FALSAFAH AL QUR-AN


ESSAI TENTANG FALSAFAH AL-QUR’AN

(Konteks I’jâz dalam Menghadapi Tantangan Modernitas)

Muhammad ‘Aunul ‘Abîed Shah

Bismi’lLah!

Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi ummat Manusia. Allah berfirman: “Ini adalah sebuah Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-A‘râf: 2)

Fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk ini ditegaskan oleh Al-Ustâdz Al-Imâm Muhammad ‘Abduh, sehingga beliau menyatakan bahwa tujuan yang pertama dan utama dari ilmu Tafsir adalah: merealisasikan keberadaan Al-Qur’an itu sendiri sebagai petunjuk dan rahmat Allah, dengan menjelaskan hikmah kodifikasi kepercayaan, etika dan hukum menurut cara yang paling bisa diterima oleh pikiran dan menenangkan perasaan. Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya dari ilmu ini adalah untuk mencari petunjuk kebenaran di dalam Al-Qur'an. (Al-Khûlî, 1995: 229)

Penjelasan yang lebih mendetail tentang dimensi-dimensi fungsional Al-Qur’an (baca: maqâshid wadl‘i Al-Syarî‘ah) sebagai petunjuk ini bisa didapatkan—antara lain—dalam magnum opus Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât. (Al-Syâthibî: 64 et seqq)

Bertolak dari “tesa teologis” tentang fungsi Al-Qur’an di atas, tulisan ini dirancang untuk membangun dan merumuskan beberapa pemikiran awal ke arah sebuah “entitas” yang kiranya paling tepat kalau dinamakan sebagai “Falsafah Al-Qur’an” (dengan huruf “F” kapital), sebuah Falsafah yang memungkinkan Al-Qur’an menjalankan fungsinya sebagai petunjuk dan rahmat bagi ummat manusia yang “hidup” dalam ruang dan waktu yang berubah, bergeser dan berkembang. Lebih dari itu, Falsafah Al-Qur’an memungkinkan “Teks Kitab Suci” itu menjadi hidup (posisi aktif) dan dalam salah satu aspeknya mampu bertahan menghadapi pemikiran-pemikiran baru (posisi pasif dinamis).

Refleksi tentang Studi Al-Qur’an

Teks sebagai teks itu sendiri adalah makhluq yang mati. Terlepas dari perdebatan berdarah yang pernah terjadi, Al-Qur’an sebagai sebuah “teks” juga harus diposisikan sebagai benda mati yang bisa difungsikan sesuai dengan tuntutan “konteks” yang melingkupi pembaca dan transformatornya (=orang yang berupaya untuk mengadopsi “petunjuk-petunjuknya”). Karena itu, beragam corak dan aliran interpretasi yang pernah timbul juga disebabkan oleh kedudukan Al-Qur’an sebagai Kitab Suci, atau katakanlah yang disucikan oleh orang-orang yang bersaksi “bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad MuMummammad MuhuhammadMMmmammad adalah utusan-Nya”.

Tingkat relevansi sebuah teks yang “mati” dengan berbagai konteks personal, ruang dan waktu itu banyak dipengaruhi oleh struktur dan sistematika teks, gaya bahasa, validitas kontentum dan prinsip-prinsip umum (al-mabâdi‘ al-‘âmmah) yang tercakup dalam teks itu. Atau dengan bahasa lain: ketahanan sebuah teks menghadapi seleksi alam berkorelasi erat dengan Falsafah teks itu sendiri.

Dari sini, marilah kita mencoba menggali kembali secara arkeologis kisah sebuah teks transendental yang bernama Al-Qur’an ini [1], tanpa terlalu mengikat diri dengan peninggalan-peninggalan lama yang lazim kita kenal (mâ allafnâ ‘alayhi). Peninggalan-peninggalan lama yang mentradisi dalam kehidupan kita, hingga membuat kita—seakan—tidak bisa lagi menerima “hal yang lain” (!!!). Isyarat-isyarat tentang peninggalan lama yang mentradisi—hingga diidentikkan dengan kebenaran aksiomatik—ini banyak kita dapatkan dalam Al-Qur’an, sebagaimana Allah SWT berkisah tentang para penganut ideologi ortodoks tersebut: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu ajaran ideologis dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. (QS. Al-Zukhruf: 23)

Berkaitan dengan kajian teks seperti yang sedang kita lakukan ini, Michél Foucault menyatakan: “Kita harus mempertanyakan kembali susunan-susunan tekstual yang sudah siap pakai ini, mengkaji kembali berbagai kesadaran kolektif sosial yang membuat kita menerimanya begitu saja tanpa mengaktifkan pemikiran yang kritis, dan meneliti ulang berbagai relasi yang kita terima sebagai entitas yang sudah ada begitu saja sejak awal mula”. (Foucault, 1987: 22)

Dalam hal ini, ada beberapa fenomena (menurut pengertian yang untuk pertama kali di kedepankan oleh Immanuel Kant, [lihat Al-Khûlî(b), 2000: 131]) yang bisa kita jadikan sandaran awal tentang Falsafah Al-Qur’an ini.

1. Diskursus Lisan dan Teks Tulisan

Fenomena historis yang kita dapatkan menyatakan bahwa Al-Qur’an telah melewati dua fase kodifikasi, yaitu fase diskursus lisan dan kemudian fase teks tulisan. Ilmu linguistik modern dan antropologi bahasa banyak membantu kita dalam menjelaskan perbedaan yang menjadi akibat signifikan dari sifat-sifat kedua fase tersebut.

Dengan bantuan kedua ilmu baru itu sebagai perangkat analisis, akan terlihat bahwa praktek operasional rasioning (pola berpemikiran) dan memorizing (pola penyimpanan data) dalam fase yang pertama berbeda sama sekali dengan yang berlangsung pada masyarakat yang sudah mengenal tulisan dan selalu mengaitkan (=menyesuaikan) semua aktivitasnya dengan sebuah teks tertulis.

Pada fase yang pertama, fenomena historis menunjukkan bahwa Kitab Suci (=Al-Qur’an dalam pengertian awal yang dimaksud oleh berbagai ayat Al-Qur’an [2]) adalah sebuah pedoman umum yang masih bersifat alami, terbuka dan inklusif (=secara egaliter menjadi milik semua komunitas sahabat yang hidup bersama Nabi saw.).

