokok pemikiran Dr.Abdusshabur Syahin. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam karyanya yang berjudul ”Tarikhul Quran”.

Al-ahruf al-sab’ah bukanlah qiraat sab’ah.
           Tidak dipungkiri lagi, banyak dari kita yang pernah mempunyai pemahaman bahwa yang dimaksud dengan al-ahruf al-sab’ah adalah qiraat sab’ah yang dikodifikasikan oleh Imam Mujahid (wafat 324 H) pengertian seperti itu tidaklah benar dengan beberapa alasan sebagai berikut:
1.Pengertian al-ahruf al-sab’ah itu lebih luas dari pada qiraat sab’ah yang hanya mencakup tujuh bacaan padahal disana ada yang kita kenal dengan sebutan qiraat asyrah dan arba’ata asyar.
2.Menimbulkan pengertian bahwa hadits-hadits tentang al-ahruf al-sab’ah itu tidak ada faedahnya sebelum munculnya tujuh imam qira`at sab’ah.
3.Sebelum munculnya Imam Mujahid sudah banyak karangan-karangan tentang perbedaan bacaan seperti syekh Abu al-Qasyim bin Salam (w.224 H). Sebagai contoh kalau dikatakan bahwa maksud dari al-ahruf al-sab’ah itu adalah tujuh qiraat lalu kenapa pada surat al-Fatihah saja terdapat puluhan bacaan yang berbada-beda.40 Dari keterangan ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa tujuh macam bacaan (qiroah sab’ah) adalah bagian kecil dari al-ahruf al-sab’ah. wallahu a’lam.

Al-ahruf al-sab’ah pasca Utsman bin ‘Affan.
           Keberadaan al-ahruf al-sab’ah telah diketahui oleh Rosulullah saw. Dan disampaikan semuanya kepada sahabat. Walaupun pada kenyataannya tidak setiap sahabat memperoleh tujuh huruf tersebut diantara mereka hanya ada yang dapat dua atau tiga huruf saja sesuai dengan keberadaan setiap sahabat. Dari situ kita ketahui bahwa setiap bacaan sahabat semuanya bersumber dari Rosulullah saw. Dengan perjalanan waktu dan banyaknya pembaca (al-Qurro’) dan banyaknya para pemeluk agama Islam, maka timbullah banyak perselisihan diantara mereka sehingga saling menyalahkan satu sama lainnya. Keadaan ini mendorong Utsman bin Affan untuk mengambil inisiatif untuk mempersatukan mereka dalam satu huruf.41
Mungkin disini ada pertanyaan, Bagaimana nasib al-ahruf al-sab’ah sekarang ini?, apakah mushhaf utsman yang kita jadikan referensi utama dalam penulisan mushaf masih mengandung al-ahruf al-sab’ah atau tidak?. Untuk menjawab pertanyaan ini ada tiga pendapat, yaitu:
Pertama Pendapat yang mengatakan  bahwa mushhaf utsmani hanya mencakup satu huruf saja. Dengna dalil, ketika utsman melihat perselisihan umat dalam bacaan al-Qur’an beliau menyuruh untuk mempersatukan bacaan dengan satu huruf yaitu bacaan Quraisy. Almuhaqqiq  Ibnu al-Jazri berkata bahwa bacaan dengan tujuh huruf tidaklah diwajibkan bagi ummat melainkan merupakan kemudahan yang diberikan oleh Allah. Namun ketika para sahabat melihat perselisihan yang terjadi dan darinya dikhawatirkan terjadinya pertumpahan darah, maka mereka sepakat untuk membaca al-Qur’an dengan satu huruf. Ijma’ ini merupakan sandaran kuat, karena mereka tidak mungkin bersekutu dalam kesesatan selama kesepakatan mereka tidak untuk meninggalkan suatu kewajiban atau melakukan keharaman.
Pendapat ini kalau kita amati tidaklah begitu kuat, karena tidak mungkin Utsman mempersatukan bacaan-bacaan orang dalam satu huruf. Padahal dengan adanya al-ahruf al-sab’ah itu akan lebih mempermudah ummat dalam membaca al-Qur’an. Seperti telah diketahui bahwa mushhaf reproduksi Utsman telah ditulis atas dasar penulisan pada zaman Abu Bakar yang mana tidak terbatas hanya pada satu huruf saja. Melainkan mencakup semua yang telah ditulis pada zaman Rosul saw. dan tidak dinaskh bacaannya, serta sesuai dengan bacaan Rosulullah saw. di hadapan Jibril sewaktu al-‘ardlu al-akhir. Selain itu pendapat ini berseberangan dengan kenyataan yang ada, yaitu adanya beberapa bacaan shohih dan dengan sanad muttashil yang sampai pada kita, dimana bacaan-bacaan tersebut mencakup beberapa huruf. Adapun yang dimaksud dari perkataan Utsman untuk mempersatukan bacaan dengan satu huruf adalah mempersatukan pada bacaan-bacaan mutawatir.42