Tetapi sejak didekritkannya “kata akhir” kodifikasi resmi Al-Qur’an yang mengawali fase kedua, pola beragama, berpemikiran dan berperadaban berangsur-angsur berubah. Ada dua fenomena sejarah yang menarik untuk dicermati: yang pertama, adalah banyaknya para sahabat besar “pembawa” Al-Qur’an yang meninggal dunia ataupun mati syahid di medan penegakan agama Islam, dan yang kedua dimusnahkannya naskah-naskah tertulis lain dan ditutupnya kemungkinan perubahan selanjutnya, demi mencegah terjadinya perpecahan dan perbedaan pendapat tentang legitimasi dan validitas ayat-ayat dan surat-surat yang tercantum dalam “Mushaf”. Pada saat itulah Al-Qur’an menjadi sebuah “Teks Tertulis yang Tertutup”.

Faktor-faktor sosio-politis yang terjadi kemudian membuat perbedaan tersebut terasa makin membesar dan bertambah signifikan, apalagi kalau mengingat jauhnya jarak waktu yang memisahkan keduanya, yaitu masa kerasulan dan masa pemerintahan Khalifah III, ‘Utsmân ibn ‘Affân.

Proses sejarah selanjutnya menunjukkan kristalisasi akibat langsung atau tidak langsung daripada kodifikasi tertulis di atas yang sampai saat ini harus kita tanggung, mau ataupun tidak mau. Al-Qur’an kemudian dipolitisir oleh kekuasaan (dengan representasinya: “kekhalifahan” Bani Umayyah dan ‘Abbâsîyah), dengan memonopoli penafsiran yang “benar” dan mengabsolutkannya (=sakralisasi) [3]. Dalam dataran akar rumput, terjadi juga pergeseran yang paralel. Kalau pada fase awal, Al-Qur’an dibaca, dihafalkan, dipahami dan diinterpretasi secara bebas dan terbuka oleh seluruh anggota komunitas sahabat, maka pada fase kedua, semua anggota komunitas mendapatkan kesempatan/akses untuk membacanya kapanpun dan dimanapun, tetapi dalam posisi intelektual yang sudah berubah: mayoritas yang teramat dominan di antara mereka hanya melakukannya sebatas sebagai sebuah manifestasi ibadah ritual. Pada fase kedua ini, sadar ataupun tidak sadar, dan dalam proses yang berlangsung berangsur-angsur, hak (lebih tepatnya: kemampuan dan legitimasi) untuk memahami dan menginterpretasi dengan “benar” menjadi terbatas pada sekelompok orang terdidik (ash-hâb al-tsaqâfah al-‘âlimah al-kâtibah) yang terdiri dari para pegawai negara dan agamawan yang mendapat sokongan dari negara ataupun, paling tidak, diberi hak hidup dan berpendapat oleh kekerasan kekuasaan, begitu juga orthodoksi keagamaan yang terdiri dari para fuqaha’ dan ahli ilmu Kalam yang mendapat legitimasi dari negara. Tentu saja legitimasi ini tidak dengan gratis diberikan begitu saja, karena alat bargaining yang dilakukan adalah kerjasama mutualistik untuk melenyapkan aspirasi sempalan yang membahayakan kelangsungan kekuasaan dan  pendapat yang berbeda dengan ideologi keagamaan yang hegemonik.

Sayang sekali, kenyataan ini (berikut dengan akibat langsung dan tidak langsungnya) tidak mendapatkan porsi yang mencukupi dalam kesadaran berpemikiran kita, dan sayang sekali lobang-lobang historis yang ada di sana-sini dianggap telah tertambalkan oleh beberapa dogma ideologis-teologis yang diberikan sebagai “kata akhir” oleh orthodoksi keagamaan dan  cenderung dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan [4].

Tidak heran kalau pada akhirnya Arkoûn menyuarakan kesedihannya bahwa ummat Islam lebih suka berlindung di balik penyelesaian akhir yang tidak hakiki (quasi problem solving) dalam menyikapi persoalan-persoalan teologisnya karena tidak mempunyai keberanian untuk merambah dataran hakikat yang terlihat menakutkan dan bisa membakar siapapun yang berani menjamahnya. (Arkoûn, 1992: passim)

Sampai di sini kita melihat urgensi dilakukannya penelusuran arkeologis dalam upaya interpretasi kita terhadap Teks Transendental ini, dengan mengedepankan upaya perujukan kembali kepada semangat intelektual yang pernah dieliminir dahulu dan masih terasa dampaknya sampai sekarang: keterbukaan, pluralitas, inklusifitas, populitas dan toleransi. Karena itulah yang sesuai dengan makna transendentalitas Al-Qur’an yang merupakan Kalam Allah dan bukan merupakan makhluq (baca: “Umm Al-Kitâb” sesuai dengan pengertian yang terkandung dalam firman Allah: “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu ada dalam ‘Umm Al-Kitâb’ di sisi Kami dan sungguh [Al-Qur’an itu] sangat tinggi kedudukannya [transendental] dan amat banyak mengandung hikmah) [5]. (QS. Al-Zukhruf: 4)

Dengan semangat inklusiftas ini kita memulai penelusuran kita selanjutnya untuk sampai kepada jawaban dari pertanyaan mendasar: bagaimana Al-Qur’an berinteraksi dengan perubahan realita?[6]

2. Al-Qur’an dan Realita

Sungguhpun Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun masa kenabian, (tentang masa penurunan wahyu ini, bisa dilihat secara mendetail dalam Al-Zarqânî, 1988: 53 et seqq). Tidak dengan sendirinya kenyataan ini memperkuat tesa sementara pemikir seperti Nashr Hâmid Abû Zayd yang menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan sesuai dan lebih dari itu berdasarkan realita. Abû Zayd menulis:

“Sesungguhnya ilmu Asbâb Al-Nuzûl membekali kita dengan fakta-fakta yang memperlihatkan kepada kita bahwa Teks ini (diturunkan) untuk memenuhi atau menolak tuntutan realita, dan menegaskan adanya relasi ‘dialog’ dan ‘dialektika’ antara Teks itu dan realita. Sesungguhnya data-data empiris faktual menegaskan bahwa Teks tersebut diturunkan secara berangsur-angsur selama 20 tahun lebih, sebagaimana menegaskan bahwa setiap ayat, atau sekelompok ayat mempunyai suatu latar belakang tersendiri yang membuatnya diturunkan, kemudian bahwasanya ayat-ayat yang turun dengan sendirinya tanpa mempunyai sebab dan latar belakang adalah sangat sedikit sekali”. (Abû Zayd, 1994: 97)

Ternyata, tesa ini tidak sesuai dengan fenomena yang ada di hadapan kita. Di antara jumlah total ayat Al-Qur’an yang mencapai 6236 ayat, hanya ada 472 ayat yang mempunyai sebab dan latarbelakang [7]. Kalaupun boleh dielaborasikan kepada riwayat-riwayat yang lemah, jumlah maksimal yang bisa diperoleh hanya 888 ayat saja. (Muhammad, 1996: 93)    
           
Karena itu, tesa ini tidak mencukupi untuk dijadikan premis minor daripada teori “dialog Teks Al-Qur’an dengan realita”. Hingga kita sampai kepada efek aksiomatis yang seharusnya diambil: pertama, bahwasanya Al-Qur’an dari awal kejadiannya merupakan sebuah kumpulan yang utuh, meskipun tidak diturunkan langsung sekaligus, (inilah yang kita sebut sebagai wujud metafisik Al-Qur’an sesuai dengan pengertian yang disampaikan oleh Kant dan—sayang sekali—bukan menjadi pembahasan kita dalam kesempatan yang sempit ini) dan yang kedua bahwasanya argumentasi alternatif—yang kuat dan tidak mengandung akibat destruktif secara teologis[8]—haruslah dikedepankan, untuk membuktikan relevansi Teks Al-Qur’an dengan perubahan konteks personal, ruang dan waktu.

Maka tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan argumentasi alternatif tersebut selain menoleh “ke dalam” Al-Qur’an itu sendiri untuk yang pertama dan selanjutnya (yang kedua) kepada faktor ekternal berupa mesin pembacanya (=man behind the gun-nya) dengan cara merumuskan epistéme dan metode pendekatan yang lebih mencerahkan[9].

3. Struktur Al-Qur’an

Teks tertulis Al-Qur’an yang ada di hadapan kita sekarang terdiri 6236 ayat, 114 surat dan 30 juz. Mengenai strukturnya, Arkoûn menulis:

“ … … Sesungguhnya termasuk sulit untuk mendeskripsikan secara definitif kontentum ataupun isi daripada Al-Qur’an. Kesulitan ini timbul karena kita terancam akan terjatuh secara langsung ke dalam cara penafsiran lama dan bayangan imajiner (bawahsadar) keagamaan tradisional. Ditambah lagi, kita sendiri mengetahui bahwasanya sistematika penyusunan surat dan ayat dalam ‘Mushaf’ (Teks tertulis Al-Qur’an) tidak mengikuti urutan kronologis yang sebenarnya, tidak juga mengikuti norma rasio ataupun logika tertentu. Karena itu, bagi cara berpikir modern kita yang terbiasa dengan metode penulisan karangan yang sudah baku berdasarkan tuntutan logika, maka teks Mushaf tersebut  berikut dengan sistematika penyusunannya akan membuat kita terheran-heran karena ‘kekacauannya’.
Tetapi saya telah menjelaskan, dalam beberapa kajian yang lalu, bahwa di dalam “kekacauan” itu tersembunyi sebuah sistem semantik dan semiotika yang sangat dalam. Karena itu, seharusnyalah kita menyingkap tipologi diskursus yang digunakan dalam Al-Qur’an. Inilah yang saya lakukan dengan mengklasifikasikan dalam lima tipe, yaitu: diskursus kenabian, diskursus hukum, diskursus deskripsi cerita, diskursus kata-kata hikmah dan peribahasa, serta diskursus do’a-do’a dan puji-pujian.” (Arkoûn, 1992: 90-91)

Meskipun klasifikasi tipologis di atas dirasa sudah mencukupi, adalah lebih baik kalau kita memodifikasi, merevisi nama/istilahnya dan menambahkan beberapa tipologi yang lain seperti: diskursus teologi dan kenabian, diskursus hukum syari‘at, diskursus cerita dan deskripsi sejarah, diskursus petunjuk-petunjuk etis, diskursus puja-pujian, diskursus  doa’a-doa, dan seterusnya.

Terlepas dari keabsahan klasifikasi tipologis di atas, dalam prakteknya, kesatuan unit-unit di dalam Al-Qur’an membuat kita harus tunduk kepada kekuatan relativitas yang tidak tertahan. Dalam artian, ada keunikan tersendiri dalam relasi antara unit-unit  parsial dalam Al-Qur’an dan aspek integralitasnya, hingga tidak mungkin memastikan item-item yang termasuk dalam satu tipikal cabang klasifikasi, karena setiap ayat selalu dapat dimasukkan ke dalam beberapa tipikal diskursus yang saling berkelindan. Sebagaimana kita tidak bisa memberikan sebuah perlakuan khusus kepada satu tipikal tertentu yang membedakannya dengan tipikal-tipikal yang lain. Inilah semangat Al-Qur’an yang selalu dipraktekkan secara hidup oleh ummatnya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Memang, beberapa fuqaha telah mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum Islam dan membedakannya dengan ayat-ayat yang lain. Tetapi, tidak pernah terdetik sekalipun dalam pikiran mereka bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang terbagi-bagi secara terpisah ataupun terpecahbelah berserakan berdasarkan spesialisasi keilmuan dan bidang pembahasan. (Arkoûn, 1996: 218-219)

Terlepas dari integralitas metafisik Al-Qur’an yang dengan sengaja tidak kita bahas lebih jauh sebagai sebuah aspirasi metodologis, integralitas tersebut bisa dirasakan juga dengan meninjaunya dari sudut pandang ilmu Semiotika.