Kedua, Pendapat yang mengatakan bahwa mashohif reproduksi Utsman telah mencakup semua al-ahruf al-sab’ah. Termasuk pendukung pendapat kedua ini antara lain : Abu Bakar al-Baqilaniy, Dr. Muhammad Abdul Mun’im dan Dr. Ibrohim kholifah.43 pendapat ini berdalil bahwa tujuh huruf yang telah diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. tidak boleh disia-siakan. Karena para sahabat telah sepakat (baca: ijma’) bahwa penulisan kembali shuhuf yang telah ditulis pada masa Abu Bakar dan Umar yang direproduksi Utsman yang kemudian dikirim kebeberapa daerah tidak boleh ada satu huruf dari tujuh huruf tersebut yang dibuang.
           Pendapat kedua ini tidak bisa dipertahankan karena penulisan yang terjadi pada zaman Abu bakar hanya terbatas pada bacaan-bacaan mutawatir dan bacaannya tidak dinaskh serta sesuai dengan al-‘ardl al-akhir. Dan seperti diriwaytakan pada riwayat-riwayat shohih bahwa diantara tujuh huruf itu ada yang telah dinaskh pada masa Rosulullah saw. yaitu yang dikenal dengan Qiro’ah syadzdzah.44

Ketiga, Pendapat ini berusaha menggabungkan kedua pendapat diatas yaitu bahwa mashohif Utsmaniyyah hanya mencakup beberapa huruf dari al-ahruf al-sab’ah yang bisa diakomodasi dalam rosm mashohif Utsmanuyyah dan  sesuai dengan bacaan Rosulullah saw. dengan Jibril. Imam Ibnu al-Jazri berkata bahwa tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an telah mengalami beberapa perubahan sesuai dengan bacan terahir Rosulullah saw. dengan Jibril. Seperti ditegaskan pada suatu riwayat dimana Ibnu Abbas ditanya tentang bacaan mana yang beliau baca?, beliau menjawab, dengan bacaan terahir (al-‘ardl al-akhir ) dan selanjutnya Ibn Abbas berkata bahwa Rosulullah saw. pada tahun kewafatannya  membaca al-Qur’an dihadapan Jibril dengan dua kali khataman.
Suatu hal yang mendukung pendapat ketiga ini adalah bahwa bacaan-bacaan masyhur yang ada sekarang ini -baik itu tujuh maupun sepuluh qiroat -hanya  merupakan sebagian kecil dari bacaan-bacaan yang pernah ada pada masa Rosulullah saw.45 Pendapat terakhir inilah sekiranya bisa kita jadikan pegangan, karena disamping didukung oleh dalil-dalil yang kuat juga sesuai dengan realita yang ada. Adapun tentang bagaimana al-ahruf al-sab’ah itu bisa diakomodasi dalam rosm mushhaf Utsmaniy hal itu tentunya masuk dalam pembahasan qiroat.

Penutup.
Dari uraian diatas penulis mengharap dari para pembaca bisa mengambil kesimpulan ataupun kritikan yang bisa memnberikan wawasan baru tentang al-ahruf al-sab’ah. Sebelum pembahasan kita akhiri, ada beberapa catatan penulis yang mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan.
1.Al-ahruf al-sab’ah yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammd saw. adalah bersifat rukhsoh. Walaupun demikian penulis kurang setuju kalau dikatakan bahwa rukhshoh ini telah berakhir dengan adanya reproduksi mushhaf pada masa khalifah Utsman. Karena tidak ada dalil satupun yang mengatakan bahwa rukhshoh itu akan berahir pada waktu tertentu, bahkan kenyataan yang ada bahwa ruh rukhshoh tersebut tetap bisa ditemukan dan dirasakan dengan adanya berbagai qiroat.

2. Penambahan tujuh huruf hanya terdapat pada bacaan al-Qur’an bukan pada penulisan al-Qur’an, karena itu Utsman memperintahkan ketika menyalin mushhaf yang ada ditangan sayyidah Hafshoh agar ditulis dengan dialek Quraisy saja.46ini bukan berarti meniadakan kenyataan adanya beberapa dialek selain dialek Quraisy didalam al-Qur’an. Karena dialek-dialek tersebut telah menjadi satu kesatuan dalam bahasa Quraisy, maka tidak salah jika dikatakan al-Qur’an turun dengan bahasa Quraisy sebab turunnya al-Qur’an dalam realitanya didominasi oleh dialek Quraisy,47 kiasannya seperti sebuah lagu dengan bahasa Indonesia kemudian didalam salah satu kata dalam baitnya ada yang memakai bahasa jawa,  apa lalu kita katakan lagu tersebut dengn bahasa jawa?, tentu jawabannya tidak.