Semua bagian Al-Qur’an memfungsikan dirinya dalam peranan sebagai wahyu. Ini terlihat karena semuanya tunduk kepada struktur grammatika yang sama dalam bentuk figur-figur dan kata-kata gantinya. Yang pertama, terdapat Dzat Ketuhanan yang mengekspresikan dirinya dengan kata ganti pembicara tunggal dan terkadang pula dengan menggunakan kata ganti pembicara kolektif: Ana/Nahnu. Kata ganti ini kemudian mengarahkan pembicaraannya dengan menggunakan kata perintah (qul) kepada figur kedua (Muhammad) untuk disampaikan dan dikomunikasikan kepada kata ganti orang ketiga kolektif: hum (ummat manusia). Kelompok yang terakhir ini bisa dibagi menjadi dua pihak, yang umumnya menggunakan kata ganti orang kedua kolektif (antum) untuk orang-orang yang beriman dan kata ganti orang ketiga kolektif (hum) untuk orang-orang kafir. Inilah ruangan komunikasi penyampaian wahyu (fadlâ’ al-tawasshul wa al-tawshîl) sebagaimana yang bisa kita tilik secara grammatikal dalam diskursus Al-Qur’an. Sampai dalam ayat-ayat yang bersifat keduniaan pun, seperti tatacara pewarisan dan zakat, juga tetap dihubungkan dengan Dzat Ketuhanan dalam bentuk kata ganti orang pertama tunggul/kolektif. Kata ganti orang pertama ini merepresentasikan pembicara yang menurunkan risalah dan menerima risalah dalam waktu yang sama. (Arkoûn,1992: 91)

Kesadaran kita tentang keunikan struktur Al-Qur’an sebagaimana dipaparkan di atas akan membantu kita untuk merambah tataran epistemologis interpretasi Al-Qur’an dengan “mata yang terbuka”.

4. Logika Presentasi Al-Qur’an

Bagaimana Al-Qur’an menampilkan dirinya? Sebagaiamana dikatakan di atas, Al-Qur’an menggunakan sebuah sistem/paradigma semiotik dan filsafatis yang integral. Inilah yang dibahas secara khusus dan dengan amat berhasil oleh Sayyid Quthb dalam Al-Tashwîr Al-Fannî. Beliau menyatakan: “Al-Qur’an mempresentasikan dirinya dengan sebuah cara integral yang digunakannya untuk semua keperluan/tujuan, termasuk dalam pembuktian intelektual dan perdebatan. Itulah (yang kita sebut sebagai) penggambaran sastra dengan menggunakan imajinasi dan personifikasi”. (Quthb, 1993a: 239)

5. Tentang epistéme dan metodologi interpretasi

a. Epistéme Penafsiran Al-Qur’an

Ada beberapa terminologi prinsipil yang seharusnya diperhatikan dan membayangi alam bawahsadar seorang interpreter Al-Qur’an, antara lain:

- Anakronisme (al-mughâlathah al-târîkhîyah atau al-isqâth)

Dalam idiom tradisional, terminologi ini mempunyai kemiripan dengan postulat “tahmîl Al-Qur’an bimâ lâ yatahammaluhû”.  Anakronisme biasa disebabkan oleh bias-bias ideologis, teologis dan antropologis. Sebagaimana tindakan yang anakronistik bisa terjadi di saat seorang penafsir tidak menggunakan metode ilmiyah yang valid ataupun terjerumus dalam malapraktek penerapan sebuah merode ilmiyah yang benar sekalipun, baik sadar ataupun tidak sadar.

- Intertekstualitas (al-tanâsh)

Dalam idiom tradisional, terminologi ini mempunyai kemiripan dengan postulat yang berbunyi: “al-âyât al-Qur’ânîyah tufassir ba‘dluhû ba‘dlâ”. Dalam masa-masa yang akan datang, penafsiran intertekstual seharusnya tidak dibatasi kepada teks-teks suci ortodoks saja, seperti buku-buku hadîts dan Asbâb Al-Nuzûl. Tiba saatnya untuk mengelaborasikannya kepada teks-teks profan lain, baik sebagai referensi inti maupun penunjang.

- Historisitas, dekontruksi dan arkeologi pemikiran

Ada kesalahpahaman yang mencekam terhadap istilah historisitas (al-târîkhîyah) apabila digunakan sebagai media bantu analisis terhadap sebuah teks kitab suci yang dalam hal ini adalah Al-Qur’an. Meskipun bisa jadi benar untuk kasus sementara pemikir, penggunaan istilah ini dengan serta merta mengundang tuduhan bahwa yang bersangkutan mempunyai asumsi riskan bahwa Al-Qur’an adalah produk sejarah dan dengan sendirinya bukan merupakan wahyu sakral yang diturunkan oleh Allah SWT dengan perantaraan malaikat Jibril. Sejatinya, historisitas berarti menampakkan unsur-unsur faktual dalam sejarah sebuah kitab suci sebagaimana yang benar-benar terjadi, apa adanya. Yakni, sejarah dalam pengertian non-skolastik; sejarah dalam pengertian keadaan, situasi dan kondisi yang ada dan terjadi pada suatu fase kehidupan tertentu ataupun yang berlangsung terhadap “sesuatu” yang tertentu pula dalam beberapa fase sejarah.

Karena itu, penggunaan aspek historisitas sebagai media bantu analisis tidak bisa dilepaskan dari dua terminologi konseptual lain, yaitu dekonstruksi dan arkeologi.

Dekonstruksi (al-tafkîk) tidaklah bisa disamakan dengan destruksi (al-hadm). Istilah ini dirumuskan oleh Jacques Derrida untuk menemukan inti penggerak yang tersembunyi dalam sebuah bangunan pemikiran. (Mengenai yang bersangkutan, bisa dilihat dalam kamus filsuf yang disusun oleh George Tharabaysyi, Dâr Al-Thalî‘ah, Beirut, cet. II, 1997)

Terminologi ini semakin bertambah penting setelah Michél Foucault dengan sangat jenius berhasil menemukan sebuah terminologi konseptual yang lain yaitu “arkeologi pemikiran”. Intinya: karena timbunan sejarah yang semakin meninggi, maka sebuah materi pemikiran (baik berupa fakta sejarah, piranti pemikiran yang melahirkan berbagai teori, konfigurasi-konfigurasi ideologis, struktur imajiner, sistem keimanan dan epistéme, dll) baru bisa dicapai setelah melalui penggalian yang dilakukan terhadap lapisan-lapisan “bumi” sejarah.

- Interpretasi sinkronik dan diakronik

Ilmu linguistik modern telah merumuskan adanya interpretasi/pola pandang sinkronik (synchronique, al-tazâmunîyah) dan interpretasi/pola pandang diakronik (diachronique, al-tathawwurîyah al-târîkhîyah).

Interpretasi sinkronik berarti “bacaan” yang identik sama dengan yang dilakukan pada pada masa lahirnya sebuah teks. Yakni sebuah pola bacaan yang berusaha untuk kembali ke garis belakang, ke masa munculnya sebuah teks, untuk bisa membaca kosa kata dan struktur kalimatnya sesuai dengan pengertian makna yang menghegemonik pada saat itu, dan bukan dengan pengertian yang dikenal saat ini. Pola interpretasi ini adalah antonim dari interpretasi anakronik yang dengan sadar atau tidak sadar menjerumuskan pembacanya ke dalam kesalahan historis, dengan memaksakan pengertian-pengertian yang berasal dari zaman dan waktu yang lain kepada sebuah teks. Hal ini bisa terjadi karena pengertian kosakata sebuah bahasa akan selalu mengalami perkembangan dan mendapat pengayaan dari satu masa ke masa yang lain.

Sedangkan interpretasi diakronik adalah pengkajian yang dilakukan terhadap perkembangan sebuah kosa kata dan struktur kalimat dalam sebuah bahasa dalam beberapa fase sejarah yang saling berurutan.

b. Metode interpretasi sastra-tematis

Pada pertengahan abad ke dua puluh, muncullah seorang metodologis interpretasi Al-Qur’an yang secara signifikan sangat berpengaruh terhadap manifestasi dan orientasi penafsiran Al-Qur’an kontemporer. Orang itu adalah Al-Syaikh Amîen Al-Khûlî dan karya monumentalnya “Manâhij Tajdîd”. (Mengenai riwayat hidup dan kiprah beliau, bisa di lihat—antara lain—dalam buku Dr. Kâmil Sa‘fân,  Amîn al-Khûlî, al-Hay'ah al-Mishriyah al-‘Ammah li’l-Kitâb, Kairo, 1982).

Dengan sangat berhasil, beliau telah merumuskan metode interpretasi sastra-tematik; sebuah inovasi baru yang belum banyak dikembangkan pada masanya. Akses beliau terhadap ide-ide baru yang berkembang di belahan barat bumi ini, memungkinkan beliau menggunakan beberapa spesialisasi humaniora modern dan penemuan keilmuan baru sebagai alat bantu analisis, seperti sosiologi, antropologi, semantik, dan beberapa ilmu-ilmu inovatif yang belakangan dikenal sebagai hermeneutika dan psikolinguistik.

(Keterbatasan ruang yang tersedia memaksa penulis mengalihkan keinginan pembaca untuk merujuk lebih lanjut di buku beliau Manâhij Tajdîd dan buku-buku karya murid-muridnya seperti ‘Aysyah ‘Abd Al-Rahmân sang Putri Pesisir [Al-Tafsîr Al-Bayânî li Al-Qur’ân Al-Karîm, vol. I] dan Muhammad Ahmad Khalf A’lLâh [Al-Fann Al-Qashashi fî’l Qur’ân, tahkik Khalìl ‘Abd Al-Karîm, terbitan Sinâ Publisher, Kairo]).

Sebagai sebuah metode interpretasi yang memfokuskan dan memprioritaskan dengan sangat dominan pengkajiannya kepada bagian-bagian yang paling melekat (organik) dalam ayat-ayat Al-Qur’an, metode ini bisa dijadikan titik tolak dan modal dasar kita dalam proses interpretasi Al-Qur’an kontemporer (atau meminjam bahasa Musthafâ Mahmûd: “muhâwalah li fahm ‘ashrî!”).

c. Ilmu-ilmu humaniora modern dan interpretasi teks Al-Qur’an

Bisa dikatakan bahwa konsep-konsep humaniora modern mempunyai kecenderungan kuat untuk terbebas dari “nilai”. Memang benar bahwa proses kristalisasi sebuah diskursus dan perumusan sebuah konsep yang dilakukan oleh seorang pemikir pastilah terkena bias-bias ideologis pribadi. Tetapi dalam proses selanjutnya, dan ketika bermetaformosa menjadi pisau analisis untuk digunakan kepada obyek yang lain, ataupun digunakan oleh orang lain, bias-bias ideologis tersebut menjadi ternetralisir, paling tidak di permukaannya, meskipun tidak mesti hilang sama sekali dalam hakikatnya.

Dalam kapasitasnya sebagai produk pemikiran manusia yang bersifat relatif dan “tidak pasti”, urgenitas dan signifikansi  sebuah konsep humaniora akan meningkat kalau bisa diterapkan dalam skala ruang dan kebudayaan yang berbeda dengan tempat/masa kelahirannya. Sebuah konsep humaniora yang tidak terpakai lagi bisa dikatakan mandul, dan selanjutnya: apabila sebuah konsep humaniora hanya bisa digunakan dalam kalangan yang terbatas, maka urgenitas dan signifikansi menjadi terbatas pula.

Persoalan yang sekarang memunculkan dirinya di hadapan kita adalah: bagaimana dengan penerapan konsep-konsep humaniora yang bersifat relatif tersebut  kepada sebuah kitab suci yang absolut? Lebih-lebih: bagaimana dengan penerapannya sebagai pisau analisis dalam upaya penafsiran Al-Qur’an?

Alam bawahsadar kaum muslimin pastilah sangat dan amat keberatan kalau kitab sucinya diperlakukan—begitu saja—sebagai sebuah teks biasa. Sakralitas Al-Qur’an, membuat mereka—sejak masa-masa awal Islam—sangat berhati-hati kalau tidak bisa dikatakan menghindarkan diri untuk merambah bidang penafsiran Al-Qur’an. Yang dilakukan tidak lebih dari kebutuhan yang mendesak saja, karena khawatir akan melanggar garis terlarang. (Quthb, 1993a: 26)

Tetapi tuntutan peradaban membuat kaum muslimin sekarang tidak bisa lagi mencukupkan diri dengan apa yang didapatkan dari masa lalu. Pintu keterbukaan tidak bisa lagi ditutup rapat. Kalau tidak, penyakit psikis schizoprenia akan  menjadi epidemi sosial yang menjangkiti para penghuni “dâr Al-Islâm”.[10]

Di sinilah diperlukan kewaspadaan dan kecerdasan lebih untuk memodifikasi dan merevisi konsep-konsep tersebut sesuai dengan kebutuhan dan tingkat akseptabilitas yang memungkinkan. Karena itu, belakangan banyak cabang-cabang baru ilmu-ilmu humaniora yang khusus mengkaji agama seperti sosiologi agama, ilmu linguistik agama, psikologi agama, dst. Dan putra-putri Islam tentunya lebih dituntut untuk menggeluti dan merumuskan sendiri konsep-konsep analisis yang diperlukan dalam upaya penafsiran Al-Qur’an kontemporer. Hingga dibelakang hari nanti, kita bisa berharap akan ada ilmu-ilmu psikolinguistik Islam, sosio-kritik dan psiko-kritik Islam, political-economy Islam, filsafat ilmu Islam, dan seterusnya, yang bisa dijadikan sandaran tanpa kekhawatiran. Sungguhpun tidak ada salahnya juga untuk mengambil “hikmah-hikmah nan hilang” dari “orang lain”, selama sudah melalui proses filterisasi yang ketat dan modifikasi yang memungkinkan.