3.Dari beberapa pendapat tentang penafsiran al-ahruf al-sab’ah, menurut penulis lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari al-ahruf al-sab’ah adalah perbedaan dialek dan cara baca serta pengucapan kalimat. Pendapat ini sekilas menggabungkan dua pendapat antara al-Rozi yang diperjelas oleh al-Zarqoni dalam kitabnya manahil al-‘irfan dengan pendapat Dr. ‘Abdushshobur Syahin. Namun  penulis tidak sependapat dengan al-Zarqoni yang cenderung memaksakan diri dalam perincian al-ahruf al-sab’ah karena seperti kita ketahui tidak ada satu nashpun yang menjelaskan perincian hal tersebut. Begitu juga penulis belum bisa menerima secara keseluruhan terhadap ide-ide Dr. ‘Abdushshobur Syahin. Diantaranya adalah pendapat beliau yang mengatakan bahwa bilangan tujuh yang terdapat pada al-ahruf al-sab’ah itu bukan pada hakikatnya, karena pendapat ini bertentangan dengan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa maksud dari bilangan tujuh adalah pada hakikatnya dan ini tidak ada pertentangan antara perkataan bilangna tujuh pada hakikatnya, dengna tujuan taisir (baca: kemudahan) yang ada pada al-ahruf al-sab’ah hanya saja perincian tujuh bilangan itu tetap mubham bagi kita. Maka setiap usaha-usaha penafsiran perician terhadap al-ahruf al-sab’ah merupakan usaha mencari air digurun pasir.
            Dari sinilah muncul pertanyaan apakah kemisteriusan ini merupakan kesalahan sahabat yang tidak mau memberikan penjelasan terperinci tentang al-ahruf al-sab’ah, padahal mereka tahu tentang keberadaannya ataukah ini  kesalahan rowi yang tidak mau menyampaikan keterangan tersebut kepada generasi berikutnya atau kemungkinan musnahnya buku-buku yang membahas al-ahruf al-sab’ah ketika terjadi penyerbuan dan pembakaran oleh tentara Tatar?. Menurut pandangan penulis jawaban terahir lebih banyak kemungkinannya walaupun tidak ada dasar yang kuat. wallahu a’lam.
Dari kenyataan yang ada itulah muncul berbagai penafsiran al-ahruf al-sab’ah yang semuanya hanya bersifat ijtihadiyyah boleh jadi benar dan salah. Ibn al-Jazri seorang pakar ilmu-ilmu qiroat telah menghabiskan umurnya selama tiga puluh tahun hanya untuk memecahkan misteri al-ahruf al-sab’ah.48 lalu bagaiman dengan kita terutama penulis yang hanya bermodal keberanian saja!!!. Innahu lafarqun syasi’un.
‘Ala kulli hal kita semua mengharap semoga keimanan kita terhadap al-Qur’an semakin kuat yang dibuktikan dengan pengamalan terhadap nilai-nilai al-Qur’an pada diri kita, keluarga dan lingkungan sehingga al-Qur’an bukan hanya sekedar menjadi islamologis melainkan sebagai pegangan  kita. Wallahul musta’an.
          







* Makalah ini dipresentasikan oleh Muhammad ‘Abdul Kholiq Hasan dalam kajian mingguan FORDIAN di Wisma Nusantara, Cairo, Mesir, hari Ahad tanggal 15 Oktober 2000.
1 Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqoniy al-Imam, Manahil al-‘irfan, vol. I, Daar Ihya al-Kutub al-‘Arobiyyah, Cairo, cet. III, hal. 137-138.