5. Accountability of Al-Qur’an

Akhirnya kita sampai juga kepada aspek aksiologis dari Falsafah Al-Qur’an.

Meskipun agak dikesampingkan—atas nama obyektivitas—dalam awal proses penerapannya, Falsafah Al-Qur’an—sebagai sebuah ilmu dan bukan hanya sebagai sebuah prinsip-prinsip etis yang bersifat umum—pastilah ditujukan untuk membuktikan validitas Al-Qur’an secara ilmiah dan menghidupkan potensi internal Al-Qur’an itu sendiri (tidak dalam konteks metafisiknya) menghadapi perkembangan realitas.

Dalam sebuah diskusi tentang aspek-aspek keajaiban dalam Al-Qur’an yang dibawakan oleh Arkoûn, seorang islamolog kontemporer bernama Maxim Robinson menegaskan: “Bagaimanapun juga, Al-Qur’an tidak pernah sekalipun mengajak kepada bentuk keimanan yang buta, keimanan yang berlawanan dengan segala sesuatu yang diketahui sebagai kebenaran aksiomatis dan melawan segala bentuk refleksi rasionalis. (Arkoûn, 1996:216-217)

Pembuktian kebenaran Al-Qur’an (syari‘at) dilakukan—terutama—dengan meletakkan “dirinya sendiri” di atas meja penelitian yang terbuka untuk semua orang (publik, jumhûr). Bukan (hanya) dengan konteks metafisik dan keajaiban mukjizat material yang mencengangkan.

Mungkin tidak semua orang bisa meniliknya dari segi keindahan logika presentasi dan bahasanya. Apalagi kalau dia tidak lahir dalam tradisi bahasa Arab. Banyak juga yang hanya mampu meniliknya dengan memverifikasi validitas kontentumnya, baik yang termasuk di dalam tipikal hukum, maupun fakta sejarah dan isyarat-isyarat sainsnya.

Menghidupkan Al-Qur’an

Dunia ini memperlihatkan beberapa fenomena peradaban teks, sebuah peradaban yang memposisikan sebuah teks “suci” menjadi poros sentral pergerakan dan perkembangannya, di antaranya adalah peradaban Islam. (Abû Zayd, 1994: 9)

Dalam fenomena seperti ini, bisa dibayangkan adanya proses pemantulan entitas ontologis yang berlangsung bolak-balik antara Al-Qur’an dan ummat Islam. Hakikat ontologis dan ajaran-ajaran Al-Qur’an bisa dilihat dan dinilai dari peradaban dan prilaku ummatnya. Dan sebaliknya, fenomena historis yang berlangsung secara keseluruhan dalam kehidupan ummat bisa dirujukkan ke dalam Al-Qur’an.

Sayangnya, sejak beberapa abad yang lampau dan sampai saat ini, ummat Islam tidak mampu membumikan Al-Qur’an itu dalam kehidupan nyata, seutuhnya. Bagaikan sebuah kaca retak, ummat Islam memantulkan sebuah gambaran yang cacat tentang kebenaran Al-Qur’an.

Penyebab ketidakberesan ini memang bisa ditimpakan secara apologis kepada faktor-faktor eksternal (seperti penjajahan kolonialisme, misalnya), tetapi haruslah tetap disadari bahwa prosentase terbesar dari faktor-faktor penyebab keterbelakangan dan kemunduran tersebut seharusnya dirujukkan kepada unsur internal, di saat ummat Islam dikekang oleh sebuah raison (akal peradaban—yaitu Akal Kognitif untuk tataran teoritis dan Akal Politis untuk tataran empiris) yang tidak dinamis dan tidak sesuai dengan falsafah Al-Qur’an-nya. (Lebih jauh mengenai Akal Peradaban ini bisa dikaji lebih jauh dalam karya monumental Muhammad ‘Âbid Al-Jâbirî, Naqd Al-‘Aql Al-‘Arabî, terbitan Markaz Dirâsât Al-Wihdah Al-‘Arabîyah, Beirut). Tidak heran kalau Al-Ustâdz Al-Imâm Muhammad ‘Abduh pernah mengeluh bahwa pandangan dunia terhadap kebenaran Islam terhalangi oleh keterbelakangan ummatnya. (Tabbarah, 1993: 8). Tidak heran pula kalau banyak para pemikir Islam progresif yang menolak upaya-upaya untuk menjustifikasikan “invaliditas” Islam dengan menggunakan fenomena historis ummatnya sebagai fokus pengkajian (=kajian fenomenologi).

Maka diperlukan kritik Akal peradaban Islam dengan spirit ilmiyah dalam penyikapan mereka terhadap Al-Qur’an, (Al-Jâbirî, 1995: 374). Diperlukan langkah-langkah konkret dengan kembali kepada falsafah Al-Qur’an, mendayagunakan karakteristik Al-Qur’an yang oleh Seyyed Hossein Nasr dinamakan “multiplicity”(potensi internal untuk menggandakan dan mengembangkan). (Nasr, 41 et seqq). Ataupun juga yang disebut oleh Sayyid Quthb sebagai “al-mu‘jizah al-kubrâ li’l Islâm”.

Sayyid  Quthb menegaskan: “Salah satu sisi kemukjizatan Islam yang terbesar  adalah kemampuannya untuk mempertahankan prinsip-prinsip umum dan karakteristik-karakteristik  utamanya di satu pihak, dan dipihak lain menimbulkan berbagai corak peradaban kemanusian … … (Quthb, 1993b: 54)

Karena itu, kata Al-Syahîd Sayyiq Quthb pula, “fenomena-fenomena historis yang ada dan pernah muncul dalam masyarakat Islam (haruslah diposisikan) bukan sebagai sebuah prototipe yang bersifat final. Fenomena-fenomena itu akan selalu berkembang dan memperbaharui dirinya, hingga memungkinkan adanya sebuah prototipe masyarakat Islam berbentuk lain, yang tetap diinspirasikan kehidupannya oleh ide-ide islami. (Quthb, 1993b: 54)

Wa’l Hamd li’lLâh ‘alâ kulli hâl !


Inilah kertas kerja sederhana tentang Falsafah Al-Qur’an  dengan empat bagiannya: ontologis, epistemologis, aksiologis dan konteks realitasnya. Kertas kerja ini disampaikan sebagai materi penunjang kajian tentang kemukjizatan Al-Qur’an, yakni kemukjizatannya dalam menghadapi tantangan modernitas. Haruslah diakui bahwa di dalam banyak bagiannya terdapat seabreg kekurangan yang perlu ditambal dan kesalahan yang perlu diluruskan. Apalagi essai ini lebih banyak bergerak di dataran teoritis yang masih perlu dijabarkan dan diaplikasikan lebih lanjut oleh mereka-mereka yang lebih berkompeten dari seorang penulis yang tunduk pada prinsip: “Lâ yukallifu’lLâh nafsan illâ wus‘ahâ, wa inna sa‘yaka la syatta …”.

Semoga kesalahan-kesalahan besar penulis bisa membantu orang lain untuk hanya terjerumus dalam kesalahan-kesalahan yang kecil saja. Nûn, wa’l Qalam wa mâ yasthurûn, wa’lLâh Al-Muwaffiq.

Catatan penulis:
1.       Penulis menggunakan istilah istilah Teks Transendental (Al-Nassh Al-Muta‘âlî) untuk mengisyaratkan kepada sidang pembaca dan diskusan yang terhormat akan kepercayaan ‘aqîdah penulis bahwa Al-Qur’an adalan sebuah Kitab Suci yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw dan bahwasanya Al-Qur’an adalah Kalam Allah bukanlah makhluq. Penulis berharap penjelasan ini sudah cukup menghindarkan dari kesalahpahaman yang menjerumuskan, lebih dari itu menimbulkan asumsi yang mencelakakan anda dan penulis sendiri.
2.       Perhatikan, antara lain, firman Allah: Haa Miim. Demi Kitab (Al-Qur’an) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). (QS. Al-Zukhruf: 1-3). Selain menunjukkan transendentalitas Al-Qur’an telah disinggung dalam bagian sebelumnya, ayat ini (dan ayat-ayat semacamnya)  juga menunjukkan bahwa praktek membaca (atau bahasa Arabnya: qara’a qur’ânan) pada saat itu bukan dilakukan pada kumpulan teks tertulis yang belakangan dikenal sebagai “Mushaf”. Bagaimana tidak, bukankah pada saat itu Al-Qur’an belum rampung diturunkan, dan bukankah tindakan kodifikasi tertulis yang “resmi” baru dilakukan sekitar 20 tahun kemudian?
3.       Salah satu manifestasi fenomena ini adalah diberikannya ‘legitimasi” kepada kekuasaan untuk menentukan yang benar dan yang salah dalam menyikapi perbedaan pendapat yang ada di antara ummat. Dalam bahasa ushûliyûn: “Hukm al-hâkim yarfa’ al-khilâf”. Akibatnya “kebenaran” dan “kesalahan” bisa ditentukan sesuai dengan arah angin yang bertiup dari kursi kekuasaan. Contoh kasusnya bisa dilihat dari nasib kaum Mu‘tazilah yang mengalami rotasi dari posisi “kebenaran resmi” ke “kesalahan” teologis-ideologis-politis pada masa Al-Ma’mûn dan selanjutnya pada masa Al-Mutawakkil Al-‘Abbâsî. (Abû Zuhrah: 126)
4.       Di antara dogma teologis tersebut adalah sabda yang dinisbahkan kepada Nabi besar Muhammad saw.: “Ummatku tidak akan berkumpul membenarkan kesesatan, dan ‘Tangan’ Allah adalah menaungi jamaah kolektif ummat”.
5.       Dalam magnum opus-nya, Al-Burhân, Al-Imâm Al-Zarkasyî menjelaskan secara panjang lebar bahwa Al-Qur’an dalam pengertian yang metafisik ini memiliki sifat keterbukaan yang luas. Sifat metafisik ini kemudian  menjiwai “bentuk fisik” Al-Qur’an (=Mushaf) yang bisa dipahami secara plural. (Al-Zarkasyî, Al-Burhan fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, Dâr Al-Ma‘rifah, Beirut, cet. III, 1977, hal 6-17, dikutip dari Abû Zayd, 1994: 43-44). Dalam kapasitasnya sebagai seorang yang mempunyai tradisi gnostik a lâ Persia, Seyyed Hossein Nasr menulis mengenai wujud metafisik Al-Qur’an ini: “… that’s why in Islam one distinguishes between a Qur’an that is ‘written’ and ‘composed’ (tadwînî) and a Qur’an which is ‘ontological’ and pertains to cosmic existence (takwînî). This is not to say that there are two Qur’ans but that, metaphysically, the Qur’an has an aspect of knowledge connected with its text as a book and an aspect of being connected with its inner nature as the archetypical blue-print of the Universe”. (Nasr, 1989: 53)
6.       Dalam hal ini ada dua pandangan yang saling berseberangan: (1) Sesuai dengan premis ‘dialog’ Al-Qur’an dengan realita—yang dicerminkan oleh sebab dan latarbelakang penurunan ayat-ayatnya—, maka haruslah dikatakan revisi dan pengedaluarsaan bagian-bagian Al-Qur’an yang tidak lagi sesuai, dan (2) Apabila ada realita yang “berlawanan” dengan Al-Qur’an, maka secara otomatis realitas tersebutlah yang harus disalahkan dan selanjutnya diluruskan sesuai dengan otoritas Al-Qur’an. Dalam sejarah pemikiran muslim, kedua aliran tersebut kemudian menemukan jalan tengahnya, dimulai oleh Al-Ustâdz Al-Imâm yang menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan realitas keilmuan yang benar, selanjutnya kalaupun ditemukan “ketidakbenaran” maka fokus verifikasi seharusnya diarahkan kepada pemahaman manusia itu sendiri terhadap Al-Qur’an. (‘Abduh, 1998: 130). Karena itu, Al-Imâm Al-Akbar Mahmûd Syaltût menyatakan bahwa “pemahaman manusia terhadap Islam bukanlah agama yang wajib diikuti”. (Syaltût, 1997: 8)
7.       Fakta ini bisa dilihat di buku Asbâb Al-Nuzûl karya Imam Al-Wâhidî dal Al-Suyûthî. Pemeriksaan yang teliti akan membuat kita menyimpulkan bahwa sebagian yang amat besar ayat-ayat Al-Qur’an tidak mempunyai sebab dan latarbelakang penurunan, dan bahwasanya sebagian besar ayat yang dikatakan mempunyai sebab dan latarbelakang penurunan, ternyata sanad periwayatannya lemah tidak bisa dijadikan dalil, kalaupun toh sanadnya valid, tetapi indikasinya terhadap (sebab atau latarbelakang) penurunan ayat tidak tegas.
8.       Di antara akibat destruktif secara teologis yang timbul dari penerimaan tesa ini adalah kemungkinan pembenaran terhadap tuduhan yang menyatakan bahwa Teks ini adalah produk sejarah yang dikreasi oleh seorang “nabi” bernama Muhammad, dan selanjutnya bukan merupakan wahyu yang diturunkan Allah dengan perantaraan malaikat Jibril as..
9.        Perkembangan ilmu-ilmu humaniora modern telah membedakan antara kedua istilah ini. Dicetuskan oleh Foucault, seorang filsuf Perancis paling legendaris di abad ini, epistéme berarti “keseluruhan yang kompleks daripada premis-premis internal yang dengan kuat mengontrol sebuah produksi pemikiran dalam sebuah fase tertentu tanpa harus tampak jelas di permukaan”. (lihat pengantar Hâsyim Shâlih terhadap edisi bahasa Arab buku Arkoûn, 1995: 7). Sedangkan metode (manhaj) lebih banyak bersifat teknis, prosedural dan operasional. (‘Abdul Qâdir, 1999: 239-243)
10.  Mengenai indikasi-indikasi schizoprenia ini, silahkan merujuk kepada buku Dr. ‘Abdul Mun‘im al- Hifny, Mawsu’ah Al-Thibb Al-Nafsî, Vol. II, Maktabah Madboûli, Kairo, 1992, hal. 1100-1102.