2 Badruddin al-Zarkasyi al-Imam,al-Burhan fi ‘ulumil qur’an,ditahkik oleh Muhammad Abul fadl Ibrahim, al-Maktabah al-‘Ashriah, Shoida, Beirut, Vol. I, cet.II, 1391 H/1972 M, hal. 212
3 Hauliyat al-Dirosah al-Islamiyyah wa al-Arobiyyah lilbanin, edisi 18, vol. I, tahun 1420 H/2000 M. jamiah al-azhar fak. Dirosah islamiyyah, Cairo, hal. 41-42. 
4 ibid, hal. 42
5 Abd shobur syahin Dr. Tarikh al-Quran, ma’had al-Dirosah al-Islamiyyah, Zamalik, 1417 H/1997 M. hal. 93.  
6 Jalaluddin al-Suyuthi al-Imam, al-Itqon fi al-ulum al-Qur’an, vol. I, al-Muassasah al-kutub al-Islamiyyah, Beirut, Lebanon, cet. I,1416 H/1996 M. hal. 129.
7 Op.Cit. Abd shobur syahin Dr. hal. 61.
8 Sya’ban Muhammad Ismail Dr. Rosm al-Kitab wa dlobtuhu, daar al-salam, Cairo, Mesir,  cet. I, 1416 H/1996 M. hal 15.  
9 Op. cit. Jalaluddin al-Suyuthi al-Imam, hal. 130.
10 Shubhi sholeh Dr. Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, daar al-Ilmi lilmalayin, Beirut, Lebanon, cet. XVIII, 1991, hal. 102.
11 Op. cit. Shobur syahin, hal. 63.
12 Ibid, hal. 75.
13 Ibn Jarir al-Thobariy al-Imam, Jami’ al-Bayan, daar al-Fikr, Beirut, Lebanon, vol. I, 1415 H/1995 M. hal. 26.
14 Ibid, hal. 26.
15 Op. cit. Abdushshobur Syahin Dr. hal. 65. 
16 Ibid, hal. 91.
17 Al-Qoshbiy mahmud zalath Dr. Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, daar al-Qolam, Dubai, Emirat Arab, cet. II, 1407 H/1987 M. Hal. 159.
18 Mana’ al-Qoththon al-Ustadz, Nuzul al-Qur’an ‘ala sab’ati ahruf, maktabah Wahbah, Cairo, cet. I, 1411 H/1991 M. Hal. 27.
19 Op. cit. mana’ al-Qoththon al-Ustadz, hal. 24.
20 Ibn al-Katsir al-Imam, Fadloil al-Qur’an, ditahkik oleh Sa’id abdul majid, daar al-haduts, Cairo, hal. 54.
21 Op. cit., Abd Shobur syahin Dr. hal. 97-98.
22 Op. cit., jalaluddin al-Suyuthi al-Imam, hal. 130.
23 Op. cit., Al-Qoshbiy mahmud zalath, hal. 162.
24 Abu al-Qoshim al-Khuo’i al-Imam, Al-Bayan fi al-Tafsir al-Qur’an, daar al-Zahro’, Beirut, Lebanon, cet. IV, 1395 H/1975 M. Hal. 177.
25 Ibid, hal. 178.
26 Op. cit., Abd shobur syahin Dr. hal. 68.
27 Ibid, hal. 69.
28 Op, cit. Abu qoshim al-Kho’I al-Imam, hal.193.
29 Thoha Abdul Kholiq Thoithoh Dr. Fathul ‘alim fi ‘ulum al-Tanzil, Mathba’ah al-Fajr al-Jadid, Cairo, cet. I, 1415 H/1994 M. Hal. 36-42.
30 Op. cit. Manna’ al-Qoththon, hal. 72.
31 Op. cit. Ibn jarir al-Imam, hal. 37.
32 Op. cit. Shubhi sholeh Dr. Hal. 107.
33 Ibid, hal. 105.
34 Op. cit. Al-Qoshbiy mahmud zalath Dr. Hal. 179.
35 Op. cit. Abdul ‘adzim al-Zarqoniy, hal. 157.
36 Op. cit. Shubhi sholeh Dr. Hal. 109.
37 Ibid, hal. 111.
38 Untuk lebih jelasnya bias dilihat kembali pada kitab manahij al-Irfan karya al-Zarqoniy, jilid pertama hal. 161 dan seterusnya.
39 Op. cit. Abd shobur syahin Dr. hal. 103.
40 Abdul fattah Ismail Syalabiy Dr. Almadkhol fi ‘ilm al-Qiroat wa al-tajwid, Maktabah wahbah, Cairo, cet. II, 1419 H/1999 M. Hal. 69. 
41 Ibid, hal.13
42 Op. cit. Sya’ban Muhammad isma’il Dr. hal. 23.
43  Op. cit. Thoha abdul kholiq thoithoh Dr. hal. 69.
44 Op. cit. Sya’ban Muhammad ismail Dr. Hal. 24.
45 Ibid, hal. 69.
46 Op. cit. Abdul fattah Ismail syalabiy Dr. Hal. 13.
47 Abdul ghofur ja’far Prof. Dr. Al-Qur’an wa al-Qiroat wa al-Ahruf al-sab’ah, Markaz mido, Cairo, vol. I, cet. I, 1417 H/1996 M. Hal. 504  

48 Op. cit. Abd shobur syahin Dr. Hal. 107.