Daftar Pustaka


Al-Khûlî (a), Amîen, Manâhij Tajdîd, dari Kumpulan karangan (Al-A'mâl al-Kâmilah), vol. X, al-Hay'ah al-Mishriyah al-‘Ammah li’l Kitâb, Kairo, 1995
Al-Khûlî (b), Yumnâ Tharîf, Falsafah Al-‘Ilm fî Qarn Al-‘Isyrîn, serial ‘Âlam Al-Ma‘rifah 264, Kuwait, 2000
Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqâth fî Ushûl Al-Syarî‘ah, vol. II, Dâr Al-Ma‘rifah, Beirut, t.t
Al-Zarqânî, Muhammad ‘Abdu’l ‘Âzhim, Manâhil Al-‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, vol. I, Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmîyah, Beirut, cet. I, 1988
Abû Zayd, Nashr Hâmid, Mafhûm Al-Nassh, Al-Markaz Al-Tsaqâfî Al-‘Arabî, Casablanca, cet. II, 1994
Arkoûn, Muhammad, Ayna Huwa Al-Fikr Al-Islâmî Al-Mu‘âshir, (diterjemahkan dan dikomentari oleh Hâsyim Shâlih), Dâr Al-Sâqî, London, cet. II, 1995
‘Abduh, Muhammad, Al-Islâm Dîn Al-‘Ilm wa Al-Madanîyah, Al-Hai’ah Al-Mishriyah Al-Âmmah li Al-Kitâb, Kairo, 1998
 ‘Abdu’l Qâdir, Mâhir, Falsafah al-‘Ulûm, Ru'yah 'Arabîyah: Al-Madkhal l-Nazharî, Dâr al-Ma‘rifah al-Jâmi‘îyah, Aleksandria, 1999
Arkoûn, Muhammad, Al-Fikr Al-Islâmî: Naqd wa Ijtihâd, (diterjemahkan dan dikomentari oleh Hâsyim Shâlih), Dâr Al-Sâqî, London, cet. II, 1992
Arkoûn, Muhammad, Al-Fikr Al-Islâmî: Qirâ’ah ‘Ilmîyah, (diterjemahkan dan dikomentari oleh Hâsyim Shâlih), Markaz Al-Inmâ’ Al-Qawmî, Beirut, cet. II, 1996
Abû Zuhrah, Muhammad, Târîkh Al-Madzâhib Al-Islâmîyah, Dâr Al-Fikr Al-‘Arabî, Kairo, t.t
Foucault, Michel, L’Archeology du Savoir (Hafriyât Al-Ma‘rifah), (diterjemahkan oleh Sâlim Yafût), Al-Markaz Al-Tsaqâfî Al-‘Arabî, Casablanca, cet. II,  1987
Muhammad, Sâlim Muhammad, Asbâb Al-Nuzûl bayn Al-Fikr Al-Islâmî wa Al-Fikr Al-‘Almânî, t.p, Kairo, cet. I, 1996
Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, AUC Press, Kairo, cet. I, 1989
Quthb, Sayyid, Al-Tashwîr Al-Fannî fî Al-Qur’ân, Dâr Al-Syurûq, Kairo, cet. XIV, 1993
Quthb, Sayyid, Nahwa Mujtama’ Islâmî, Dâr Al-Syurûq, Kairo, cet. X, 1993
Syaltût, Mahmûd, Al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarî‘ah, Dâr Al-Syurûq, Kairo, cet. XVII, 1997
Tabbarah, Afif Abdul-Fattah, The Spirit of Islâm, Dâr Al-Ilm lil-Malayin, Beirut, 1993



Makalah ini dipresentasikan di Forum Studi Al-Qur’an Kairo Mesir, pada hari Ahad, 11 Maret 2001.